Prabaca
Berpaling pada
Kearifan Lokal
Oleh: Stanis Soda Herin
(Dire-typed dari buku Sketsa Budaya Lamaholot; Etika
dan Moralitas Publik, 2007)
Artikel Dr. Alexander Irwan pada
Harian Kompas, 3/5/2002, cukup mengusik kesadaran. Dalam judul “Belajar Sampai ke Negeri Flores,”
sekilas ilmuwan ini mengulas tentang paham Gelekat
Lewo-Gewayan Tana dan Gemohin
dalam budaya Lamaholot. Pada salah satu bagian dia menulis, “... Coba dicek yang benar dalam lembaran
sejarah. Jangan-jangan Presiden John F. Kennedy ketika mengatakan, jangan
tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang engkau
berikan untuk negaramu, justeru pernah belajar sampai ke negeri Flores untuk
menambahkan kecerdasannya dan bukan hanya berhenti pada membaca karya-karya
para filosof Eropa...”
Pada bagian lainnya, melihat sistem
kerja sama “Gemohin” dalam tradisi
Lamaholot, dia kembali menulis, “...
Jangan-jangan Karl Marx, penggagas sosialisme modern itu pernah belajar sampai
ke negeri Flores, ketika berbicara tentang nilai tambah dalam sistem ekonomi
sebagaimana sistem Gemohin dalam
tradisi masyarakat Lamaholot. ...”
Boleh jadi terlalu berlebihan kalau
mengandaikan Presiden Kennedy dan Karl Marx pernah belajar sampai ke Flores.
Namun tulisan bernuansa interpretatif ini merupakan wujud keprihatinan
sekaligus kepedulian seorang peminat budaya. Dari atas ketinggian kompetensi
keilmuannya, dia memandang adat, tradisi serta kebiasaan masyarakat lokal
sejatinya memiliki nilai-nilai universal yang patut untuk diangkat dan
dipelajari lebih serius. Seperti ditandaskan, “Tidak heran kalau Presiden
Kennedy atau Karl Marx saja mau belajar sampai ke negeri Flores, karena yang
namanya kearifan lokal itu memang sangat kaya untuk terus digali kecerdasan
yang dipantulkan darinya.”
Karenanya tulisan itu menjadi
sentilan menarik. Boleh jadi penulis sedang menyindir kiblat hidup dan
orientasi pemikiran yang cenderung “ke luar” sebagai fenomena umum saat ini.
Sebaliknya, memandang rendah nilai dan tradisi lokal sebagai yang kuno, kolot,
simbol keterbelakangan dan tidak modern. Kiranya, wacana semacam ini menjadi
penting untuk menyadarkan semua pihak agar sedikit berpaling melihat
nilai-nilai lokal – yang selama ini diabaikan dalam realitas hidup maupun studi
keilmuan – sebagai kearifan yang patut dikembangkan. Dan bagi para pemilik
budaya ini, ulasan di atas tentu memiliki daya gugah untuk kembali melihat
kekayaan budaya lokal sebagai filosofi yang kaya makna, mengandung nilai luhur
untuk dieksplorasi serta didalami lebih jauh.
Menggugat
Kebijakan Pembangunan
Soalnya, realitas menunjukan
tatanan nilai lokal – baik adat maupun tradisi – sudah terkikis dan
ditinggalkan bahkan oleh para penganutnya sendiri dalam beberapa dekade terakhir.
Atas nama nasionalisme yang didaraskan terus-menerus, pranata-pranata
tradisional masyarakat daerah semakin menyempit wilayah cakupannya bahkan
punah. Berbagai rujukan kebijakan pembangunan baik pembaharruan fisik mapun
sosial hanya berjalan sendiri secara sentralistik dan monolitik. Segenap
potensi daerah, baik alam maupun manusia selalu mengalir ke pusat. Tidak hanya
pada sumber daya alam daerah merasa dianaktirikan, lebih dari itu, adat,
tradisi, dan budaya, telah dibuat tiarap tak berdaya. Penguasa tampak tidak
merasa memiliki kepentingan untuk perlu memahami berbagai kebudayaan daerah
sebagai kearifan yang mesti dipelihara. Otoritas negara seringkali tak memiliki
instrumen dan perhatian untuk mengenal apalagi memahami kebutuhan warga
bangsanya yang ada jauh di daerah-daerah. Akibatnya, proses pembangunan justru
menjauhkan warga dari akar tradisi budaya sendiri. Posisi dan peran daerah pun
dimarjinalkan bahkan diabaikan yang pada gilirannya melumpuhkan kemandirian
warga dalam mengelolah segenap potensi yang dimilikinya.
