Manipulasi Pikiran


          “Aku hendak membagikan apa yang kudengar –
            itupun jika kau mengizinkan!”


Manipulasi Pikiran
           
Dalam sejarah modern, adalah Adolf Hitler (1889-1945) yang pertama kali menggunakan mind manipulation atau manipulasi pikiran sebagai senjata. Ibarat komputer, mind atau ”gugusan pikiran” manusia dapat dimanipulasi, dapat di-hack, bahkan dapat disusupi virus untuk merusak seluruh jaringannya.

Perilaku manusia
Dalam otobiografinya (Mein Kampf), Hitler menulis, ”Teknik propaganda secanggih apa pun tak akan berhasil bila hal yang terpenting tidak diperhatikan. Yaitu, membatasi kata-kata dan memperbanyak pengulangan.” Kemungkinan besar, Hitler telah mempelajari penemuan Pavlov, ilmuwan asal Rusia dan peraih hadiah Nobel 1904 untuk psikologi dan ilmu medis. Melalui teorinya tentang conditioned reflex atau involuntary reflex action, sang ilmuwan membuktikan, ”perilaku manusia dapat diatur atau dikondisikan” sesuai ”proses pembelajaran yang diperolehnya”.

Sebenarnya Pavlov terinspirasi oleh law of association atau ”hukum keterkaitan” yang banyak dibahas para pujangga dan ilmuwan sebelumnya. Menurut hukum itu, ”suatu kejadian” dalam hidup manusia atau bentuk kehidupan lain — tetapi tidak terbatas pada hewan dan tumbuhan — dapat dikaitkan dengan ”keadaan” atau ”perangsang” atau ”apa saja” yang sebenarnya tidak terkait secara langsung dengan kejadian itu.

Ketika seekor anjing diberi makanan, ia mengeluarkan air liur. Ini disebut refleks yang lazim atau unconditioned reflex. Ia tak perlu menjalani proses pembelajaran. Namun, pada saat yang sama bila dibunyikan lonceng, terjadilah proses pembelajaran. Anjing itu mulai ”mengaitkan” bunyi lonceng dengan makanan dan air liurnya. Setelah beberapa kali mengalami kejadian serupa, maka saat mendengar bunyi lonceng, air liurnya keluar sendiri meski tidak diberi makanan. Ini disebut conditioned reflex, refleks tak lazim. Keluarnya air liur itu tidak lazim, tidak ada makanan. Namun, ia tetap mengeluarkan air liur. Pembelajaran ini harus diulang beberapa kali agar ”keterkaitan” yang dihendaki tertanam dalam gugusan pikiran atau mind hewan, atau… manusia!

Maka, tak salah bila Adolf Hitler menganjurkan ”pengulangan.” Dalam ilmu psikologi dan neurologi modern, pengulangan atau repetition juga dikaitkan dengan intensity. Apa yang hendak ditanam harus terus diulangi secara intensif. Demikian bila seekor anjing dapat mengeluarkan air liur yang sesungguhnya tak lazim, manusia pun dapat dikondisikan, dipengaruhi untuk berbuat sesuatu di luar kemauannya.

Pengulangan
Presiden Franklin Delano Roosevelt pernah menyangkal, ”Pengulangan tidak dapat mengubah kebohongan menjadi kebenaran.” Betul, tetapi pengulangan dapat membuat orang percaya pada kebohongan. Hitler membuktikan keabsahan sebuah pepatah lama dari Tibet, ”Bila diulangi terus-menerus, kebohongan pun akan dipercayai orang.” Di antara kita mungkin ada yang masih ingat kasus iklan Old Joe yang digunakan produsen rokok merek Camel pada tahun 1988. Saat itu, tokoh kartun tersebut memang amat populer di kalangan remaja. Jelas, sang produsen ingin membidik kelompok itu. Dan, mereka berhasil. Jumlah perokok remaja langsung bertambah.

Saat itu, warga Amerika Serikat yang konon super power pun tidak sadar bila gugusan pikiran mereka sedang dimanipulasi melalui iklan yang ditayangkan berulang kali setiap hari dan di banyak media. Hampir 10 tahun kemudian, setelah muncul desakan dari masyarakat dan LSM-LSM yang ”sadar,” Federal Trade Commission dan Kongres AS baru tercerahkan dan menyatakan bahwa periklanan seperti itu tidak etis dan tidak bermoral.

Camel pun mengalah dan menarik kembali iklan itu pada 1997. Hampir satu dekade setelah iklan yang tidak etis dan tidak bermoral itu berjalan dan menelan sekian banyak korban remaja. Sungguh amat disayangkan, ”periklanan yang tidak etis dan tidak bermoral” seperti ini pun terjadi di negeri kita, baik selama kampanye pemilihan umum maupun pemilihan presiden.

Saat saya membahas hal ini dengan seorang teman baik di salah satu lembaga negara yang memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi kepada para pelaku, ia pun mengeluh: ”Apa yang dapat kami lakukan bila tidak ada keluhan dari masyarakat?” Siapakah masyarakat yang dimaksud?

Anda, dan saya. Adakah keberanian untuk bersuara bila keberhasilan yang dicapai, atau kemenangan yang diraih dengan memanipulasi gugusan pikiran dan otak sesama warga bangsa? Keberhasilan dan kemenangan seperti itu semu adanya. Saya berharap, saya berdoa, agar para menteri kita dalam kabinet mendatang, para wakil rakyat, anggota MPR, dan pejabat lain, termasuk yang duduk dalam KPU dan MK, Presiden, Wakil Presiden, dan rakyat Indonesia, sesama warga negara, senantiasa diberkahi pikiran dan perasaan yang jernih. Tidak saling memanipulasi dan mengeksploitasi, tetapi saling membantu untuk membangun Indonesia Baru yang lebih beradab, lebih sopan, lebih santun, lebih manusiawi.

Giliran Anda bertindak sesuai dengan nurani Anda.


Source: Kompas
Sabtu, 15 Agustus 2009 | 05:01 WIB
oleh Anand Krishna
Aktifis Spiritual dan Penulis Lebih dari 120 Buku

Belajar Bahagia dari Anak-Anak

Belajar Bahagia dari Anak-Anak

Siapa sangka anak-anak kita yang kadang nakal, lucu namun bikin rindu itu adalah salah satu guru terbaik untuk meraih kebahagiaan. Yup benar adanya, rasa bahagia itu memang harus diperjuangkan dia tidak datang dengan sendirinya. Dan ternyata sifat anak-anak yang mudah melupakan (forgiveness) dan seolah hidup hanya untuk masa kini (present) adalah salah satu cara terbaik bagi kita –orang dewasa – untuk selalu feels happy. Tapi apakah semudah itu?

Yuk, kita coba menganalisa (asal-asalan) ala saya? Dari buku psikologi tentang anak yang saya baca karya Richards Carlson mengatakan strategi belajar bahagia dari anak-anak ini bisa dilakukan siapa saja termasuk bagi yang tidak atau belum mempunyai momongan. Caranya, kita bisa sering berdekatan dengan anak-anak orang lain (anak teman, kerabat dan sodara kandung) atau mencoba mengamati atau mengobservasi kehidupan anak-anak saat mereka bermain di taman di sekolah, dsb-nya.

