Home » » Laut Indonesia Melayani Siapa?

Laut Indonesia Melayani Siapa?




Laut kita tempat praktek pencurian ikan oleh 10 negara asing dalam 15 tahun terakhir, yang melenyapkan sekitar 30–50 persen total potensi perikanan tangkap nasional setahunnya. Perusahaan asing memonopoli produksi udang kita. Sekitar 90 persen produksi udang dunia dipasok laut kita, 37 persennya untuk Amerika Serikat, 27 persen untuk Jepang, 15 persen untuk Eropa. Tapi laut kita, juga tempat pembuangan 340 ribu ton limbah tailing dua tambang emas Amerika Serikat dan Australia setiap harinya, yaitu Newmont dan Freeport/Rio Tinto. Apakah WOC-CTI membicarakan masalah diatas? Tidak!
Lantas, apa hasilnya buat kita? Kerusakan ekosistem pesisir terjadi semakin dahsyat. Konversi hutan mangrove untuk kegiatan industri pertambakan dan reklamasi pantai terus meluas sepanjang 25 tahun terakhir. Dalam 3 tahun belakangan, tersisa kurang dari 1,9 juta hektar.
Laut merupakan ruang hidup bangsa, sumber penghidupan bagi jutaan nelayan Indonesia, sekaligus sumber pangan dan asupan protein bagi seluruh rakyat. Karenanya, laut  telah menjadi bagian identitas bangsa yang melekat, membuat Indonesia berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Sejak zaman pra kemerdekaan, pesisir dan laut Indonesia melayani kebutuhan Negara-negara asing. Dalam waktu sama, laut sebagai ruang hidup dan kelola rakyat makin menjauh, justru menjadi tempat tumbuh suburnya praktek kejahatan perikanan, dan tampungan limbah industri tambang, minyak dan gas perusahaan transnasional.
Laut kita ajang praktek pencurian ikan oleh 10 negara asing dalam 15 tahun terakhir. Mereka adalah Thailand, Filipina, Taiwan, Korea, Panama, Cina, Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Myanmar. Pencurian ini melenyapkan sekitar 30 – 50 persen total potensi perikanan tangkap nasional tiap tahun. Ironisnya, tindakan-tindakan pemerintah malah memperburuk krisis tersebut lewat liberalisasi sektor perikanan. Intinya bagaimana memproduksi sebanyak-banyaknya untuk kebutuhan protein bangsa lain. Sekitar 90 persen produksi udang kita memasok kebutuhan asing, 37 persen untuk Amerika Serikat, 27 persen untuk Jepang, 15 persen untuk Eropa.
Kawasan pantai dan pesisir juga makin rentan gelombang tsunami, salinitas dan naiknya muka  laut, sejak diserbu proyek reklamasi pembangunan kawasan industri, perniagaan, dan permukiman mewah. Hal itu berakibat kerusakan dan berkurangnya luasan hutan mangrove. Dari empat proyek reklamasi pantai di di Padang Sumatera Barat, Jakarta, Makassar Sulawesi Selatan dan Manado Sulawesi Utara, sudah lebih  5 ribu ha ekosistem mangrove, lamun, maupun terumbu karang terancam. Kini, lebih 10 proyek reklamasi pantai secara masif dilakukan di seluruh Indonesia.
Lantas, apa hasilnya buat kita? Kerusakan ekosistem pesisir terjadi semakin dahsyat. Konversi hutan mangrove untuk kegiatan industri pertambakan dan reklamasi pantai terus meluas sepanjang 25 tahun terakhir. Dalam 3 tahun belakangan, tersisa kurang dari 1,9 juta hektar.
Sementara pertambakan dimonopoli perusahaana asing, Di Lampung, sekitar 60 persen lahan produktif pertambakan dikuasai perusahaan multinasional Charoen Phokpand, yang juga mengusai sekitar 50 persen total ekspor udang kita. Padahal tambak-tambak mereka dibiayai utang ADB dan Bank Dunia. Jika di rata-rata, kontribusi utang luar negeri dari sektor ini mencapai Rp39,5 miliar per tahun, sejak 1983 hingga 2013 mendatang.
Laut kita, juga tempat pembuangan limbah perusahaan tambang logam, batubara dan migas skala besar. Tak hanya mengakibatkan sedimentasi ke muara,  industri tambang juga membuang limbah beracunnya langsung ke laut, sehingga berdampak pada kehidupan nelayan. Dari dua tambang emas Amerika Serikat saja, Newmont dan PT Freeport/Rio Tinto membuang 340 ribu ton tailing setiap harinya. Demikian halnya buangan limbah pengeboran dan pengangkutan minyak bumi ilegal.
Di perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta, hampir setiap tahun ditemukan tumpahan minyak mentah (tarball). Hal yang sama terjadi di Teluk Balikpapan Kalimantan Timur dan Indramayu Jawa Barat. Eksplorasi minyak dan gas menggunakan dinamit yang diledakan di kedalaman laut Teluk Balikpapan, berakibat kematian massal ikan dan rusaknya terumbu karang di perairan tersebut.
Padahal  pengerukan bahan tambang itu sebagian besar untuk memasok kebutuhan asing. Ekspor batubara Indonesia misalnya, ditujukan ke negara Asia seperti Jepang, China, Taiwan,  India, Korea Selatan, Hongkong, Malaysia, Thailand dan Filipina. Negara tujuan ekspor lainnya adalah Eropa seperti Belanda, Jerman dan Inggris, serta negara-negara di Amerika. Importir terbesar batubara Indonesia, Jepang, dan Taiwan.
Secara utuh, situasi di atas akan memperparah krisis pangan nasional. Jika tidak dihentikan, sebelum 2015, Indonesia akan krisis ikan. Gejala krisis telah dirasakan dari hilangnya sejumlah jenis ikan konsumsi lokal di pasar-pasar tradisional, menurunnya tangkapan nelayan serta tingginya konflik perikanan, dipicu perebutan sumberdaya perikanan yang makin terbatas. Bahkan bergantung pasokan ikan negara lain, yang jumlahnya terus membengkak tiap tahun, rata-rata 23,34 persen per tahun. Dan, meningkat hingga diatas 30 persen.
Data Pusat Karantina menunjukkan impor udang 2007 hingga pertengahan tahun lalu mencapai 1,17 juta kg. Angka impor udang tersebut meningkat dari 896 ton pada 2006. Akibatnya, harga udang di pasaran nasional maupun lokal mengalami penurunan, hingga 20 persen. Masalah diatas ditambah maraknya bencana di laut. Kini, sekitar 147 juta masyarakat pesisir, termasuk 20 juta nelayan didalamnya hidup akrab dengan bencana keseharian.
Jutaan nelayan tergusur dari tempat hidupnya akibat perluasan kegiatan reklamasi dan industri, pencemaran laut, hingga proyek-proyek konservasi yang terbukti anti rakyat. Laut juga makin tak ramah, dalam 5 bulan terakhir, sedikitnya 43 orang meninggal dunia dan 386 orang dinyatakan hilang akibat gelombang laut yang kian sulit diperhitungkan. Celakanya, krisis-krisis laut di atas diabaikan dalam perhelatan WOC-CTI.

sumber: Jakartapress.com
Selasa, 12/05/2009 | 11:06 WIB
oleh: Aliansi Manado *)
*) Aliansi Manado terdiri dari WALHI/FoE, JATAM, KIARA, Perkumpulan KELOLA, YSN, AMMALTA, Institut Hijau Indonesia, KPNNI, SINAR, PKP2M, SEAFish, COMMIT, KAU.

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Powered by Blogger.