Home » » Belajar Bahagia dari Anak-Anak

Belajar Bahagia dari Anak-Anak

Belajar Bahagia dari Anak-Anak

Siapa sangka anak-anak kita yang kadang nakal, lucu namun bikin rindu itu adalah salah satu guru terbaik untuk meraih kebahagiaan. Yup benar adanya, rasa bahagia itu memang harus diperjuangkan dia tidak datang dengan sendirinya. Dan ternyata sifat anak-anak yang mudah melupakan (forgiveness) dan seolah hidup hanya untuk masa kini (present) adalah salah satu cara terbaik bagi kita –orang dewasa – untuk selalu feels happy. Tapi apakah semudah itu?

Yuk, kita coba menganalisa (asal-asalan) ala saya? Dari buku psikologi tentang anak yang saya baca karya Richards Carlson mengatakan strategi belajar bahagia dari anak-anak ini bisa dilakukan siapa saja termasuk bagi yang tidak atau belum mempunyai momongan. Caranya, kita bisa sering berdekatan dengan anak-anak orang lain (anak teman, kerabat dan sodara kandung) atau mencoba mengamati atau mengobservasi kehidupan anak-anak saat mereka bermain di taman di sekolah, dsb-nya.

Intinya, anak-anak terlihat sebagai figur yang selalu berbahagia, ceria dan tanpa beban. Tentu saja rasa bahagia itu tercermin bisa kita lihat dari wajah mereka yang innocent dan polos tersebut. Rupanya anak-anak adalah sosok yang pandai menikmati pengalaman hidup ‘saat ini’ yang diperolehnya tanpa beban (kerja keras). Pengalaman hidup itu diperkaya dengan sifat bawaan mereka yang tidak gampang khawatir, take it easy, tidak terlalu menyesali yang sudah terjadi, tidak takut berbuat salah, tidak memikirkan yang belum terjadi hingga akhirnya menggangu diri sendiri, juga tidak terbebani karena memikirkan tentang masa depan bahkan masa lalu yang sudah terlewati.

Saya pun coba memahami maksud dari teori tersebut. Hidup untuk masa kini berarti hidup dengan seluruh perhatian (fokus kita) hanya tercurah untuk saat ini. Berarti jangan membiarkan pikiran kita jalan-jalan ke masa lalu yang (mungkin) pernah kelam dan menjauh dari masa kini. Benarkah kalau kita berhasil melakukan cara berpikir seperti itu maka kita tidak hanya akan menikmati masa kini tetapi juga hati menjadi happy?

Maka saya coba suatu kali, dengan terus berpikir positif dan meghalau rasa negatif yang menekan dada (sana deh pergi jauh-jauh pikiran buruk dkk.nya), sambil berbisik penuh semangat. Eh bener juga tuh, rasanya saya jadi makin merasa segar, pikiran plong dan tubuh seperti mengeluarkan aura positif yang terlihat langsung dari penampilan dan segi kreatifitas (makin produktif di segala bidang getho). He he, bener juga rupanya mood positif, rasa happy atau girang mempengaruhi produktivitas seseorang (eits, itu asumsi saya pribadi loh).

Akhirnya saya jadi ingat sebuah kejadian kecil beberapa bulan lalu yang melibatkan saya, suami, si kecil dan teman saya. Ceritanya, karena ingin menghadiri pesta tahunan di kantor suami, saya dan suami sepakat akan menitipkan si kecil kepada teman dekat yang kebetulan punya anak sebaya. Perhitungan kami, biar dua-duanya happy, orangtua happy (datang ke pesta dan bisa ha ha hi hi) si kecil juga happy dengan bermain bersama temannya walau kali aja dia bete sebentar karena terpaksa dipisahin dari induk semangnya.

