Kepemimpinan adalah urgent! Tengok saja di berbagai daerah banyak juga yang dapat berkata bahwa menjadi Kepala Daerah itu mudah tetapi belum tentu "berani" mengatakan bahwa menjadi pemimpin tidaklah sulit. Hal ini disebabkan para mantan tersebut pernah secara formal dengan payung legitimasi yuridis menjadi Kepala Daerah untuk periode tertentu, namun jarang (atau malah tidak pernah) mengungkapkan bahwa dirinya pernah melaksanakan kepemimpinan yang berorientasi kepada rakyat sehingga ketika tak lagi menduduki jabatan tidak tak dilupakan oleh masyarakatnya.
Realitas demikian menunjukkan seolah-olah tidak ada relevansi antara jabatan dan kepemimpinan, meski sejatinya kepemimpinan sebagai prinsip atau proses seni memimpin tidak selalu terbentuk melalui jalur formal.
Pemimpin adalah orang yang memiliki kemampuan memimpin, yaitu mempengaruhi orang lain atau kelompok ke arah suatu tujuan, artinya kepemimpinan adalah proses/cara mempengaruhi secara sengaja melalui kemampuan personality, prinsip sikap serta style untuk menstruktur aktifitas maupun relaitionship dalam suatu kelompok atau institusi. Oleh karenanya kepemimpinan merupakan sesuatu yang abstrak tetapi mampu menciptakan kepercayaan, kepatuhan, kebersamaan/kekuatan maupun keberhasilan dalam pencapaian suatu perencanaan.
Adapun pengejawantahannya, mengutip pendapat M. Amien Rais dalam An Authorized Biography - 2004 halaman vii : "Memang banyak cara atau gaya yang dapat dipilih manusia untuk memimpin. Ada yang mengandalkan fisik atau bertumpu pada kekuatan materi. Ada pula yang dengan cara memecah-belah rakyat supaya rakyat menjadi lemah, sedangkan pemimpinnya menjadi selalu kuat. Ada juga kepemimpinan yang dibangun dengan cara membuat pagar-pagar pengaman dengan mengangkat teman-teman yang punya loyalitas tinggi untuk melakukan rekayasa, atau kalau perlu rekayaksa terhadap rakyat agar kepemimpinan seseorang bisa berkelanjutan."
Pemilihan Kepala Daerah Wakil Kepala Daerah (PILKADA) secara langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 beserta peraturan pelaksana lainnya diharapkan semua pihak dapat terlaksana secara demokratis, tertib aman lancar, jujur serta adil sehingga diperoleh legitimasi yang akuntabel. Meski secara de jure maupun de facto adalah Pilkada, namun substansinya adalah memilih pemimpin daerah setempat. Sudah tentu berbagai kemampuan harus dimiliki yang bersangkutan, di antaranya tidak saja secara administrasi terseleksi namun juga personality-nya memiliki kemampuan memimpin sekaligus style of leadership-nya bagaimana. Mengapa? Karena hal ini akan terkait langsung dengan "kekuasaan" setelah terpilih menang, yakni mau dibawa ke arah kesejahteraan atau justru mendatangkan malapetaka. Lantaran banyak pengusaha (pelaksana kekuasaan) yang pada mulanya dipilih, kemudian acapkali mengidap amnesia karena menempuh jalan buatannya sendiri serta merekayasa benteng perlindungan yang menjadikannya makin berada di pengasingan jauh jaraknya dari rakyat. Hingga tidak mengherankan segala kepercayaan dan harapan dari rakyat, akhirnya berubah menjadi tidak empati lagi karena merasa "dikhianati" oleh sang penguasa.
Oleh karenanya seperti telah dikutip di atas bahwa gaya kepemimpinan mana saja bisa dipilih/dijalankan oleh Kepala/Wakil Kepala Daerah, namun makna serta realisasi suatu amanah selayaknya tidak dicederai. Untuk itu tampaknya perlu dikembangkan penerapan model kepemimpinan yang bersifat melayani (servant leadership), yakni mengutamakan pelayanan dengan arah tujuan pihak lain di luar individu sang pemimpin. Pihak lain dimaksud bisa saja staf/bawahan/anak buah, institusi mitra kerja, investor, tamu/rekanan, relasi lainnya dan tentunya kepada rakyat selaku pemilik asli sekaligus utama dari kekuasaan. Boleh saja model kepemimpinan pelayanan dikonfrontir dengan argumen berkuasa adalah libido yang bersifat individu dari naluri manusia, namun harus diingat bahwa pemimpin menjadi penguasa itu karena dipilih, mendapatkan mandat kepercayaan, memperoleh kekuasaan dari rakyat. Bahkan dalam konteks otodidakpun tidak mungkin orang banyak memimpin orang sedikit, karena yang terjadi selalu orang sedikit memimpin orang banyak lantaran kemampuannya mempengaruhi.
