Home » » Grasi: Hidup-Mati Terpidana Mati

Grasi: Hidup-Mati Terpidana Mati


“Yang memutuskan hukuman mati adalah hakim, presiden cuma tidak mengampuni.” (Kompas.com, 1 Maret 2015)

Kalimat di atas merupakan statmen dari Presiden Jokowidodo terhadap masalah penolakan grasi terpidana mati kasus narkoba, dalam wawancaranya kepada media disela-sela acara Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta. Tentunya merupakan suatu pernyataan yang menarik karena diungkapkan oleh Jokowidodo sebagai kepala negara yang mana oleh para pencari keadilan merupakan pintu terakhir yang harus dilewati sebelum dieksekusi. Terutama dalam pemberian grasi bagi terpidana mati.

Jokowi dalam konteks ini, memastikan akan menolak permohonan grasi yang diajukan oleh 64 terpidana mati kasus narkoba. Alasannya bahwa Negara Indonesia sudah sampai kepada darurat narkoba dan kesalahan itu sulit untuk dimaafkan karena merusak masa depan generasi penerus bangsa. Penolakan grasi ini juga sangatlah penting untuk menjadi shock therapy dan memberikan efek jera bagi para bandar, pengedar, maupun pengguna.

Eksekusi tahap pertama terhadap 6 (enam) orang terpidana mati sudah dilakukan. Ke-6 terpidana mati ini dieksekusi setelah permohonan grasinya ditolak oleh Jokowi. Tentunya akan ada tahap kedua, ketiga, dan seterusnya, dalam proses pelaksanaan hukuman mati ini. Keputusan penolakan grasi tanpa memeriksa secara detail perubahan-perubahan dan perkembangan terdakwa serta materi kasus tersebut, pada akhirnya menghasilkan suatu eksekusi yang bermasalah dalam sudut pandang keadilan.

Hal ini tentunya mengundang reaksi yang sangat keras dari para aktivis HAM Indonesia.  Adanya penilainan bahwa hukuman mati bukanlah cara yang tepat untuk menghukum terpidana kasus narkoba agar dapat menimbulkan efek jera bagi para pengedar narkoba. Sebaliknya, justru lebih kepada upaya balas dendam dan berpotensi melakukan pelanggaran HAM.

Kedudukan Grasi dalam Hukum Positif
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan grasi diatur dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara, Pasal 14 Ayat (1) bersamaan dengan ketentuan mengenai rehabilitasi. Dalam pasal ini disebutkan bahwa “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.”

Sebelum penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002, pemberian grasi didasarkan pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi. Akan tetapi, penerapan terbaru dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, dikatakan bahwa “Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau menghapus pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.” Kemudian diperjelas lagi dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) bahwa “Presiden memberikan keputusan berupa pemberian atau penolakan grasi melalui Keputusan Presiden terhadap permohonan grasi, setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.” Di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi secara tegas disebutkan bahwa grasi merupakan hak prerogatif Presiden. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan.

Di dalam dasar pengajuan grasi terdapat istilah “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” diartikan sebagai, putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau putusan kasasi. Presiden memberikan keputusan berupa pemberian atau penolakan grasi melalui Keputusan Presiden terhadap permohonan grasi, setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

Pasal 35 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dikatakan bahwa Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi. Selanjutnya dalam Pasal 37 dikatakan bahwa Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain.

Dari pemaparan tersebut, dapatlah dikatakan bahwa grasi diajukan kepada presiden dan kemudian presiden meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Dari hal-hal tersebut, presiden dapat mengabulkan atau menolak permohonan grasi. Tentu saja, pertimbangan hukum yang dikeluarkan Mahkamah Agung adalah pertimbangan yang bersifat yuridis. Setelah itu, keputusan yang dikeluarkan presiden menjadi hak penuh yang dimiliki presiden.