Intinya, anak-anak terlihat sebagai figur yang selalu berbahagia, ceria dan tanpa beban. Tentu saja rasa bahagia itu tercermin bisa kita lihat dari wajah mereka yang innocent dan polos tersebut. Rupanya anak-anak adalah sosok yang pandai menikmati pengalaman hidup ‘saat ini’ yang diperolehnya tanpa beban (kerja keras). Pengalaman hidup itu diperkaya dengan sifat bawaan mereka yang tidak gampang khawatir, take it easy, tidak terlalu menyesali yang sudah terjadi, tidak takut berbuat salah, tidak memikirkan yang belum terjadi hingga akhirnya menggangu diri sendiri, juga tidak terbebani karena memikirkan tentang masa depan bahkan masa lalu yang sudah terlewati.

Saya pun coba memahami maksud dari teori tersebut. Hidup untuk masa kini berarti hidup dengan seluruh perhatian (fokus kita) hanya tercurah untuk saat ini. Berarti jangan membiarkan pikiran kita jalan-jalan ke masa lalu yang (mungkin) pernah kelam dan menjauh dari masa kini. Benarkah kalau kita berhasil melakukan cara berpikir seperti itu maka kita tidak hanya akan menikmati masa kini tetapi juga hati menjadi happy?

Maka saya coba suatu kali, dengan terus berpikir positif dan meghalau rasa negatif yang menekan dada (sana deh pergi jauh-jauh pikiran buruk dkk.nya), sambil berbisik penuh semangat. Eh bener juga tuh, rasanya saya jadi makin merasa segar, pikiran plong dan tubuh seperti mengeluarkan aura positif yang terlihat langsung dari penampilan dan segi kreatifitas (makin produktif di segala bidang getho). He he, bener juga rupanya mood positif, rasa happy atau girang mempengaruhi produktivitas seseorang (eits, itu asumsi saya pribadi loh).

Akhirnya saya jadi ingat sebuah kejadian kecil beberapa bulan lalu yang melibatkan saya, suami, si kecil dan teman saya. Ceritanya, karena ingin menghadiri pesta tahunan di kantor suami, saya dan suami sepakat akan menitipkan si kecil kepada teman dekat yang kebetulan punya anak sebaya. Perhitungan kami, biar dua-duanya happy, orangtua happy (datang ke pesta dan bisa ha ha hi hi) si kecil juga happy dengan bermain bersama temannya walau kali aja dia bete sebentar karena terpaksa dipisahin dari induk semangnya.

Saat hari H terjadi, kami datang agak awal ke rumah teman yang mau dititipi (look after) itu dengan harapan si kecil bisa bersosialisasi sejenak dengan anak teman tersebut, jadi biar dia ga kaget kok ujung-ujung ditinggal emak bapaknya. Setengah jam berlangsung, anak saya masih ga mau lepas dan jauh-jauh dari saya. Ketika teman saya mau menggendong, dia malah menangis sejadi-jadinya. Wah… alamak gagal ke pesta nih (pikir saya). Tetapi suami menguatkan, wajar dia menangis, apalagi ini baru kali pertama dia dititipkan ke orang lain. Kamu harus tega sebagai ibunya. Well, perang batin pun dimulai antara melepaskan dan memeluknya kembali.

Akhirnya dengan hati sedikit ga rela saya tega-tegain pelan-pelan memberi si kecil kepada teman saya dan kabur. Saya ga mau dengar jerit tangisnya yang kira-kira berbunyi, betapa teganya kalian padaku! He he… ah sudahlah, harus konsen ke pesta nih. Eh… dasar pemula, tetep aja pikiran saya ga bisa beralih ke anak saya. Tiap 30 menit saya sms teman saya. Tapi kok jawabannya selalu bagus dan menyenangkan hati. “Jangan khawatir dia lagi main sama anak ku.” Kali lain ada jawaban lucu, “Nass maem lagi tuh sama anakku. Dia lahap banget maem bubur ayamnya.” Busyet… dasar bocah, greedy boy kalau kata suamiku, soale bukannya tadi di rumah dia udah makan buburnya? Ya udah aku dan suami jadi ikut lega, bahkan sms terakhir bilang, “Dia udah tidur pulas setelah minum susu, so enjoying the party aja.”

Wah… wah… wah… lucky banget mereka. Padahal kalau sama kita, anakku itu paling pinter deh. Maksudnya kalau mau bobok harus main-main dulu (bouncy play), eh dengan mereka langsung nurut. Dasar anak kecil, pinter banget ya beradaptasi. Mungkin itu salah satu contoh, bahwa si kecil berhasil menyerap saat-saat yang indah. Dia segera melupakan masa lalu yang baru saja dilalui. Konon insting anak-anak bisa mengerti bahwa hidup adalah suatu proses dari waktu yang sedang terjadi. Mereka suka mengeksplorasi setiap pengalaman demi pengalaman dan semuanya dianggap penting. Sehingga seolah-olah mereka terlihat ingin meleburkan diri secara total pada masa kini dan memberi atensi pada orang yang sedang terlibat dengan mereka.

Nah sekarang seberapa sering kita sebagai orang dewasa mampu melakukan hal yang sama? Saya pun sampai sekarang masih dalam taraf belajar. Yang pasti merasa bahagia lebih baik daripada sedih atau kecewa. Katanya selalu bahagia itu bahkan mampu bikin orang terlihat awet muda. Yang pasti saya lagi berusaha agar bisa menyuarakan ‘keberatan’ atau rasa tidak suka atau puas akan sesuatu dalam suatu waktu (saat itu juga, ga disimpen atau diulur berhari-hari di hati, emangnya makanan ya bisa disimpen di kulkas he he) dan segera beralih ke hal berikutnya tanpa terus terseret oleh hal yang bikin pusing tersebut. Teori memang mudah, tapi praktiknya butuh hati lapang. Makannya butuh motivasi, seperti (misalnya) saya pengen tetep sehat dan awet muda ketika anak saya nanti beranjak dewasa dan sukses, amin.

Kisah Seputar Pengasuhan Anak
Saya terkesima ketika membaca sebuah koran edisi Minggu beberapa waktu lalu yang membahas soal maternity leave alias cuti melahirkan atau mengasuh anak. Benarkah sejalan dengan emansipasi wanita yang makin marak di negara-negara maju – ketika perempuan juga banyak yang bekerja mencari nafkah untuk keluarga telah berpengaruh dalam hal ini menggeser beberapa sendi kehidupan yang sudah mapan di beberapa bidang. Di koran tersebut dikatakan para ahli juga menyatakan mungkin wacana atau ide agar para ayah atau kaum lelaki juga bisa mendapat hak yang sama–pengasuhan anak atau cuti maternity leave adalah langkah logis sebagai akibat dari tuntutan dari persamaan gender. Yang menjadi perdebatan, apakah para ayah ini juga berhak atau layak mendapat paternity leave (cuti setahun) dan dibayar pula layaknya perempuan yang sudah mengandung dan melahirkan anak-anaknya.