Kepemimpinan pelayanan masa kini perlu ditumbuhkembangkan, terutama dilatarbelakangi oleh beberapa alasan:
Pertama:
Realitas bahwa kekuasaan telah terkonsolidasi dalam institusi institusi yang sangat berjarak dengan rakyat. Contoh dalam hal ini adalah ketika rakyat datang ke Gedung DPRD, ternyata para wali justru berusaha kalau bisa menghindar atau tidak menemuinya. Kalau toh terpaksa menemui maka jawabannya standart, yaitu: tuntutan/aspirasi ditampung, nanti disalurkan kepada yang berkompeten. Sulit mendapati Anggota Dewan (yang duduknya karena dipilih rakyat) memimpin rakyat dalam suatu perjuangan, sehingga tidaklah heran ketika yang bersangkutan tidak lagi menjadi Anggota Dewan ia terasing kembali ke tengah masyarakat. Demikian pula dengan Kepala Daerah Wakil Kepala Daerah, sebelum terpilih amat rajin mendatangi rakyat, namun setelah terpilih ternyata menderita amnesia dengan kekuasaan sehingga kesulitan menemui rakyat. Artinya ketika rakyat ingin mendekat kepada yang dulu dipilih, kerap terkendala/ berhadapan dengan institusi protokoler birokrasi, benteng- benteng perlindungan bangunan sang pengusaha/pemimpin tadi.
Kedua:
Secara sistematis rakyat telah dijauhkan dari arena kekuasaan, tetapi sangat dibutuhkan legitimasinya hanya pada saat terjadinya perebutan (pemilihan) kekuasaan. Karenanya tidaklah mengherankan jika mereka yang ingin berkuasa, saling berlomba mendekati rakyat tatkala hendak duduk di kursi kekuasaan. Lihat saja berbagai perilaku para calon, akrobatik serta obral janjinya jika nanti terpilih. Bahkan dengan bantuan materi serta media massa yang tidak kritis, mendadak bisa muncul seseorang berubah menjadi orang baik yang berperhatian, seolah pembaharu atau simbol pembaruan, merasa mampu menjadi pemimpin dengan kemasan visi dan misi dan lain sebagainya, padahal kemarin tidak dikenal bahkan kiprah kemasyarakatannya juga masih perlu dipertanyakan. Bagi mereka sebetulnya tidak penting benar dekat atau dekat benar dengan rakyat, karena yang penting adalah kesan. Hanya kesan! Dan hanya lantaran kesan ini, seiring terpilih kucing dalam karung.
Ketiga:
Kurangnya pendidikan politik, sosialisasi dan minimnya bangunan komunikasi politik. Di dalam kehidupan berdemokrasi keberadaan partai politik memang tak dapat dihindari, tetapi juga harus ditumbuhkembangkan peran serta fungsi partai secara sungguh-sungguh rasional profesional secara modern manajemennya. Selama ini diperoleh gambaran partai politik bagaikan mahluk misterius lantaran hanya muncul pada moment acara hari ulang tahun dan kegiatan pemilihan. Selebihnya, hanya tinggal papan nama dan kantor sekretariat yang sepi merana. Elit partai lebih sering berjalan sendiri dengan suara mengatasnamakan partai. Konstituen diminta pengertiannya hanya saat pemilihan atau untuk mendukung calon. Segala keputusan dikondisikan melalui rapat pleno pengurus, tidak pernah melalui proses referendum internal atau sejenis plebisit. Bahkan ironisnya lagi tidak ada satupun partai politik yang mengetahui, mendata secara tepat berapa jumlah anggotanya. Paling-paling hanya berdasarkan ilmu perkiraan, atau mengklaim sekian banyak. Bahkan pindah partai atau mendirikan partai baru sebagai hak asasi seseorang, sebenarnya adalah indikasi tidak adanya militansi/loyalitas atau malahan bukti kurangnya pendidikan politik serta macetnya proses komunikasi politik. Padahal logikanya dari partai politik seharusnya diproses dan akan tampil pemimpin-pemimpin yang melaksanakan kekuasaan dari dan untuk rakyat melalui pelayanannya.
Akhirnya menyimak kembali uraian di atas, jelas tampak benang merahnya bahwa pemimpin itu harus ada. Dan meskipun tidak mudah melaksanakan kekuasaan, namun tetap dibutuhkan kepemimpinan yang bersifat melayani. Karena hal ini tidak lain adalah manifestasi, atau perwujud-nyataan dari suatu amanah. Walaupun disadari bahwa untuk menjadi pemimpin juga membutuhkan pengorbanan, banyak mengembalikan modal serta dukungan. Tetapi setelah jadi pemimpin jangan terus berpikiran "harus" mengembalikan modal terlebih dulu, bahkan semoga bertambah keuntungannya dalam bentuk property dan tabungan lainnya. Ini pemikiran berbahaya, karena segala materi tidak pernah kebawa mati dan juga belum tentu menjamin ketenangan yang ditinggalkan.
Jadi mari pilih pemimpin yang tidak akan membuat jarak serta mudah untuk saling bertemu, berkomunikasi secara nyaman. Mengimplementasikan one stop service (OSS) yang mendapat penghargaan international. Menerapkan pola kepemimpinan yang bersifat melayani, karena tahu diri kekuasaannya berasal dari rakyat pemilih!
0 comments:
Post a Comment