Saat hari H terjadi, kami datang agak awal ke rumah teman yang mau dititipi (look after) itu dengan harapan si kecil bisa bersosialisasi sejenak dengan anak teman tersebut, jadi biar dia ga kaget kok ujung-ujung ditinggal emak bapaknya. Setengah jam berlangsung, anak saya masih ga mau lepas dan jauh-jauh dari saya. Ketika teman saya mau menggendong, dia malah menangis sejadi-jadinya. Wah… alamak gagal ke pesta nih (pikir saya). Tetapi suami menguatkan, wajar dia menangis, apalagi ini baru kali pertama dia dititipkan ke orang lain. Kamu harus tega sebagai ibunya. Well, perang batin pun dimulai antara melepaskan dan memeluknya kembali.

Akhirnya dengan hati sedikit ga rela saya tega-tegain pelan-pelan memberi si kecil kepada teman saya dan kabur. Saya ga mau dengar jerit tangisnya yang kira-kira berbunyi, betapa teganya kalian padaku! He he… ah sudahlah, harus konsen ke pesta nih. Eh… dasar pemula, tetep aja pikiran saya ga bisa beralih ke anak saya. Tiap 30 menit saya sms teman saya. Tapi kok jawabannya selalu bagus dan menyenangkan hati. “Jangan khawatir dia lagi main sama anak ku.” Kali lain ada jawaban lucu, “Nass maem lagi tuh sama anakku. Dia lahap banget maem bubur ayamnya.” Busyet… dasar bocah, greedy boy kalau kata suamiku, soale bukannya tadi di rumah dia udah makan buburnya? Ya udah aku dan suami jadi ikut lega, bahkan sms terakhir bilang, “Dia udah tidur pulas setelah minum susu, so enjoying the party aja.”

Wah… wah… wah… lucky banget mereka. Padahal kalau sama kita, anakku itu paling pinter deh. Maksudnya kalau mau bobok harus main-main dulu (bouncy play), eh dengan mereka langsung nurut. Dasar anak kecil, pinter banget ya beradaptasi. Mungkin itu salah satu contoh, bahwa si kecil berhasil menyerap saat-saat yang indah. Dia segera melupakan masa lalu yang baru saja dilalui. Konon insting anak-anak bisa mengerti bahwa hidup adalah suatu proses dari waktu yang sedang terjadi. Mereka suka mengeksplorasi setiap pengalaman demi pengalaman dan semuanya dianggap penting. Sehingga seolah-olah mereka terlihat ingin meleburkan diri secara total pada masa kini dan memberi atensi pada orang yang sedang terlibat dengan mereka.

Nah sekarang seberapa sering kita sebagai orang dewasa mampu melakukan hal yang sama? Saya pun sampai sekarang masih dalam taraf belajar. Yang pasti merasa bahagia lebih baik daripada sedih atau kecewa. Katanya selalu bahagia itu bahkan mampu bikin orang terlihat awet muda. Yang pasti saya lagi berusaha agar bisa menyuarakan ‘keberatan’ atau rasa tidak suka atau puas akan sesuatu dalam suatu waktu (saat itu juga, ga disimpen atau diulur berhari-hari di hati, emangnya makanan ya bisa disimpen di kulkas he he) dan segera beralih ke hal berikutnya tanpa terus terseret oleh hal yang bikin pusing tersebut. Teori memang mudah, tapi praktiknya butuh hati lapang. Makannya butuh motivasi, seperti (misalnya) saya pengen tetep sehat dan awet muda ketika anak saya nanti beranjak dewasa dan sukses, amin.

Kisah Seputar Pengasuhan Anak
Saya terkesima ketika membaca sebuah koran edisi Minggu beberapa waktu lalu yang membahas soal maternity leave alias cuti melahirkan atau mengasuh anak. Benarkah sejalan dengan emansipasi wanita yang makin marak di negara-negara maju – ketika perempuan juga banyak yang bekerja mencari nafkah untuk keluarga telah berpengaruh dalam hal ini menggeser beberapa sendi kehidupan yang sudah mapan di beberapa bidang. Di koran tersebut dikatakan para ahli juga menyatakan mungkin wacana atau ide agar para ayah atau kaum lelaki juga bisa mendapat hak yang sama–pengasuhan anak atau cuti maternity leave adalah langkah logis sebagai akibat dari tuntutan dari persamaan gender. Yang menjadi perdebatan, apakah para ayah ini juga berhak atau layak mendapat paternity leave (cuti setahun) dan dibayar pula layaknya perempuan yang sudah mengandung dan melahirkan anak-anaknya.