Henry P. Panggabean dalam bukunya Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-Hari menyebutkan bahwa pemberian nasihat hukum atau pertimbangan hukum (Advieserende functie) sebagai fungsi penasihat bagi Mahkamah Agung. Advieserende functie ini juga dapat berupa pemberian nasihat hukum kepada lembaga-lembaga negara tertentu. Menurut Henry, proses penanganan grasi di Mahkamah Agung menganut dua prinsip yaitu pemberian grasi yang berorientasi pada keadilan dan perlunya mempertimbangkan perubahan situasi. Sedangkan Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Komentar atas Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan pertimbangan Mahkamah Agung dimaksudkan agar presiden mendapatkan masukan dari lembaga yang tepat sesuai fungsinya. Sebagai lembaga peradilan tertinggi, Mahkamah Agung adalah lembaga negara paling tepat memberikan pertimbangan kepada presiden mengenai grasi. Pertimbangan itu juga dimaksudkan agar terjalin saling mengawasi antar lembaga negara.

Dalam fungsinya selaku figur can do no wrong kepala negara (bukan kepala pemerintahan) memiliki hak khusus atau hak istimewa yang tidak dimiliki oleh fungsi jabatan kenegaraan lain yakni hak prerogatif. Ananda B. Kusuma, pengajar Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam artikelnya yang berjudul “UUD 1945 Mengenal Hak Prerogatif,” menjelaskan bahwa menurut Thomas Jefferson, hak prerogatif adalah kekuasaan yang langsung diberikan oleh Konstitusi (power granted him directly by constitution). Thomas Jefferson adalah orang yang menulis Declaration of Independence dan ikut menyusun Konstitusi Amerika Serikat.

Pada sisi lain, menurut Syafran Sofyan, S.H., M.Hum dalam tulisannya yang berjudul Implementasi Nilai-Nilai Konstitusi dalam Meningkatkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa menjelaskan bahwa hak prerogatif mengacu hak yang sebenarnya dimiliki/berasal dari lembaga negara lain, tetapi diserahkan penggunaannya kepada Presiden/Kepala Negara sebagai penghormatan dan pelaksanaannya tidak perlu dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa hak prerogatif adalah hak-hak yang diberikan oleh UUD 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia kepada Presiden. Termasuk dalam memberikan grasi.

Perkara Hidup dan Mati
Vergeldings Theorien dalam Teori Absolute Theory (teori pembalasan) mengemukakan bahwa, negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi masyarakat atau Negara) yang telah dilindungi. Oleh karena itu, ia harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya. Penjatuhan pidana yang pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain.

Tindakan pembalasan didalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah yaitu, ditujukan pada penjahatnya yaitu dengan cara memuaskan dan atau menghilangkan penderitaan (sudut subjektif) dan ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat dengan cara kepada pelaku kejahatan harus diberikan pembalasan yang setimpal (sudut objektif). Oleh sebab itulah, dapat dikatakan bahwa teori pembalasan ini sebenarnya mengejar kepuasan hati, baik korban dan keluarganya maupun masyarakat pada umumnya.

Para ahli dan praktisi hukum serta aktivis HAM dari dalam negeri maupun luar negeri telah dengan jelas berargumen menentang hukuman mati bagi tindak pidana narkotika dengan dasar keberpihakan pada hak asasi manusia. Hukuman mati tidaklah efektif dalam menimbulkan ‘efek jera’ untuk menghalangi peredaran maupun menekan tingkat penggunaan narkotika.

Franz Magnis-Suseno, Guru Besar STF Driyarkara, dalam Diskusi Publik Haruskah Hukuman Mati yang diselengarakan oleh Komunitas Notanostra, mengungkapkan bahwa praktik hukum yang masih diragukan dan diduga tak bebas dari korupsi seharusnya lebih dahulu diperbaiki. Beliau mengaku risau terhadap keadaan hukum di Indonesia. System hukum yang belum beres tidak bisa seenaknya mematikan hak hidup orang lain. Selajutnya praktisi hukum Taufik Basari menambahkan bahwa, efek jera bisa dilakukan dengan pembersihan hukum dari tindakan koruptif.