Debat soal ini terus mengemuka di OZ mengingat jumlah perempuan bekerja juga semakin meningkat sementara di lain pihak banyak kaum laki-laki yang memilih tinggal di rumah mengasuh anak-anaknya (hanya bekerja part time) ketika karier sang istri jauh melesat. Dan ada kecenderungan, kaum pria juga semakin ingin dekat dengan anak-anaknya dan melihat perkembangan mereka dari dekat. Nah, tidak ingin berdebat panjang soal model pengasuhan mana yang terbaik, kali ini kita bisa membaca sharing tiga keluarga yang tinggal di Australia dan Jepang yang sama-sama punya latar belakang hampir sama, menikah di usia matang, jauh dari keluarga besar dan punya anak balita. Yuk kita intip lika liku para pasangan beda negara itu dalam mengasuh anak-anak mereka. 

Ayah yang berupaya selalu dekat dengan anak-anaknya memang akan mempunyai bonding yang kuat seperti halnya ibu dan anak. Sepertinya contohnya, anak saya Nasser yang merasa kehilangan ayahnya ketika si ayah tidak muncul beberapa hari di rumah karena tugas ke luar negeri. “Dad… dad… dad… dad,” begitu terus celotehnya sampai kuping ini geli. Kalau sudah begini memang terbukti ya anak-anak juga selalu ingin dekat dengan ayahnya. Makannya untuk mengurangi rasa rindu yang besar pada anak saya, saya suka merekam suara kami (orangtuanya) yang sewaktu-waktu bisa diputar ketika anak mencari-cari. So far sih ga ada masalah, engga tahu ya kalu nanti dia besar. Sekarang aja dia udah cerdik, seperti memberi telepon ke saya - agar saya menelepon ayahnya – sambil bilang, dad… dad... dad.

Secara pribadi kami (saya dan suami) juga terpancing membicarakan tema menarik di atas yang tentu saja akan menjadi realitas di masa depan. Di mana keluarga inti harus berjuang sendiri menjalankan roda kehidupan mereka tanpa campur tangan dan bantuan pihak lain (keluarga besar), karena keterbatasan waktu dan tenaga. Suami pun sempat berandai-andai bila dia suatu saat ingin pensiun dini dan bekerja dari rumah, maka saatnya bagi dia untuk ikut merasakan menjadi pengasuh bagi anak-anak kami. Sementara saya boleh memilih kembali bekerja, sekolah dan sebagainya. Ah… untuk saat ini saya jadi berpikir lucu juga ya, apa karena saya belum terbiasa saja.

Sementara itu ada pilihan lain di luar peran orangtua, yaitu institusi resmi yang ikut berperan dalam hal pengasuhan anak. Adalah hal yang wajar, ketika para orangtua memilih memperkenalkan balitanya pada child care atau family day care sebagai lembaga yang dipandang bisa meringankan beban mereka. Tujuannya sama sekali bukan lepas dari tangung jawab sebagai orangtua, tetapi banyak alasan yang tergolong masuk akal, diantaranya di child care selain punya program-program bagus anak diajarkan bersosialisasi dengan sesama (tidak egois dan mau berbagi), mengembangkan ketrampilan sosial baik secara individu dan berkelompok, mengekspresikan kebutuhan dan emosi mereka serta lebih percaya diri dalam lingkup pergaulan yang berbeda.

Sementara itu untuk orangtua sendiri, dengan mengirimkan anak ke child care atau family day care orangtua yang bekerja bisa fokus bekerja, atau ingin kembali ke sekolah sebagai bekal untuk masa datang, karena orangtua ada kegiatan yang harus dihadiri tanpa anak hingga butuh brake walau hanya sekejap (beberapa jam). Terus terang untuk orangtua atau full time mum/dad, brake sejenak adalah waktu yang sangat berharga ibarat mengisi batere untuk beraktivitas kembali. Biasanya para ibu ini menggunakan waktu brake sejenak tanpa si kecil dengan hal-hal yang berguna seperti bebenah rumah atau kebun, belanja, hingga melakukan hobi lama yang sulit dilakukan dengan hadirnya anak-anak.

Di negara maju child care dan day care memang menjadi satu solusi yang lumayan membantu, ketika orangtua bekerja atau memiliki kebutuhan lainnya. Tentu saja bila ada anggota keluarga atau relasi yang bisa membantu akan menjadi rujukan yang pertama. Tapi bisa dihitung berapa banyak keluarga yang beruntung seperti itu. Punya anak memang bahagia tetapi harus siap menjalani segala konsekuensinya dengan mau memikirkan hak dan kewajiban mereka. Orangtua memang akan mengalami stres kalau tidak punya manajemen waktu  yang baik ketika harus membesarkan anak-anak tanpa bantuan keluarga besar.

Wah… apalagi kalau anak-anak itu masih balita, harus siap mental (tidak stres) setiap saat, ketika menghadapi tiada hari tanpa rumah bak kapal pecah karena si kecil yang lincah dan aktif. Tetapi sesuai pilihan hidup masing-masing ya terima sajalah. Contoh rutinitas kecil yang dilalui ibu-ibu beranak balita misalnya, rela bebenah merapihkan mainan si kecil ke box dan tidak boleh marah ketika diberantakin lagi oleh si boy he he. Belum kalo sakit, si kecil biasanya nemplok terus sama ibunya. Makanya, salah satu romantika hidup sebagai ibu, memang harus banyak suabaaaaaarrrrrrr. Tapi mudah-mudahan kalau kita rela mengasuh anak-anak tersebut akan menjadi amal ibadah yang berguna kelak.

Kita juga harus kuat ketika mencoba mendisiplinkan si kecil yang menangis mendengar suara orangtuanya yang meninggi karena tidak setuju dengan ulahnya. Tapi di lain waktu, kita pun luluh ketika melihat sinar tulus di matanya dan gaya tidurnya yang pulas. Alasan tersebut yang membuat saya sampai kini enggan kembali ke dunia kerja yang dulu sempat dilakoni. Rasanya masih belum tega meninggalkan si kecil sendirian tanpa pendamping. Saya ingin menikmati masa-masa pertumbuhan si kecil yang berlangsung cepat, sekarang saja walau masih 1 tahun-an, dia sudah bisa bilang beberapa kata seperti dad (ayah) dan mum (ibu). Apalagi dulu mendapatkannya pun dengan penuh usaha? Malah kini kami berniat ingin memberi teman untuk si kecil. Ah… kalau sudah begini siapapun berhak mengasuh mereka. Soal debat kusir di atas, mudah-mudahan dicapai solusi yang terbaik.