Debat soal ini terus mengemuka di OZ mengingat jumlah perempuan bekerja juga semakin meningkat sementara di lain pihak banyak kaum laki-laki yang memilih tinggal di rumah mengasuh anak-anaknya (hanya bekerja part time) ketika karier sang istri jauh melesat. Dan ada kecenderungan, kaum pria juga semakin ingin dekat dengan anak-anaknya dan melihat perkembangan mereka dari dekat. Nah, tidak ingin berdebat panjang soal model pengasuhan mana yang terbaik, kali ini kita bisa membaca sharing tiga keluarga yang tinggal di Australia dan Jepang yang sama-sama punya latar belakang hampir sama, menikah di usia matang, jauh dari keluarga besar dan punya anak balita. Yuk kita intip lika liku para pasangan beda negara itu dalam mengasuh anak-anak mereka. 

Ayah yang berupaya selalu dekat dengan anak-anaknya memang akan mempunyai bonding yang kuat seperti halnya ibu dan anak. Sepertinya contohnya, anak saya Nasser yang merasa kehilangan ayahnya ketika si ayah tidak muncul beberapa hari di rumah karena tugas ke luar negeri. “Dad… dad… dad… dad,” begitu terus celotehnya sampai kuping ini geli. Kalau sudah begini memang terbukti ya anak-anak juga selalu ingin dekat dengan ayahnya. Makannya untuk mengurangi rasa rindu yang besar pada anak saya, saya suka merekam suara kami (orangtuanya) yang sewaktu-waktu bisa diputar ketika anak mencari-cari. So far sih ga ada masalah, engga tahu ya kalu nanti dia besar. Sekarang aja dia udah cerdik, seperti memberi telepon ke saya - agar saya menelepon ayahnya – sambil bilang, dad… dad... dad.

Secara pribadi kami (saya dan suami) juga terpancing membicarakan tema menarik di atas yang tentu saja akan menjadi realitas di masa depan. Di mana keluarga inti harus berjuang sendiri menjalankan roda kehidupan mereka tanpa campur tangan dan bantuan pihak lain (keluarga besar), karena keterbatasan waktu dan tenaga. Suami pun sempat berandai-andai bila dia suatu saat ingin pensiun dini dan bekerja dari rumah, maka saatnya bagi dia untuk ikut merasakan menjadi pengasuh bagi anak-anak kami. Sementara saya boleh memilih kembali bekerja, sekolah dan sebagainya. Ah… untuk saat ini saya jadi berpikir lucu juga ya, apa karena saya belum terbiasa saja.

Sementara itu ada pilihan lain di luar peran orangtua, yaitu institusi resmi yang ikut berperan dalam hal pengasuhan anak. Adalah hal yang wajar, ketika para orangtua memilih memperkenalkan balitanya pada child care atau family day care sebagai lembaga yang dipandang bisa meringankan beban mereka. Tujuannya sama sekali bukan lepas dari tangung jawab sebagai orangtua, tetapi banyak alasan yang tergolong masuk akal, diantaranya di child care selain punya program-program bagus anak diajarkan bersosialisasi dengan sesama (tidak egois dan mau berbagi), mengembangkan ketrampilan sosial baik secara individu dan berkelompok, mengekspresikan kebutuhan dan emosi mereka serta lebih percaya diri dalam lingkup pergaulan yang berbeda.

