Kita baru saja merayakan hari Ibu, 22 Desember. Secara tradisi, ini adalah hari untuk mengenang Ibu kita masing-masing. Setiap dari kita diberi kesempatan untuk merenung betapa berjasanya seorang Ibu dalam hidup seseorang.
Ini saat untuk mengenang pengorbanan, kerja kerasnya sebagai pencari nafkah, pengelola keuangan dan keberlangsungan rumah tangga, pengasuh, pendidik dan pemberi semangat setiap anggota keluarga untuk bertahan hidup dalam kesulitan dan meraih yang terbaik dalam perjalanan hidup. Kalau hari Ibu di negara maju dijadikan bagian dari kehidupan komersial dan hari dimana hadiah dan keistimewaan terpusat kepada ibu, di negara berkembang seperti Indonesia hari Ibu dijadikan momentum untuk mengenang semua kesulitan yang pernah dan sedang dialami Ibu-ibu kita dalam melindungi keluarga dengan sepenuh jiwa raganya. Di sini, hari ibu adalah hari untuk terharu, hari untuk menitikkan air mata, sekedar memberi penghargaan kepada makhluk yang secara naluri menjadi bagian terpenting dari hampir seluruh bagian hidup kita.
Ibu-ibu kita bukan saja Ibu kandung kita. Ibu-ibu kita adalah semua wanita Indonesia, tua dan muda, yang berada di garis terdepan untuk memberikan kita, bangsa ini, hanya yang terbaik. Mereka membawa kita ke pintu gerbang kemerdekaan. Mereka ikut dalam politik dan maju ke medan perang. Mereka membangun sistem pendidikan, sistem perawatan kesehatan, dan jaringan sosial untuk mensejahterakan keluarga. Mereka bagian sangat penting dari sistem produksi, baik produk pangan maupun industri. Mereka juga terdepan dalam perumusan dan pemberlakukan kebijakan publik yang pro keluarga, anak-anak dan wanita. Mereka juga bergiat memperjuangkan kebebasan pers dan hak-hak buruh. Pada prinsipnya, wanita, dengan naluri keibuannya, adalah sentra dari semua yang sudah dan sedang terjadi di negeri ini. Sikap kita sebagai bangsa terhadap wanita secara politis dan hukum menunjukkan betapa kita menghargai mereka. Hanya sedikit sekali wanita yang pernah menjadi pemimpin formal negara, dan itu diantaranya ada di Indonesia, tanpa kita pernah merasa menjadi canggung untuk dipimpin wanita.
Di masa reformasi, peran wanita makin menjadi penting. Ini adalah saat untuk berubah. Kita berbicara tentang sistem politik baru, sistem hukum dan kelembagaan baru. Kita bicara tentang bangsa yang bercita-cita untuk bebas dari korupsi. Kita bicara tentang penghargaan kepada hak asasi manusia yang tidak bisa ditawar. Kita bicara tentang loncatan kemajuan di bidang pendidikan dan perawatan kesehatan. Kita bicara tentang kesetaraan jender, hak atas pekerjaan, kebebasan pers, proses peradilan yang terang dan adil, dan peletakan semua dasar kelembagaan yang mampu membawa kita kepada kemajuan ekonomi dan teknologi, lingkungan hidup yang terjaga dengan lestari, kesejahteraan sosial untuk semua bagian bangsa, hukum yang berwibawa dan berlaku setara, serta masyarakat yang berdiri sama tinggi dengan masyarakat manapun di muka bumi.
Kita melihat wanita-wanita kita di semua lini dalam proses perubahan tersebut. Wanita-wanita itu bukan hanya menjadi pelaku dalam proses perubahan, tetapi juga pemberi inspirasi, pencetus ide, perancang, penyemangat dan pendorong, serta penjaga atau pengawas proses perubahan itu. Terlalu banyak yang bisa digambarkan tentang peran mereka. Wanita-wanita dikenal karena kesabaran, kegigihan atau persistensi, “kecerewetan”, ketelitian atas detail, dan proyeksinya akan masa depan. Wanita menganggap bangsa ini anak-anaknya sendiri. Mereka berjuang melindungi berjalannya proses perubahan seakan mereka sedang menjaga dan membesarkan anak-anaknya sendiri.
Terlalu banyak untuk menggambarkan peran dan keterlibatan para wanita Indonesia dalam proses perubahan ini di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Apa yang hendak saya gambarkan dalam tajuk ini sengaja ingin saya sempitkan ke bagaimana peran mereka dalam proses perubahan hukum yang sudah dan sedang terjadi. Perubahan hukum di sini tentu termasuk perubahan substansi hukum kita di berbagai bidang yang banyak ketinggalan atau tidak tepat perumusan kebijakannya. Perubahan hukum di sini juga termasuk perubahan institusi hukum dan para pelaku didalamnya. Suatu perubahan yang kompleks, dan menuntut keterlibatan luar biasa dari semua unsur bangsa, serta hadirnya sejumlah sifat wanita tadi, yaitu kesabaran, ketelitian akan detail, kegigihan, kecerewetan dan proyeksi akan masa depan.
