Home » , » Eksistensi Jaksa dalam Pemberantasan Korupsi

Eksistensi Jaksa dalam Pemberantasan Korupsi


Kejaksaan akhir-akhir ini mendapat perhatian luas dari masysarakat terutama menyangkut kinerja bidang tindak pidana khusus dalam rangka pemberantasan korupsi. Penilaian atas rendahnya kinerja tersebut justru harus disikapi secara arif bijaksana sekaligus evaluasi internal yang kesemuanya akan menjadi pemacu semangat untuk memenuhi tuntutan kebutuhan  bahwa korupsi sangat harus diberantas, karena begitu luas dampak negatip yang ditimbulkannya, tidak saja mengganggu penyelengggaraan kehidupan bernegara tetapi juga mengacau perjalanan perekonomian nasional.


Pemerintah telah menempatkan pemberantasan korupsi sebagai salah satu perioritas dalam kebijakan nasional, yang sekaligus berkomitmen untuk secara berkesinambungan mewujudkan tata pemerintahan yang baik serta bebas dari Korupsi Kolusi Nepotisme. Komitmen tersebut merupakan cerminan seutuhnya dari kehendak kongkret terhadap perilaku maupun perbuatan Korupsi disegala tingkatan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sekaligus bertujuan untuk menjamin kepastian hukum mewujudkan penyelenggaraan kehidupan kenegaraan secara stabil kokoh sehingga terwujud cita-cita kehidupan bersama. Untuk mencapai tujuan tersebut sangat ditentukan oleh kerja sama yang erat serta harmonis antara lembaga Legislatip Eksekutip Yudikatip maupun dukungan seluruh elemen masyarakat. 

Berbagai  usaha untuk memberantas Korupsi telah dilakukan yakni dengan menerbitkan beberapa peraturan disamping yang telah ditentukan dalam KUHP Pidana/WvS, seperti : sejak Peraturan Penguasa Militer No: PRT/PM/06/1957 Tentang Pemberantasan Korupsi ; UU RI No 24 Prp 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi ; UU: No 3/1971 jo UU No: 31/1999 jo UU No: 20/2001 Tentang Pembertasan Tindak Pidana Korupsi; sekaligus dilengkapi dengan INPRES No: 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diterbitkan pula Keppres No: 11 tahun 2005 Tentang TIMTAS TIPIKOR (yang beranggotakan Kejaksaaan, Kepolisian serta BPKP ) 

Undang-Undang No:16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia memberikan landasan hukum yang kuat untuk melaksanakan penyidikan beserta kelanjutannya menyangkut tindak pidana tertentu, termasuk diantaranya tindak pidana Korupsi. Oleh karena itu Kejaksaan sangat dituntut kemampuan serta tanggung jawabnya  untuk melaksanakan tuntutan keinginan maupun harapan masyarakat. Dengan kata lain bidang tindak pidana khusus harus  meningkatkan kinerja yang baik dengan cara mengevaluasi pelaksanaan tugas, memecahkan permasalahan yang timbul diseluruh tahapan mulai penyidikan, penuntutan sampai upaya hukum dan eksekusi.

Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan UU No: 16  tahun 2004, Institusi Kejaksaan adalah salah satu subs sistem dalam peradilan pidana, namun  mempunyai peran lain yakni dalam hukum perdata dan Tata Usaha Negara yaitu dapat mewakili negara dan pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara, serta dapat mewakili kepentingan umum. Disandangnya peran yang sedemikian krusial dalam sistem hukum tersebut maka jaksa dituntut tidak hanya menguasai disiplin hukum pidana, tetapi juga harus menguasai disiplin hukum lainnya. Jaksa tidak hanya dituntut menguasai hukum positip yang bersifat umum (lex generallis), namum juga dituntut mempunyai kemampuan yang bersifat khusus (lex specialist) sekaligus terlatih profesionalismenya.