Sementara itu untuk orangtua sendiri, dengan mengirimkan anak ke child care atau family day care orangtua yang bekerja bisa fokus bekerja, atau ingin kembali ke sekolah sebagai bekal untuk masa datang, karena orangtua ada kegiatan yang harus dihadiri tanpa anak hingga butuh brake walau hanya sekejap (beberapa jam). Terus terang untuk orangtua atau full time mum/dad, brake sejenak adalah waktu yang sangat berharga ibarat mengisi batere untuk beraktivitas kembali. Biasanya para ibu ini menggunakan waktu brake sejenak tanpa si kecil dengan hal-hal yang berguna seperti bebenah rumah atau kebun, belanja, hingga melakukan hobi lama yang sulit dilakukan dengan hadirnya anak-anak.

Di negara maju child care dan day care memang menjadi satu solusi yang lumayan membantu, ketika orangtua bekerja atau memiliki kebutuhan lainnya. Tentu saja bila ada anggota keluarga atau relasi yang bisa membantu akan menjadi rujukan yang pertama. Tapi bisa dihitung berapa banyak keluarga yang beruntung seperti itu. Punya anak memang bahagia tetapi harus siap menjalani segala konsekuensinya dengan mau memikirkan hak dan kewajiban mereka. Orangtua memang akan mengalami stres kalau tidak punya manajemen waktu  yang baik ketika harus membesarkan anak-anak tanpa bantuan keluarga besar.

Wah… apalagi kalau anak-anak itu masih balita, harus siap mental (tidak stres) setiap saat, ketika menghadapi tiada hari tanpa rumah bak kapal pecah karena si kecil yang lincah dan aktif. Tetapi sesuai pilihan hidup masing-masing ya terima sajalah. Contoh rutinitas kecil yang dilalui ibu-ibu beranak balita misalnya, rela bebenah merapihkan mainan si kecil ke box dan tidak boleh marah ketika diberantakin lagi oleh si boy he he. Belum kalo sakit, si kecil biasanya nemplok terus sama ibunya. Makanya, salah satu romantika hidup sebagai ibu, memang harus banyak suabaaaaaarrrrrrr. Tapi mudah-mudahan kalau kita rela mengasuh anak-anak tersebut akan menjadi amal ibadah yang berguna kelak.

Kita juga harus kuat ketika mencoba mendisiplinkan si kecil yang menangis mendengar suara orangtuanya yang meninggi karena tidak setuju dengan ulahnya. Tapi di lain waktu, kita pun luluh ketika melihat sinar tulus di matanya dan gaya tidurnya yang pulas. Alasan tersebut yang membuat saya sampai kini enggan kembali ke dunia kerja yang dulu sempat dilakoni. Rasanya masih belum tega meninggalkan si kecil sendirian tanpa pendamping. Saya ingin menikmati masa-masa pertumbuhan si kecil yang berlangsung cepat, sekarang saja walau masih 1 tahun-an, dia sudah bisa bilang beberapa kata seperti dad (ayah) dan mum (ibu). Apalagi dulu mendapatkannya pun dengan penuh usaha? Malah kini kami berniat ingin memberi teman untuk si kecil. Ah… kalau sudah begini siapapun berhak mengasuh mereka. Soal debat kusir di atas, mudah-mudahan dicapai solusi yang terbaik.


Source: NN

1 comments:

  1. admin numpang promo ya.. :)
    cuma di sini tempat judi online yang aman dan terpecaya di indonesia
    banyak kejutan menanti para temen sekalian
    cuma di sini agent judi online dengan proses cepat kurang dari 2 menit :)
    ayo segera bergabung di fansbetting atau add WA :+855963156245^_^
    F4ns Bett1ng agen judi online aman dan terpercaya
    Jangan ragu, menang berapa pun pasti kami proseskan..
    F4ns Bett1ng

    "JUDI ONLINE|TOGEL ONLINE|TEMBAK IKAN|CASINO|JUDI BOLA|SEMUA LENGKAP HANYA DI : WWw.F4ns Bett1ng.COM

    DAFTAR DAN BERMAIN BERSAMA 1 ID BISA MAIN SEMUA GAMES YUKK>> di add WA : +855963156245^_^

    ReplyDelete

Popular Posts

Powered by Blogger.