Source: NN

Bicara Bohong; Jual Pepesan Kosong


Bicara Bohong; Jual Pepesan Kosong

Korupsi, upaya korupsi, atau penyalahgunaan posisi pasti mengandung elemen kebohongan, yang mungkin dapat kita definisikan secara sederhana sebagai “pernyataan tidak benar dengan tujuan untuk mengelabui.” Teori psikologi yang standar melihat berbohong sebagai kerja yang lebih sulit daripada bicara benar. Mengapa?

Karena berbohong memerlukan sumber-sumber daya tambahan, antara lain, melawan diri sendiri dengan menekan kebenaran, untuk memantau respons dan perilaku orang yang berhadapan dengan kita, untuk mengarang cerita dan mempertahankan koherensi cerita. Jadi, ada “beban kognitif” atau kesulitan kognitif tersendiri yang harus ditanggung individu untuk dapat berbohong.

Beberapa studi neuropsikologi membuktikan hal di atas. Berbohong menyebabkan adanya peningkatan aktivasi bagian otak yang secara khusus terkait dengan pengendalian kognitif yang harus dilakukan orang saat berbohong.

Penelitian-penelitian yang lebih baru menemukan, berbohong itu ternyata tidak terlalu lebih sulit daripada bicara benar. Bohong menjadi lebih sulit apabila individu harus mengkontruksi cerita yang detail-detailnya sulit diakses kembali dari ingatan. Atau apabila individu tidak terlaltih untuk melakukannya. Tetapi, bergantung pada berbagai faktor kontekstual, berbohong bisa saja menjadi kerja yang relatif mudah dilakukan.

Verschuere dkk (2011) dan Van Bockstaele  dkk (2015) membuktikan melalui penelitian eksperimental mereka bahwa berbohong dapat makin cepat, mudah, dan tanpa beban dilakukan apabila individu terlatih melakukannya. Beberapa percobaan sederhana dilakukan dengan memanipulasi tugas, partisipan eksperimen kadang diminta menjawab secara benar dan disaat lain, berbohong. Partisipan hanya diminta menjawab “ya” atau “tidak” untuk pertanyaan-pertanyaan sederhana, misalnya, “Apakah hari ini anda membeli koran?” Atau, “Apakah London itu ada di negara Jerman?” Atau, “Apakah di laut ada air?” Kadang pertanyaannya juga terkait otobiografi partisipan (misalnya, “Apakah anda lahir di Amsterdam?”).

 “Beban kognitif” atau kesulitan kognitif untuk berbohong dilihat dari waktu reaksi. Yakni seberapa cepat individu berespond ketika disuruh harus berbohong dan seberapa cepat disuruh harus menjawab ketika diharuskan tidak berbohong. Juga dari perbandingan banyaknya kesalahan yang dilakukan antara menjawab bohong dan menjawab secara benar.

Untuk melihat efek dari latihan atau pembiasaan berbohong, Verschuere dkk memanipulasi proporsi percobaan berbohong dan bicara benar. Ada kelompok individu yang memperoleh insttruksi untuk berbohong pada 25 persen dari percobaan, ada yang 50 persen, ada yang pada 75 persen percobaan. Yang diminta untuk lebih jarang berbohong dengan lebih sulit, ditunjukan dengan melalui waktu reaksi yang lebih lambat dan lebih banyaknya kesalahan saat harus berbohong.

Peneliti juga mencoba memanipulasi kondisi dengan mengubah-ubah instruksi. Data menunjukan bahwa partisipan akan lebih cepat mampu berbohong apabila ditugas sebelumnya ia juga memperoleh instruksi untuk berbohong. Jika sebelumnya ia dituntut untuk bicarra benar, lalu harus berpindah tugas untuk berbicara bohong dipercobaan berikutnya, individu memerlukan waktu lebih lama untuk berhasil menjalankan tugasnya.

Pembelajaran
Hasil penelitian memberikan beberapa pemahaman. Pertama, yang jarang berbohong akan lebih sulit berbohong, dan mungkin lebih mudah ketahuan apabila ia berbicara tidak jujur. Terlihat dari waktu reaksi yang lama, dan kesalahan-kesalahan yang dapat dideteksi, misalnya, tidak koherennya cerita. Yang lebih biasa berbohong akan melakukannya dengan mudah, cepat, dan tanpa beban.

Kedua, konteks, situasi sosial, dan pembiasaan menjadi sangat penting. Jika kita ada dalam lingkungan yang menuntut kejujuran dan bicara benar, dan terus memperoleh instruksi dan pengawasan untuk itu, kita akan jauh lebih mudah bicara jujur. Dalam lingkungan seperti ini, bicara bohong atau kosong membawa beban kognitif yang lebih besar sehingga jauh lebih sulit dilakukan. Sebaliknya, jika kita ada  dalam lingkungan yang sebagian besar bicara bohong, bicara kosong dan bohong seolah justru menjadi tuntutan. Kita akan terlatih untuk melakukannya.

Ketiga, menggabungkan pembelajaran dari sejumlah temuan penelitian secara lebih komprehensif, psikologi hukum dan ilmu-ilmu terkait perlu menelaah kembali dan memperbaharui beragam alat dan test untuk menguji kejujuran dan mendeteksi kebohongan. Kita perlu memastikan, agar perangkat yang digunakan dalam proses hukum, sidang etika, dan dalam seleksi jabatan-jabatan yang sangat memerlukan integritas dapat mendeteksi perilaku individu-individu yang memang sangat piawai dalam berbohong.

Penelitian di atas melihat dari sisi kognitif saja, kita belum menggabungkannya dengan sisi emosional-etis perilaku manusia karena pembiasaan juga akan menghilangkan kepekaan, mengikis rasa bersalah dan rasa malu. Dalam lingkungan dengan kebohongan itu jadi tuntutan, malah kita dapat merasa bersalah pada kelompok atau institusi jika tidak melakukannya. Kita jadi mengerti, mengapa sebagian orang berpengaruh di negara kita sangat fasih dan ramai bicara mengenai “kebangsaan, nasionalisme, moralitas, penegakan hukum, pemberantasan korupsi,” tetapi percakapannya sangat kosong dan perilaku yang ditunjukan adalah yang sebaliknya.

Betapa besar dan sulit, tugas untuk dapat me-rekonstruksi pelembagaan kebohongan. Walau demikian, yang sangat sulit bukan berarti mustahil untuk dilakukan.


Semoga kita dapat menjadi manusia yang lebih sedikit berbohong dan lebih sedikit bicara kosong. 

Source; Kompas Cetak

Filosofi Pohon


Filosofi Pohon

Pohon dapat juga digunakan sebagai bahan introspeksi hidup kita dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kita. Filosofi Pohon (sebutan orang betawi: Puun), disebutkan ada 3 hal yang dapat dipelajari dari Pohon.