Jika dilihat dari aspek efek jera, maka penggunaan kata ‘efek jera’ dalam penghukuman harus ditempatkan dalam konteks pelaku yang sudah pernah atau berulang kali melakukan tindak pidana, bukan bagi mereka yang mau/akan/ingin melakukan tindak pidana. Apabila dikaitkan dengan hukuman mati, sangat tidak benar apabila hukuman mati dikenakan dengan tujuan menimbulkan efek jera. Ada dua pendapat di sini: Pertama, Orang yang sudah mati dieksekusi tidak dapat kembali berbuat kejahatan atau merasa jera melakukan kejahatan karena sudah meninggal. Kedua, Efek jera ditujukan untuk orang lain (bukan di pelaku), maka penempatan kata ‘jera’ tidak kontekstual. Tidak semua masyarakat di luar penjara adalah penjahat atau residivis (orang yang sering keluar masuk penjara, atau orang yang kembali berbuat kejahatan dalam waktu 5 tahun). Dalam masyarakat terdapat banyak calon-calon penjahat, kemungkinan memang benar. Namun, untuk masyarakat seperti ini tidak bisa dikatakan jera karena mereka belum pernah melakukan kejahatan atau tidak semua masyarakat itu residivis. Bagi mereka yang belum pernah berbuat kejahatan, penghukuman lebih tepat untuk tujuan menakut-nakuti (premanisme) agar tidak berbuat kejahatan, bukan efek jera.

Substansi grasi adalah pengakuan atas keterbatasan manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna. Manusia bisa khilaf. Bahwa kesalahan adalah fitrah manusia, tidak terkecuali dalam memutus perkara. Yudikatif sebagaimana halnya Legislatif dan Eksekutif berada di wilayah mungkin salah (might be wrong). Grasi juga diadakan dengan kemungkinan adanya kekeliruan - yang terkecil sekalipun – dalam system hukum. Di titik ini grasi diharapkan dapat mengevaluasi secara lebih jernih dan bijaksana kasus-kasus pidana mati itu. Grasi dibutuhkan dalam pemerintahan suatu negara karena dapat meminimalisasi beberapa resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim. Khususnya untuk pidana pidana mati yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi terhadap orang yang tidak bersalah (innocent people). Selain itu, adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat dipercaya. Itulah sebabnya mengapa grasi berada di luar lingkup peradilan pidana. Hal ini memberikan indikasi bahwa, meskipun grasi merupakan kewenangan presiden yang berada dalam lingkup hukum tata negara dengan penggunaan hak prerogatif dalam kondisi teramat khusus, hukum pidana juga memandang tentang keberadaan grasi dalam hal upaya dari terpidana untuk menghindarkan dari eksekusi putusan. Karena hak prerogatif dalam bidang hukum adalah katup pengaman yang disediakan negara dalam bidang hukum.

Dalam kontek penolakan grasi Presiden terhadap para terpidana mati kasus narkotika dengan tanpa mempelajari terlebih dahulu permohonan grasinya maka Presiden terlihat menerima saja secara taken for granted keputusan yang telah diambil pengadilan (MA) tanpa niat untuk memeriksa secara detail perubahan-perubahan yang mungkin terjadi terhadap terdakwa selama masa penghukumannya sebelum eksekusi. Presiden sama sekali tidak mengoptimalkan otoritas grasi untuk memeriksa, menguji secara mendetail keputusan-keputusan pengadilan yang telah ada menyangkut hukuman mati. Presiden terkesan cenderung tidak mau ambil pusing terhadap perkara yang menyangkut hidup dan mati seseorang. Presiden menggunakan otoritas tanpa mempertimbangkan dimensi keadilan yang mestinya dimungkinkan di dalam fungsi grasi dengan menolak grasi bahkan sebelum permohonan grasi itu diajukan. Dalam hal ini, Presiden sebenarnya mengerdilkan fungsi grasi itu sendiri. Terkesan bahwa Presiden menjauhkan diri dari sikap adil.  


Jadi dengan adanya grasi yang diberikan kepada narapidana, memberikan kesempatan kepada para mantan narapidana untuk memperbaiki kembali kesalahan yang telah dilakukan sehingga dapat diterima kembali di tengah masyarakat. Selain itu hal tersebut juga merupakan hak setiap narapidana. Jika merujuk kepada pendapat Thomas Aquinas, maka dasar pemindanaan itu ialah kesejahteraan umum. Sehingga keputusan maupun kebijakan apapun, apalagi yang menyangkut hidup atau mati seseorang harus diambil berdasarkan bukti yang baik dan dapat diandalkan. (cK)

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Powered by Blogger.