Saya ingin mengambil dulu dari aspek kuantitas. Rata-rata dalam setahun ada 100 lulusan baru dari suatu fakultas hukum dari suatu universitas. Setengahnya atau lebih wanita. Di Indonesia ada kira-kira 30 fakultas hukum negeri dan mungkin sekitar 70 fakultas hukum swasta, atau total sekitar 100 fakultas hukum dengan jumlah lulusan sekitar 10.000 sarjana hukum. Katakan saja mereka yang sangat terinspirasi oleh semangat perubahan adalah mereka yang lulus dari fakultas hukum sejak reformasi, jadi sejak tahun 1998, atau selama 12 tahun sampai sekarang, sudah ada sekitar 120.000 sarjana hukum. Setengahnya, 60.000 adalah wanita. Kalau dibulatkan dengan jumlah mereka yang masih semangat melakukan perubahan dari lulusan terdahulu, jumlahnya mungkin ada 100.000 sarjana hukum wanita di Indonesia. Saya bisa salah, karena tidak ada metode statistik digunakan di sini. Saya hanya melihatnya dari jumlah murid saya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia selama 20 tahun terakhir, dimana rata-rata ada sekitar 80-100 mahasiswi di kelas saya setiap semester. Kemana saja mereka ini menyebar? Sebagian jadi dosen, sebagian lagi jadi hakim, jaksa, pengacara, konsultan hukum, penasihat hukum perusahaan, pegawai kementerian dan lembaga negara, wakil rakyat, politisi, jurnalis, atau ibu rumah tangga. Sebagian lainnya menjadi penggiat atau pekerja lembaga swadaya masyarakat di bidang hukum, anti korupsi, transparansi, lingkungan hidup, perlindungan wanita dan anak, lembaga bantuan hukum, perlindungan konsumen, gerakan buruh dan sebagainya. Dari sekitar 100.000 sarjana hukum wanita tersebut, katakan hanya 20% yang betul-betul ingin terlibat dalam kapasitas apapun dalam proses perubahan hukum, apakah sebagai pelaksana, pemberi visi, motivasi atau inspirasi, perancang, atau pengawas, maka kita dapatkan sekitar 20.000 wanita yang betul-betul terlibat dalam proses perubahan. Seperti kita sadari, mereka yang menginginkan perubahan hukum bukan saja mereka yang punya latar belakang hukum, tetapi juga para ekonom, pendidik, politisi, ahli dan penggiat sosial, antropologi, psikologi, dan lingkungan hidup, pejabat pemerintah dan lembaga negara, dan para penggiat lembaga swadaya, jurnalis dan lain-lain dengan berbagai macam latar belakang pendidikan, profesi dan pekerjaan. Belum lagi para wanita yang giat menyebar ide-idenya melalui media sosial yang merupakan kecenderungan dan perkembangan baru. Katakan saja semua itu jumlahnya 10.000 di seluruh Indonesia. Maka mungkin akan kita dapati paling sedikit 30.000 wanita yang betul-betul ingin terlibat dalam perubahan hukum di tanah air.
Apa yang rbisa dilakukan oleh 30.000 wanita yang ingin perubahan hukum terjadi di Indonesia? Banyak sekali. Ini diantaranya: (1) para wanita itu bisa terlibat aktif dalam diskursus tentang perubahan substansi hukum dan peraturan perundang-undangan nasional dan daerah, baik di lembaga legislatif, dunia akademik, lembaga pembentuk hukum, kementerian-kementerian, lembaga-lembaga negara, institusi-institusi penegak hukum, media-media dalam berbagai bentuk, bahkan dalam pertemuan-pertemuan informal dimanapun juga; (2) para wanita tersebut sebagai pendidik formal maupun informal di tengah keluarga, di rumah-rumah, di meja-meja makan, dan di pertemuan-pertemuan masyarakat bisa mempengaruhi cara berfikir generasi muda kita tentang bagaimana seharusnya kebijakan publik dirumuskan untuk kepentingan bangsa, negara, satuan masyarakat, keluarga dan individu; (3) para wanita tersebut, tidak mau menjadi maling atau keluarganya menjadi maling, atau musuh masyarakat, sehingga mereka bisa mencegah keluaganya sendiri dan keluarga-keluarga yang mereka kenal berperi-laku korup, dan menjadi penikmat hasil korupsi salah satu anggota keluarganya; (4) para wanita tersebut adalah pelaksana, penginspirasi, perancang dan pengawas perubahan hukum yang gigih, dan bersama-sama dengan jaringan yang kuat mereka bisa melaksanakan tugasnya dengan lebih baik; (5) para wanita tersebut adalah mahkluk sosial yang efektif menyebarkan ide dan gagasannya ke ruang-ruang publik dan privat manapun mengenai perlunya perubahan hukum, dan kalau perlu mengkampanyekan sanksi-sanksi sosial bagi pelaku korupsi, politisi dan penegak hukum kotor; (6) para wanita adalah “pemogok” yang baik dan efektif, yang bisa menggerakkan seluruh lapisan bangsa untuk mogok dan protes atas tidak berjalannya perubahan hukum, atas masih maraknya korupsi, buruknya pemerintah, parlemen, judikatif, dan politisi mengelola “governance,” dan tidak tegak dan adilnya hukum bagi semua warga negara.
Saya sulit menyebut nama-nama satu persatu, tetapi saya yakin sebagian dari mereka ada di Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, pengadilan-pengadilan, kejaksaan, kepolisian, kementerian-kementerian, lembaga-lembaga dan komisi-komisi Negara, universitas-universitas, media-media, lembaga-lembaga swadaya masyarakat seperti PSHK, MTI, LEIP, WWF, ICW, NLRP, sejumlah koalisi LSM, organisasi pemantau, dan banyak lainnya serta para aktivis tunggal yang tiada hentinya menyuarakan perubahan. Merekalah pahlawan-pahlawan perubahan hukum, tanpa pernah minta tanda jasa atau imbalan. Merekalah Kartini dan Tjut Nyak Dien modern dengan medan perang yang jauh berbeda. Itulah ibu-ibu kita yang menimang, memelihara dan melindungi bangsanya seperti menimang, melindungi dan memelihara anak-anaknya sendiri. Kepada merekalah kita pantas mengucapkan hari Ibu, berterima kasih dan menitikkan air mata haru. *cK
Hukumonline.com
Minggu, 02 January 2011
0 comments:
Post a Comment