Akibat susulan yang mengekori
fenomena ini adalah orientasi tradisional masyarakat yang memandang kehidupan
sebagai bagian dari tatanan kosmis yang menjaga dan melindungi warga secara
nyaman dan tenteram kini kehilangan esensinya. Pola interaksi sosial antar
warga yang berakar pada tradisi budaya, sarat dengan kebersamaan dan
keseimbangan – baik dengan sesama manusia maupun dengan lingkungan dan alam –
nyaris pupus dalam setting kehidupan
sehari-hari. Masyarakat kehilangan elemen primer yang dapat menjalin kohesi
sosial dalam dinamika pembangunan sehingga arah perkembangan peradaban menjadi
tidak terkendali. Bisa menjadi contoh yang telanjang ketika diterpa krisis
sejak pertengahan tahun 1997. Institusi negara berikut aparatnya lumpuh total,
hukum positif jadi mandul dan soal-soal sepele dapat segera menyulut keonaran
serta amuk massa yang berujung pada rusaknya keadaban publik.
Tantangan
Masyarakat Lokal
Memasuki era global kenyataan pahit
harus diterima bahwa masyarakat di daerah-daerah dalam keadaan yang semakin
tidak berdaya. Pasar bebas yang sering dipandang sebagai ‘firdaus kecil’ oleh
kaum kapitalis justeru bisa menjadi petaka bagi masyarakat lokal.
Soalnya, pemerintah yang sering
digambarkan sebagai “malaikat penolong” tidak dengan sendirinya menjadi
institusi yang netral terhadap intervensi. Dalam proses pembangunan, negara
juga bukanlah lembaga yang “baik hati” dimana aktor-aktornya dengan tanpa
pamrih memperjuangkan kepentingan rakyat serta menjamin terpenuhinya kebutuhan
masyarakat. Prakteknya, untuk mengundang masuknya investasi penguasa akan
segera menggadaikan kepentingan rakyat. Pada gilirannya rakyat akan semakin
ditelantarkan karena pemerintah akan lebih sibuk melayani para kapitalis atau
pemilik modal besar.
Sementara itu, keberadaan institusi
lain seperti agama yang selama ini menjadi orientasi masyarakat di luar
pemerintah, tampak tiarap tidak berdaya. Sebagai pilar moral, fungsi dan peran
agama sering diragukan posisi strategisnya akibat demoralisasi figur-figur
utamanya yang berbuntut pada ketidakpercayaan publik terhadap institusi
keagamaan yang ada.
Di tengah pengaruh global itu,
sejumlah aktivis dan ilmuwan telah menawarkan gagasan keariffan lokal (local wisdom) sebagai alternatif lain
dalam pembangunan. Gagasan ini pun beresonansi hingga ke tanah air. Salah satu
tujuannya adalah memperkuat posisi masyarakat sipil (civil society) sebagai sarana kontrol terhadap kebijakan negara
pada saat ini dan akan datang. Intinya, penguatan civil society membutuhkan istrumen yang dimiliki sendiri oleh
masyarakat seperti tata nilai lokal, adat-istiadat serta kebiasaan yang
memiliki kearifan universal. Untuk itu di daerah Lamaholot menjadi relevan
ihwal menggali nilai-nilai kearifan budaya Lamaholot sebagaimana pandangan Dr.
Alexander Irwan yang dikutip di awal tulisan ini.
Berpaling
Membangun Lewo
Wilayah daerah yang berbudaya
Lamaholot terdiri dari empat daratan yang terbagi dalam tiga daerah
pemerintahan yaitu Kabupaten Flores Timur (Flores bagian timur, Solor,
Adonara), Kabupaten Lembata dan sebagian dari Kabupaten Alor. Secara geografis
berada di antara laut Flores, selat Ombai dan laut Sawu yang berhadapan
langsung dengan Samudera Hindia.
Rumpun Lamaholot merupakan budaya
ketiga terbesar di NTT setelah Dawan dan Manggarai. Masyarakatnya mendiami
kampung-kampung yang disebut Lewo
atau Lama, seakan diatur berderet
dari satu lokasi ke lainnya. Boleh jadi karena itu, para budayawan
menamakannya: Lamaholot yang secara leksikal berarti: kampung yang bersambung-sambung. Pada setiap Lewo terdapat sejumlah simbol utama seperti nuba, korke, merik beledan, dan lainnya. Pada tempat ini selalu akan
diadakan ritual adat baik secara rutin maupun berkala yang menjelaskan
kebersatuan warga secara turun-temurun oleh tradisi, adat dan kebiasaan.