1.    Pohon tidak makan dari buahnya sendiri. Buah adalah hasil atau karya yang luar biasa dari sebatang Pohon. Dari manakah Pohon memperoleh makanan? Pohon memperoleh makanan dari tanah, semakin dalam akarnya berarti akan semakin mudah baginya untuk menyerap nutrisi lebih banyak. Disamping itu kedalaman akar dapat membuat sebatang pohon semakin kuat dan tegak berdiri kokoh. Ini berbicara tentang kedekatan hubungan kita dengan Sang Pencipta sebagai sumber kehidupan kita. Ada cerita menarik mengenai "buah kurma" yang rasanya manis sekali. Kenapa bisa begitu? Menurut referensi, pohon kurma ditanam di padang pasir. Bijinya ditaruh di kedalaman 2 meter kemudian ditutup dengan 4 lapisan. Sebelum pohon kurma tumbuh, maka dia berakar begitu dalam sampai kemudian menembus 4 lapisan tersebut dan menghasilkan buah yang manis di tengah padang pasir. Begitu pula hendaknya Kita; untuk berhasil dalam karier dan pekerjaan, kita akan mengalami proses tekanan yang begitu hebat ketika kita menginginkan hasil yang luar biasa. Seperti perumpamaan pegas yang memiliki daya dorong kuat ketika ditekan.

2.   Pohon tidak pernah tersinggung ketika buahnya dipetik orang. Kadang kita protes, kenapa kita yang bekerja keras tetapi yang menikmati justru orang lain. Ini bicara tentang prinsip memberi, dimana kita bukan bekerja untuk hidup, tetapi bekerja untuk memberi buah. Apa artinya? Kita bekerja keras supaya kita dapat memberi lebih banyak kepada orang lain yang membutuhkan, bukan untuk kenikmatan kita sendiri. Cukupkan dirimu dengan apa yang ada padamu, tapi jangan pernah berkata cukup untuk memberkati orang lain dengan pemberian kita. Pelajaran dari Warren Buffet seperti email yang mungkin pernah anda terima tentang kehidupannya. Beliau termasuk salah satu orang yang terkaya di dunia, tetapi kehidupannya mencerminkan kesederhanaan; dia masih tinggal di rumah yang sama seperti yang dia tinggali puluhan tahun lalu sebelum menjadi milliarder, masih menggunakan mobilnya yang lama, tetapi dengan kekayaannya yang berjumlah 35 Miliar USD dia berkomitmen untuk menyumbang 31 Miliar USD. Apakah itu membuatnya menjadi miskin dan lantas menderita? Justru tidak, sekarang kekayaannya justru bertambah-tambah banyak. Berapa banyak dari kita yang sulit untuk menahan nafsu terhadap barang-barang bermerek, mobil-mobil mewah, atau yang sederhana: beli HP blackberry, hanya demi gengsi?

3.        Buah yang dihasilkan pohon itu menghasilkan biji, dan biji itu menghasilkan multiplikasi. Ini bicara tentang bagaimana hidup kita memberikan dampak terhadap orang lain. Pemimpin itu bukan masalah posisi atau jabatan, tapi masalah pengaruh dan inspirasi yang diberikan kepada orang lain. Carlo Ancelotti, pelatih klub sepakbola AC Milan (sebelum ke Chelsea) menyatakan bahwa Paolo Maldini itu adalah pemimpin, walaupun ban kaptennya dicopot sekalipun dia tetap Pemimpin. Jadi bukan mengenai ban kaptennya, tetapi lebih kepada pengakuan kepemimpinan itu sendiri. Bicara mengenai dampak, pendiri Astra bercita-cita menjadikan perusahaan Astra sebagai sebuah pohon besar yang rindang, yang dapat menjadi tempat berteduh buat banyak orang. Dan hal itu tercapai dengan jumlah karyawan 120.000 orang, yang artinya dapat memberikan penghidupan kepada sekitar 600.000 jiwa. Visi dan misi perusahaan ini dibangun bukan karena keserakahan memperkaya diri sendiri, tapi lebih kepada cita-cita untuk "menjadi yang bermanfaat bagi orang lain, bahkan mungkin Bangsa dan Negara."


Bisakah kita menerapkan filosofi kehidupan pohon dalam kehidupan kita, baik untuk lingkungan keluarga, dalam pekerjaan maupun masyarakat sekitar kita?

Source: dari  berbagai sumber.





Gadis Penjual Korek Api (Sebuah Parodi Marxis)


Gadis Penjual Korek Api (Sebuah Parodi Marxis)

Pada zaman dahulu kala, kira-kira akhir abad ke duapuluh, di sebuah negeri di eropa timur hiduplah seorang gadis penjual korek api. Gadis itu sedang mencari uang untuk mengobati ibunya yang sakit-sakitan. Berhari-hari dia mengumpulkan uang, tapi uang tak pernah cukup untuk rumah sakit. Tidak ada yang pernah cukup bagi orang miskin, bahkan untuk memberi ibunya sekerat roti pun kesusahan.

Terus dan terus, berbulan-bulan dia bekerja. Dan bekerja. Dan bekerja. Dan bekerja. Dan bekerja. Dan bekerja. Dan bekerja lebih banyak dari tulisan bekerja yang ada di karangan ini. Hingga hadir bulan Desember. Salju turun, anak-anak begitu gembira. White Cristmast kata orang-orang.

Tapi begitu salju turun, itu artinya beban baru bagi gadis si penjual korek api. Ada untungnya saat natal tiba, artinya dia bisa ikut berjejer di gereja untuk menengadahkan tangan ke para penderma. Tapi semakin lama semakin banyak pengemis, dan betapa banyakpun yang diberi orang kaya maka dia masih kekurangan dan harga roti semakin mahal.

Lagipula ibunya selalu menasihatinya untuk jangan jadi pengemis. Jadi dia lebih suka bekerja keras, menjual korek api untuk menghangatkan tungku perapian.

Dia heran kenapa di rumah orang kaya selalu ada banyak kayu bakar, kenapa selalu dia baui roti yang hangat. Apa yang orang kaya kerjakan? Apakah mereka kadang mengumpulkan kayu bakar di hutan seperti dirinya. Apakah mereka menjual korek api juga.

Pernah sekali ketika sang gadis penjual korek api mengintip ke sebuah toko roti yang mewah, dia ingin membelikan kue tar itu untuk ibunya, untuk malam Natal. Tapi pemiliknya yang punya kumis besar memarahinya. Dia mengatakan “Pergi kamu Yahudi Babi.” Sang gadis penjual korek api tak pernah mengerti, apa salah dirinya sehingga marah-marah seperti itu. Sang gadis memutuskan dia tak akan pernah membeli roti dari sana.

Hari semakin gelap, dia belum mendapatkan uang malam itu. Salju turun, dinginnya bukan main. Jalanan sedang sepi dan dia belum mendapatkan cukup uang untuk membelikan makanan untuk ibunya dan juga dirinya. Rasanya sangat lapar, jika lapar itu serigala maka dia pasti sudah dimakan habis. Itu pun lebih baik, karena lapar itu seperti rayap yang menggerogoti perutnya dari dalam.

