Tidak pernah ada cara singkat menuju masyarakat demokratis, bahwa kuncinya adalah kesabaran, dan tidak pernah menyerah untuk selalu mencoba bahwa demokrasi adalah satu-satunya cara kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang perlu terus dibangun dan diselenggarakan.
Apa yang terjadi di Mesir beberapa minggu terakhir adalah gerakan rakyat yang fokus, terarah, jelas, dan tegas yang melibatkan banyak komponen masyarakat yang sudah tidak tahan berada di bawah pemerintahan yang represif, korup dan terpusat di satu tangan. Tujuannya hanya satu, jatuhnya rezim Hosni Mubarak. Urusan lain-lain menyusul.
Mungkin mirip waktu para pemuda kita memaksa Bung Karno untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Merdeka dulu, urusan lain-lain perkara nanti. Itu sebabnya dalam teks proklamasi kemerdekaan kita ada kalimat “hal-hal jang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.”
Golongan menengah Mesir, yang mungkin tidak terlalu dirugikan dari kebijakan ekonomi yang berlaku, menjadi penentu gerakan tersebut. Alasan ekonomi ternyata bukan yang utama, karena Mesir sedang menggeliat mengejar ketinggalan, dan mulai memberi kesempatan bagi rakyat, sekali lagi sebagian besar adalah kelas menengah, untuk ikut menikmati pertumbuhan ekonomi dan bisnis.
Banyak analisis politik, sosial dan ekonomi diberikan oleh para ahli Timur Tengah, khususnya Mesir, dan kita percaya juga, bahwa gerakan untuk perubahan seperti ini dapat terjadi karena alasan-alasan yang tidak selalu sama dan terpola dengan gerakan-gerakan di bagian dunia lainnya. Kekuasaan yang digenggam terlalu lama di satu tangan atau rezim sudah cukup memberi alasan untuk membuat penguasa jatuh. Terlalu lama ada di sebelah kiri atau kanan atau tengah, sehingga timbul kebosanan akan kebijakan yang searah, juga bisa menyebabkan kekuasaan jatuh. Kiri, tengah dan kanan dirumuskan kembali.
Ide-ide demokrasi, pembagian kekuasaan, manifestasi dan jelmaan kekuasaan rakyat, peran agama, sistem perwakilan, sistem partai, kebebasan pers, hak asasi, dan supremasi hukum dibicarakan lagi, dipertanyakan konteks kekiniannya, dan sampai dimana bisa dijadikan pegangan konstitusional, dan kemudian diterapkan, diawasi dan dijadikan ukuran untuk menyimpulkan bahwa itulah yang sebenarnya dikehendaki oleh sebagian besar rakyat sekarang ini lewat sistem kenegaraan dan politik yang tersedia.
Mesir mungkin sedang menghadapi masa depan seperti halnya posisi kita pada waktu kita tengah bergelora dengan euphoria kebebasan di tahun 1998, dipenuhi semangat melakukan perubahan multi dimensi. Keputusan rakyat Mesir sekarang untuk mengambil pilihan-pilihan yang tidak mudah, akan menentukan masa depan mereka ke depan. Kita sendiri banyak belajar dari demokrasi yang kita coba bangun dan pertahankan sejak 1998. Banyak pengalaman pahit yang kita alami dalam proses belajar itu.
Pada waktu bertemu dengan Eric Holder, Jaksa Agung Amerika sewaktu musim gugur tahun 2009 di Washington DC, saya menanyakan satu pertanyaan tentang bagaimana caranya Amerika bisa tetap yakin bahwa demokrasi dan “rule of law” adalah jalan terbaik setelah mempraktikkannya, dengan jatuh bangun tentunya, selama lebih dari 200 tahun. Pertanyaan saya didahului dengan pengantar bahwa terlepas dari proses demokratisasi yang berlangsung di Indonesia, sangat aneh bahwa demokrasi ternyata bisa bergandengan tangan dengan korupsi yang masih merajalela. Juga sangat aneh bahwa proses reformasi lembaga penegak hukum yang berjalan masih dibarengi oleh kenyataan-kenyataan bahwa polisi, jaksa, hakim, dan advokat masih banyak yang korup, dan bahkan begitu jahatnya membuat satu rekayasa demi rekayasa yang menjadikan kita tersentak-sentak heran bercampur marah. Jawaban Holder sebagai tuan rumah yang mendudukkan diri sebagai juara demokrasi tentu bisa diduga. Bahwa tidak pernah ada cara singkat menuju masyarakat demokratis, bahwa kuncinya adalah kesabaran, dan tidak pernah menyerah untuk selalu mencoba bahwa demokrasi adalah satu-satunya cara kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang perlu terus dibangun dan diselenggarakan.
Apa yang terjadi di Mesir mengingatkan kita apakah langkah-langkah yang kita ambil setelah 1998 menghasilkan apa yang kita harapkan pada waktu kita menjatuhkan rezim Suharto, yaitu membangun masyarakat demokratis, plural, sejahtera, bermartabat dan menjunjung hak asasi manusia. Cobaan demi cobaan datang. Kekuatan lama yang korup dan anti reformasi masih terus membayangi gerak perubahan. Kasus Century, rekayasa Bibit Chandra dan pelemahan KPK, korupsi para anggota parlemen dan eksekutif sampai setingkat Menteri dan Gubernur, kasus Gayus, pelecehan kebebasan beragama, tindakan-tindakan kekerasan atas nama agama, dan perilaku banyak politisi dan pimpinan formal serta informal, menunjukkan kita masih jauh dari sasaran-sasaran yang kita harapkan pada waktu memulai proses reformasi sejak 1998.