Untuk itu seruan berpaling pada
kearifan lokal bagi daerah yang berbudaya Lamaholot adalah bagaimana orientasi
pembangunan diarahkan pada pembangunan Lewo
(kampung). Dalam keyakinan dasar, Lewo dimaknai jauh lebih luas dan dalam
dari sekedar tempat tinggal sebuah perkauman. Sejumlah nilai dan keyakinan yang
bersifat supranatural dan kosmis menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Lewo
yang menyatu dengan alam dan lingkungan bahkan para orang tua dan leluhur yang
sudah meninggal.
Di dalam setiap Lewo masyarakatnya
terikat dalam suku-suku yang terbukti tetap eksis mempertahankan identitasnya.
Bisa ditengok pada setiap anak yang lahir dari rahim Lamaholot, pada namanya
selalu melekat dengan nama suku atau leluhur. Dengan itu setiap orang dari anak
kepulauan Lamaholot juga bisa dengan gampang diketahui dari mana asal-usulnya,
bahkan sejauh manapun orang itu pergi. Boleh dikatakan, sesungguhnya di daerah
Lamaholot, sudah ada struktur pemerintahan yang kuat dan berdaya di tingkat
desa. Dalam hal ini instrumen Lewo (umumnya terdiri dari suku-suku) merupakan
institusi yang jauh lebih kuat posisi dan perannya dalam proses pembangunan
dibanding struktur pemerintahan desa yang datang dari luar.
Pada alam Lewo, setiap suku
dipimpin oleh kepala suku dan memiliki lango
belen suku (rumah besar suku). Di
dalam setiap lango belen suku ini
tersimpan pula barang-barang adat suku seperti ua-wato, wulo merang, gading, ketipa dan warisan leluhur lainnya
yang selalu dihormati dan dibuat ritual adat secara berkala. Karena itu yang
diidealkan dalam pembangunan Lewo selain pembenahan fisik yang harus
diprogramkan tapi lebih dari itu pada aspek pelibatan instrumen Lewo. Kiranya,
jika posisi dan peran Lewo lewat suku-sukunya bisa diperdayakan akan lebih
memampukan pemerintah daerah dalam menggerakan partisipasi.
Pendidikan
Berbasis Budaya
Pada simpul soal ini kiranya untuk
jangka menengah dan jangka panjang, program pendidikan nasional menjadi penting
untuk segera dibangun yaitu pendidikan yang berbasis budaya. Artinya budaya
yang digali dari kearifan lokal yang memiliki nilai-nilai universal. Peluang
itu kini tersedia lewat otonomi daerah. Untuk itu harus diapresiasi positif
dalam mengembangkan karakter dan potensi daerah misalnya lewat Muatan Lokal
(Mulok) dalam kurikulum pendidikan. Diharapkan dalam kebijakan ini segenap
kearifan lokal yang bernilai universal (adat, tradisi, budaya) dari setiap
daerah dapat digali kembali untuk dilestarikan yang diorientasikan untuk
kepentingan nasional. Keterpaduan antara program ppembangunan nasional dan
kekuatan kearifan lokal setiap daerah diharapkan dapat menjadi leverage (daya ungkit) untuk kebaikan
bersama di setiap masyarakat daerah demi kepentingan nasional.
Di negara paling maju seperti AS
atau Jerman di Eropa, misalnya, pendidikan selalu mempertimbangkan apa yang
patut diberikan kepada rakyatnya sebagai suatu bangsa. Karena itu, selain
menekankan ilmu dan teknologi, setiap anak juga dididik untuk bangga pada tanah
air, sekaligus paham apa yang bisa diberikan lingkungan sekelilingnya untuk
kesejahteraan bersama.
Begitu juga terlihat pada bangsa
Jepang dan saat ini RRC. Masyarakatnya maju dalam pengetahuan dan teknologi
tetapi tetap teguh dan kokoh pada tradisi dan budaya. Kedua negara di Asia ini
bisa menjadi contoh menarik bagaimana mendesain proses pembangunan yang
berbasis budaya. Yaitu arah pengembangan iptek tetap berpijak pada kearifan
lokal masyarakatnya sehingga kemajuan menjadi lebih beradab. Hanya saja dalam
spirit ini juga menunutut pemerintahnya untuk selalu berusaha menjaga dan
melindungi warga, selain berupaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan publik warganya.
Singkat kata bagi bangsa ini, perlu
adanya Dialog Budaya yang lebih bermakna dalam proses pembangunan nasional. Setting dari proses ini memiliki arti
penting agar arah perkembangan peradaban bangsa bisa berlangsung secara baik
dan benar berlandaskan keanekaragaman budaya lokal yang dinasionalkan.
0 comments:
Post a Comment