Juga dingin, natal putih adalah kutukan bagi orang miskin. Putih rasanya seperti menghantui mereka. Salju adalah penjahat putih yang bersiap membunuh kapan saja. Santa Claus akan datang dari perapian yang mati, dan masuk memberi hadiah, tapi si tuan rumah sudah terlelap dalam tidurnya. Salju telah datang lebih dulu dengan pisau es-nya yang dingin dan tajam. Ngomong-ngomong soal santa Claus, sang gadis penjual korek api heran, kenapa dia masuk dalam daftar nama anak nakal. Claus tidak pernah mendatanginya. Mungkin salah dalam pendataan, yah, selalu saja ada yang salah dalam pendataan.

Sang gadis mengantuk dan hendak tidur. Tidak! Tidak boleh! Katanya orang akan meninggal kalau terlelap dalam keadaan seperti ini.

Jadi si gadis penjual korek api menyalakan korek api di tangannya, mencoba melawan dingin yang menyerang. Tiba-tiba muncul sesuatu. Dia tidak percaya. Itu seorang pria dengan janggut panjang, dia bukan santa Claus, janggutnya jelek dan awut-awutan. Pria itu kemudian berkata.

“Namaku Karl Marx”
Orang itu aneh, namanya Karl Marx.
“Hantu menghantui Eropa-Hantu Komunisme!!!”
Sang gadis penjual korek api tidak mengerti.
“Agama adalah candu.”

Apa maksudnya? Apa yang dikatakannya itu sangat aneh. Tapi rasanya sang gadis penjual korek api sedikit mengerti. Tiap kali lapar, ibunya menyuruh berdoa. Tidak ada makanan, tapi setidaknya dia tidak merasa terlalu lapar. Sang gadis penjual korek api mendengarkan Karl Marx. Walaupun dia tidak sepenuhnya mengerti tapi dia setuju dengannya bahwa asal muasal masalah adalah kaum Kapitalis. Dia telah kena tipu! Dipikir lagi dia harus setor sejumlah uang kepada tukang di toko korek api, dia tak pernah memikirkan bagian-bagian yang pantas, padahal dialah yang pergi menjelajahi salju kedinginan sedangkan pemilik toko, santai di tokonya.

“Kelas pekerja di seluruh dunia Bersatulah!!!”

Apa maksudnya. Tapi korek api sudah padam. Karl Marx menghilang dari pandangan. Sang gadis penjual korek api menghidupkan lagi. Muncul seorang pria berkumis yang agak botak. Dia bernama Vladimir Ilyich Lenin.

“Kadang-kadang sejarah butuh dorongan.”

Setelah mendengar wejangan-wejangannya, walau dia tidak sepenuhnya merngerti, dia memahami sedikit masalah dunia, dunia butuh dorongan. Lenin-pun pergi bersama angin. Lalu berturut-turut datanglah Trotsky dan Engels, yang terakhir adalah Mao Zedong, katanya.

Akhirnya hanya tinggal satu korek api yang ada di sana. Sang gadis korek api menghadap bintang. Tinggal satu korek api lagi. Sang gadis korek api berjalan gontai. Dia masih kedinginan setengah mati, dia nyaris membeku. Perlahan dia melihat sebuah rumah megah, di dalamnya keluarga-keluarga berpesta. Ada pohon natal , wine, hadiah-hadiah.

Sang gadis penjual korek api kemudian mendekati tong sampah terdekat. Dibakarnya tong sampah itu. Perlahan api kecil, semakin lama semakin besar dan besar. Kemudian api yang besar itu yang tidak disadari semua orang yang mabuk menjalar, pertama membakar kayu kereta yang ada di sekitarnya, kemudian atap rumah, dari rumah menjalar ke rumah, ke atap gereja, ke istana, ke pabrik-pabrik.

Para pekerja kemudian keluar sambil marah marah, menghancurkan tiap toko yang dilihatnya, menjarah tiap rumah-rumah mewah yang terbakar. Semakin lama keadaan semakin kacau. Seluruh kota terbakar tapi gadis penjual korek api tidak peduli, dia hanya melihat api semakin berkobar. Dia tersenyum, dia tidak lagi kedinginan. Malam itu sang gadis merasa dirinya dan ibunya tidak akan pernah kedinginan lagi selamanya.

Dan kemudian revolusi pun terjadi..

Sang gadis korek api dan ibunya hidup di dunia komunis dan mereka bahagia selama-lamanya...

Setidaknya sampai beberapa saat kemudian...
THE END...

Note:
Tulisan ini sebenarnya terinspirasi dari kisah klasik penjual korek api. Gadis miskin, menghayalkan berbagai benda lewat imajinasi dan kayaknya endingnya masuk surga. Jelas bertentangan dengan filosofi Marxis seratus delapan puluh derajat. Pada saat itu kaum miskin dianggap tidak berdaya, Karl Marx membuka mata mereka. Mengajarkan DIalektika materialis dan materialisme. Jadi ada pilihan lain bagi gadis penjual korek api, selain mati dan masuk surga (yang bagi Marxisme meninabobokan kaum miskin) tapi melakukan reformasi sosial. Jadi sebenarnya, yang keluar dari korek api tidak lagi imajinasi kosong, malah filsuf Marxis. Tapi ini parodi.

Source; www.kemudian.com

Biografi Bob Marley



Bob Marley

Robert Nesta Marley
Nine Miles, St. Ann, Jamaica, 06 Februari 1945
Tinggi Badan: 172 cm

Biografi :
Bob Marley seorang penyanyi, penulis lagu, gitaris dan aktivis Jamaica. Terlahir dengan nama Robert Nesta Marley pada tanggal 6 Februari 1945 di Nine Miles, Saint Ann Parish, Jamaica. Bob Marley mengawali karirnya dengan The Wailers, grup yang dia bentuk bersama Peter Tosh dan Bunny Livingston pada tahun 1963.

Bob Marley menikahi Rita Marley pada February 1966. Dan Rita-lah yang memperkenalkan Bob pada Rastafarianism. Pada tahun 1969, Bob, Tosh dan Livingston secara penuh telah memeluk Rastafarianism, yang sangat memengaruhi musik mereka dan reggae pada umumnya.

The Wailers berkolaborasi dengan Lee Scratch Perry, menghasilkan hit-hit unggulan seperti Soul Rebel, Duppy Conquerer, 400 Years dan Small Axe. Kolaborasi tersebut berakhir pahit karena Perry menjualnya di Inggris tanpa persetujuan The Wailers. Namun peristiwa tersebut berbuah manis, Chris Blackwell, pemilik Island Records mengontrak The Wailers dan memproduseri album mereka Catch A Fire dan Burnin.

Pada tahun 1976, Bob Marley hijrah ke Inggris. Kreatifitasnya tak mereda, Exodus berhasil nangkring di British Charts selama 56 minggu. Kesuksesan ini diikuti album berikutnya, yaitu Kaya. Kesuksesan tersebut mampu mengantarkan musik reggae ke dunia barat untuk pertama kalinya.