Dalam kondisi seperti itu, maka tuntutan agar penguasa tertinggi bertindak fokus, terarah dan tegas sangat wajar. Itu sepertinya tidak ditunjukkan oleh Presiden SBY. Berkali-kali, SBY berusaha untuk keluar dari sejumlah kemelut dengan diplomasinya yang mau memuaskan semua kepentingan, termasuk mereka yang pernah berjasa dalam perjalanan politiknya, termasuk citraya sendiri. Namun reaksi publik menunjukkan sikap skeptis, mungkin karena rekam jejak perjalanan SBY dalam memutuskan hal-hal penting bagi bangsa tersebut di atas yang terbukti merugikan proses reformasi dan pemberantasan korupsi.
Revolusi Mesir memberi ide kepada sejumlah orang, terbanyak adalah para politisi yang punya kepentingan tertentu, untuk melakukan revolusi yang sama di Indonesia. Pertanyaan besarnya, apakah mereka akan melakukannya dengan cara konstitusional dengan melalui proses pemakzulan, atau meniru cara Mesir yang mengerahkan semua kekuatan rakyat untuk memaksa Mubarak turun. Pertanyaan besar lainnya, kalau Mubarak diturunkan karena dia memegang kekuasaan terlalu lama dengan demokrasi kosmetik ala Soeharto, apakah mereka yang mau menurunkan SBY punya alasan konstitusional untuk melakukan itu, atau lebih tepatnya apakah SBY yang terpilih secara sangat demokratis dan menjabat secara sah dengan legitimasi yang tinggi dapat dimakzulkan tanpa adanya pelanggaran serius atas konstitusi?
Kalau itu mau mereka lakukan, apa jaminannya bahwa demokrasi kita bisa berjalan dengan baik karena siapapun nanti yang berkuasa secara demokratis akan dengan mudah dimakzulkan untuk alasan-alasan yang terkesan dibuat-buat. Juga, apa arti suatu pemilihan demokratis oleh ratusan juta rakyat pemilih kalau yang terpilih bisa dijatuhkan setiap waktu hanya oleh segelintir politisi di parlemen. Di sini ada sejumlah pertanyaan konstitusi, pertanyaan mengenai arah demokrasi yang kita ingin jalankan, dan pertanyaan apakah kita akan mengorbankan proses demokratisasi yang sedang berjalan, dan kembali masuk ke dalam kondisi “politik adalah panglima”, yang tentunya akan menyulitkan kembalinya proses demokratisasi yang benar.
Kita menyadari bahwa banyak masalah cukup berat yang kita hadapi saat ini. Ketidaksabaran politisi yang punya kepentingan tersembunyi seharusnya tidak menentukan berjalannya kehidupan kenegaraan dan berbangsa kita ke depan. Kita juga menyadari bahwa mereka yang bekerja bersama-sama atau berdampingan dengan pemerintah untuk ide-ide yang sejalan akan selalu dihadapkan dengan dilema dan keengganan besar, misalnya mendukung Satgas Anti Mafia Hukum, karena melakukan hal itu bisa dianggap mendukung pemikiran dan gaya kepemimpinan serta kepentingan politik SBY.
Demikian juga, mereka yang tidak mendukung perubahan-perubahan yang terjadi di sana-sini, termasuk pemberantasan korupsi dan anti mafia hukum, akan punya dilema karena dianggap mendukung musuh-musuh SBY. Dengan kondisi ini, maka pemetaan besar harus dilakukan, yaitu pertama menganalisis apa yang kini terjadi dan ke arah mana pergolakan ini bisa membawa kita di ujung jalan. Kedua, perubahan-perubahan yang sedang berjalan dan yang akan bisa dijalankan, dipercepat dengan fokus dan kecepatan tinggi untuk memperoleh “quick wins” di sektor-sektor tersebut, sehingga mengurangi frustrasi dan diharapkan akan memecut semangat perubahan-perubahan selanjutnya.
Kritik keras kita, lembaga swadaya masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat terhadap SBY dan para pembantunya harus terus dilakukan, kalau perlu dengan bahasa yang keras, bukan dengan penghinaan, karena di situlah sistem checks and balances akan bekerja efektif karena lembaga-lembaga negara yang seharusnya melakukan pengawasan sibuk sendiri dengan agenda-agenda golongan atau pribadi-pribadi tertentu di dalamnya.
Kita sudah melewati masa-masa revolusi seperti yang terjadi di Mesir dan sekarang diikuti oleh Tunisia, Libya dan Negara-negara Timur Tengah lainnya. Kita tidak mau lagi melihat darah mengalir, memundurkan pencapaian dan peradaban, dan menjadikan rakyat paling jelata korban sia-sia ditengah pertarungan para elit. Ini waktunya bekerja keras, melupakan tetapi menghargai perbedaan, dan meninggalkan jejak yang tertata dan terukir baik untuk para penerus kita.*cK
hukumonline.com
Rabu, 23 February 2011
0 comments:
Post a Comment