Pada tahun 1977, Bob Marley divonis terkena kanker kulit, namun disembunyikan dari publik. Bob Marley kembali ke Jamaica tahun 1978, dan mengeluarkan Survival pada tahun 1979 diikuti oleh kesuksesan tur keliling Eropa. Bob Marley melakukan dua pertunjukan di Madison Square Garden dalam rangka merengkuh warga kulit hitam di Amerika Serikat. Namun pada tanggal 21 September 1980, Bob Marley pingsan saat jogging di NYC's Central Park. Kankernya telah menyebar sampai otak, paru-paru dan lambung. Penyanyi reggae inipun akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di Miami Hospital pada 11 Mei 1981 di usia 36 tahun, dengan meninggalkan seorang istri dan 5 orang anak.

Berpaling pada Kearifan Lokal

Prabaca
Berpaling pada Kearifan Lokal
Oleh: Stanis Soda Herin
(Dire-typed dari buku Sketsa Budaya Lamaholot; Etika dan Moralitas Publik, 2007)

Artikel Dr. Alexander Irwan pada Harian Kompas, 3/5/2002, cukup mengusik kesadaran. Dalam judul “Belajar Sampai ke Negeri Flores,” sekilas ilmuwan ini mengulas tentang paham Gelekat Lewo-Gewayan Tana dan Gemohin dalam budaya Lamaholot. Pada salah satu bagian dia menulis, “... Coba dicek yang benar dalam lembaran sejarah. Jangan-jangan Presiden John F. Kennedy ketika mengatakan, jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang engkau berikan untuk negaramu, justeru pernah belajar sampai ke negeri Flores untuk menambahkan kecerdasannya dan bukan hanya berhenti pada membaca karya-karya para filosof Eropa...”

Pada bagian lainnya, melihat sistem kerja sama “Gemohin” dalam tradisi Lamaholot, dia kembali menulis, “... Jangan-jangan Karl Marx, penggagas sosialisme modern itu pernah belajar sampai ke negeri Flores, ketika berbicara tentang nilai tambah dalam sistem ekonomi sebagaimana sistem Gemohin dalam tradisi masyarakat Lamaholot. ...”

Boleh jadi terlalu berlebihan kalau mengandaikan Presiden Kennedy dan Karl Marx pernah belajar sampai ke Flores. Namun tulisan bernuansa interpretatif ini merupakan wujud keprihatinan sekaligus kepedulian seorang peminat budaya. Dari atas ketinggian kompetensi keilmuannya, dia memandang adat, tradisi serta kebiasaan masyarakat lokal sejatinya memiliki nilai-nilai universal yang patut untuk diangkat dan dipelajari lebih serius. Seperti ditandaskan, “Tidak heran kalau Presiden Kennedy atau Karl Marx saja mau belajar sampai ke negeri Flores, karena yang namanya kearifan lokal itu memang sangat kaya untuk terus digali kecerdasan yang dipantulkan darinya.”

Karenanya tulisan itu menjadi sentilan menarik. Boleh jadi penulis sedang menyindir kiblat hidup dan orientasi pemikiran yang cenderung “ke luar” sebagai fenomena umum saat ini. Sebaliknya, memandang rendah nilai dan tradisi lokal sebagai yang kuno, kolot, simbol keterbelakangan dan tidak modern. Kiranya, wacana semacam ini menjadi penting untuk menyadarkan semua pihak agar sedikit berpaling melihat nilai-nilai lokal – yang selama ini diabaikan dalam realitas hidup maupun studi keilmuan – sebagai kearifan yang patut dikembangkan. Dan bagi para pemilik budaya ini, ulasan di atas tentu memiliki daya gugah untuk kembali melihat kekayaan budaya lokal sebagai filosofi yang kaya makna, mengandung nilai luhur untuk dieksplorasi serta didalami lebih jauh.

Menggugat Kebijakan Pembangunan
Soalnya, realitas menunjukan tatanan nilai lokal – baik adat maupun tradisi – sudah terkikis dan ditinggalkan bahkan oleh para penganutnya sendiri dalam beberapa dekade terakhir. Atas nama nasionalisme yang didaraskan terus-menerus, pranata-pranata tradisional masyarakat daerah semakin menyempit wilayah cakupannya bahkan punah. Berbagai rujukan kebijakan pembangunan baik pembaharruan fisik mapun sosial hanya berjalan sendiri secara sentralistik dan monolitik. Segenap potensi daerah, baik alam maupun manusia selalu mengalir ke pusat. Tidak hanya pada sumber daya alam daerah merasa dianaktirikan, lebih dari itu, adat, tradisi, dan budaya, telah dibuat tiarap tak berdaya. Penguasa tampak tidak merasa memiliki kepentingan untuk perlu memahami berbagai kebudayaan daerah sebagai kearifan yang mesti dipelihara. Otoritas negara seringkali tak memiliki instrumen dan perhatian untuk mengenal apalagi memahami kebutuhan warga bangsanya yang ada jauh di daerah-daerah. Akibatnya, proses pembangunan justru menjauhkan warga dari akar tradisi budaya sendiri. Posisi dan peran daerah pun dimarjinalkan bahkan diabaikan yang pada gilirannya melumpuhkan kemandirian warga dalam mengelolah segenap potensi yang dimilikinya.

Akibat susulan yang mengekori fenomena ini adalah orientasi tradisional masyarakat yang memandang kehidupan sebagai bagian dari tatanan kosmis yang menjaga dan melindungi warga secara nyaman dan tenteram kini kehilangan esensinya. Pola interaksi sosial antar warga yang berakar pada tradisi budaya, sarat dengan kebersamaan dan keseimbangan – baik dengan sesama manusia maupun dengan lingkungan dan alam – nyaris pupus dalam setting kehidupan sehari-hari. Masyarakat kehilangan elemen primer yang dapat menjalin kohesi sosial dalam dinamika pembangunan sehingga arah perkembangan peradaban menjadi tidak terkendali. Bisa menjadi contoh yang telanjang ketika diterpa krisis sejak pertengahan tahun 1997. Institusi negara berikut aparatnya lumpuh total, hukum positif jadi mandul dan soal-soal sepele dapat segera menyulut keonaran serta amuk massa yang berujung pada rusaknya keadaban publik.

Tantangan Masyarakat Lokal
Memasuki era global kenyataan pahit harus diterima bahwa masyarakat di daerah-daerah dalam keadaan yang semakin tidak berdaya. Pasar bebas yang sering dipandang sebagai ‘firdaus kecil’ oleh kaum kapitalis justeru bisa menjadi petaka bagi masyarakat lokal.
Soalnya, pemerintah yang sering digambarkan sebagai “malaikat penolong” tidak dengan sendirinya menjadi institusi yang netral terhadap intervensi. Dalam proses pembangunan, negara juga bukanlah lembaga yang “baik hati” dimana aktor-aktornya dengan tanpa pamrih memperjuangkan kepentingan rakyat serta menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Prakteknya, untuk mengundang masuknya investasi penguasa akan segera menggadaikan kepentingan rakyat. Pada gilirannya rakyat akan semakin ditelantarkan karena pemerintah akan lebih sibuk melayani para kapitalis atau pemilik modal besar.

Sementara itu, keberadaan institusi lain seperti agama yang selama ini menjadi orientasi masyarakat di luar pemerintah, tampak tiarap tidak berdaya. Sebagai pilar moral, fungsi dan peran agama sering diragukan posisi strategisnya akibat demoralisasi figur-figur utamanya yang berbuntut pada ketidakpercayaan publik terhadap institusi keagamaan yang ada.

Di tengah pengaruh global itu, sejumlah aktivis dan ilmuwan telah menawarkan gagasan keariffan lokal (local wisdom) sebagai alternatif lain dalam pembangunan. Gagasan ini pun beresonansi hingga ke tanah air. Salah satu tujuannya adalah memperkuat posisi masyarakat sipil (civil society) sebagai sarana kontrol terhadap kebijakan negara pada saat ini dan akan datang. Intinya, penguatan civil society membutuhkan istrumen yang dimiliki sendiri oleh masyarakat seperti tata nilai lokal, adat-istiadat serta kebiasaan yang memiliki kearifan universal. Untuk itu di daerah Lamaholot menjadi relevan ihwal menggali nilai-nilai kearifan budaya Lamaholot sebagaimana pandangan Dr. Alexander Irwan yang dikutip di awal tulisan ini.

Berpaling Membangun Lewo
Wilayah daerah yang berbudaya Lamaholot terdiri dari empat daratan yang terbagi dalam tiga daerah pemerintahan yaitu Kabupaten Flores Timur (Flores bagian timur, Solor, Adonara), Kabupaten Lembata dan sebagian dari Kabupaten Alor. Secara geografis berada di antara laut Flores, selat Ombai dan laut Sawu yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.

Rumpun Lamaholot merupakan budaya ketiga terbesar di NTT setelah Dawan dan Manggarai. Masyarakatnya mendiami kampung-kampung yang disebut Lewo atau Lama, seakan diatur berderet dari satu lokasi ke lainnya. Boleh jadi karena itu, para budayawan menamakannya: Lamaholot yang secara leksikal berarti: kampung yang bersambung-sambung. Pada setiap Lewo terdapat sejumlah simbol utama seperti nuba, korke, merik beledan, dan lainnya. Pada tempat ini selalu akan diadakan ritual adat baik secara rutin maupun berkala yang menjelaskan kebersatuan warga secara turun-temurun oleh tradisi, adat dan kebiasaan.

Untuk itu seruan berpaling pada kearifan lokal bagi daerah yang berbudaya Lamaholot adalah bagaimana orientasi pembangunan diarahkan pada pembangunan Lewo (kampung). Dalam keyakinan dasar, Lewo dimaknai jauh lebih luas dan dalam dari sekedar tempat tinggal sebuah perkauman. Sejumlah nilai dan keyakinan yang bersifat supranatural dan kosmis menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Lewo yang menyatu dengan alam dan lingkungan bahkan para orang tua dan leluhur yang sudah meninggal.

Di dalam setiap Lewo masyarakatnya terikat dalam suku-suku yang terbukti tetap eksis mempertahankan identitasnya. Bisa ditengok pada setiap anak yang lahir dari rahim Lamaholot, pada namanya selalu melekat dengan nama suku atau leluhur. Dengan itu setiap orang dari anak kepulauan Lamaholot juga bisa dengan gampang diketahui dari mana asal-usulnya, bahkan sejauh manapun orang itu pergi. Boleh dikatakan, sesungguhnya di daerah Lamaholot, sudah ada struktur pemerintahan yang kuat dan berdaya di tingkat desa. Dalam hal ini instrumen Lewo (umumnya terdiri dari suku-suku) merupakan institusi yang jauh lebih kuat posisi dan perannya dalam proses pembangunan dibanding struktur pemerintahan desa yang datang dari luar.

Pada alam Lewo, setiap suku dipimpin oleh kepala suku dan memiliki lango belen suku (rumah besar suku). Di dalam setiap lango belen suku ini tersimpan pula barang-barang adat suku seperti ua-wato, wulo merang, gading, ketipa dan warisan leluhur lainnya yang selalu dihormati dan dibuat ritual adat secara berkala. Karena itu yang diidealkan dalam pembangunan Lewo selain pembenahan fisik yang harus diprogramkan tapi lebih dari itu pada aspek pelibatan instrumen Lewo. Kiranya, jika posisi dan peran Lewo lewat suku-sukunya bisa diperdayakan akan lebih memampukan pemerintah daerah dalam menggerakan partisipasi.

Pendidikan Berbasis Budaya
Pada simpul soal ini kiranya untuk jangka menengah dan jangka panjang, program pendidikan nasional menjadi penting untuk segera dibangun yaitu pendidikan yang berbasis budaya. Artinya budaya yang digali dari kearifan lokal yang memiliki nilai-nilai universal. Peluang itu kini tersedia lewat otonomi daerah. Untuk itu harus diapresiasi positif dalam mengembangkan karakter dan potensi daerah misalnya lewat Muatan Lokal (Mulok) dalam kurikulum pendidikan. Diharapkan dalam kebijakan ini segenap kearifan lokal yang bernilai universal (adat, tradisi, budaya) dari setiap daerah dapat digali kembali untuk dilestarikan yang diorientasikan untuk kepentingan nasional. Keterpaduan antara program ppembangunan nasional dan kekuatan kearifan lokal setiap daerah diharapkan dapat menjadi leverage (daya ungkit) untuk kebaikan bersama di setiap masyarakat daerah demi kepentingan nasional.

Di negara paling maju seperti AS atau Jerman di Eropa, misalnya, pendidikan selalu mempertimbangkan apa yang patut diberikan kepada rakyatnya sebagai suatu bangsa. Karena itu, selain menekankan ilmu dan teknologi, setiap anak juga dididik untuk bangga pada tanah air, sekaligus paham apa yang bisa diberikan lingkungan sekelilingnya untuk kesejahteraan bersama.

Begitu juga terlihat pada bangsa Jepang dan saat ini RRC. Masyarakatnya maju dalam pengetahuan dan teknologi tetapi tetap teguh dan kokoh pada tradisi dan budaya. Kedua negara di Asia ini bisa menjadi contoh menarik bagaimana mendesain proses pembangunan yang berbasis budaya. Yaitu arah pengembangan iptek tetap berpijak pada kearifan lokal masyarakatnya sehingga kemajuan menjadi lebih beradab. Hanya saja dalam spirit ini juga menunutut pemerintahnya untuk selalu berusaha menjaga dan melindungi warga, selain berupaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan publik warganya.

Singkat kata bagi bangsa ini, perlu adanya Dialog Budaya yang lebih bermakna dalam proses pembangunan nasional. Setting dari proses ini memiliki arti penting agar arah perkembangan peradaban bangsa bisa berlangsung secara baik dan benar berlandaskan keanekaragaman budaya lokal yang dinasionalkan.  

Popular Posts

Powered by Blogger.