Untuk melaksanakan peranan yang sedemikian besar tentunya diperlukan kualifikasi tertentu bagi jaksa untuk mengemban tugas tersebut ; terlebih dalam kaitannya dengan penegakkan hukum dan/atau dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Maka akan ada 2 (dua) permasalahan mendasar dalam hal ini, yaitu:
  1. Secara internal: Didalam institusi kejaksaan sendiri yakni bagaimana mempersiapkan, mendidik, melatih dan terus belajar sehingga meningkatkan ketajamannya secara profesional dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
  2. Secara eksternal : Meski mempunyai peran besar dalam usaha pencapaian tugas pemberantasan korupsi tidaklah dapat dilkukan sendiri oleh kejaksaan, tetapi membutuhkan komitmen ataupun kerjasama dengan institusi lainnya sekaligus harus didukung dari berbagai elemen masyarakat.
Permasalahan internal pada kesempatan ini tidak banyak dibahas lebih luas, hanya di informasikan bahwa sistem rekruitmen yang berlaku di kejaksaan terdapat 2 (dua) pola yaitu, pertama pola penerimaan yang langsung dimana calon jaksa berijazah sarjana hukum ketika mendaftar; kedua pola rekruitmen dengan penyesuaian ijazah bagi pegawai kejaksaan. Setelah diterima akan mengikuti pendidkan pembetukan jaksa ( PPJ ) dan setelah lulus mendapat sebutan Jaksa Penuntut Umum  (JPU) yakni sebagai pejabat fungsional yang memiliki keahlian teknis. Keahlian inilah yang seharus semakin terlatih, belajar terus sehingga makin dominan profesionalismenya, artinya yang bersangkutan harus makin terspesialis, meningkat kinerjanya, tangguh serta teruji kepribadiannya; terlebih dalam pelaksanaan tugas pemberantasan korupsi.

Permasalahan eksternal: tugas dan wewenang kejaksaaan sudah diatur dalam pasal 30 UU No: 16 tahun 2004, yakni tidak saja di bidang pidana, perdata tata usaha Negara saja tetapi juga melaksanakan tugas-tugas lain yang ditentukan undang undang; Termasuk di dalamnya pemberantasan korupsi. Mengingat luasnya tugas dan kewenangan maka tidaklah mungkin dapat terlaksana secara optimal; tanpa adanya komitmen serta kerjasama instansi terkait dalam integrited criminal justice system dengan  konteks proporsional, independent sekaligus tidak saling intervensi dalam arti fungsi masing-masing terselenggara secara harmonis menuju kepastian dalam ketertiban hokum, khususnya dalam menangani kasus-kasus korupsi yang akhir-akhir ini menunjukan kecederungan peningkatan dalam kualitas maupun kuantitasnya. Pengertian Korupsi, bahwa dalam pasal 13 UU No: 31/1999 jo UU No: 20/2001 perumusannya mencapai 30 jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokan menjadi: 
  1. Kerugian keuangan Negara (pasal 2 dan 3)
  2. Suap menyuap (pasal 5 ayat 1 & 2, pasal 6, 11, 12 & 13).
  3. Penggelapan dalam jabatan (pasal 8,9 & 10).
  4. Pemerasan (pasal 12 huruf e,f,g)
  5. Perbuatan curang (pasal 7, pasal 12 huruf h)
  6. Benturan kepentingan dalam pengadaan (pasal 12 huruf i)
  7. Grafitikasi (pasal 12 b dan c)
Selain itu masih ada tindak pidana lain yang terkait dengan tindak pidana Korupsi, yaitu:

  1. Merintangi proses pemeriksaan Korupsi (pasal 21)
  2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar (pasal 22 jo 28).
  3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka (pasal 22 jo 29).
  4. Saksi atau saksi ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu (pasal 22 jo 35).
  5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberi keterangan atau memberikan keterangan palsu (pasal 22 jo 36)
  6. Saksi yang membuka identitas pelapor (pasal 24 jo 31).
Luasnya pengertian serta cakupan yang terkait dalam korupsi tersebut, menunjukan bahwa korupsi tidak saja merugikan keuangan negara/korporasi, dan mengacau jalannya roda perekonomian rakyat semesta, bahkan menurut Prof. J. Sahetapy perilaku pejabat yang tidak efesien juga termaksuk kategori prilaku Koruptif, antara lain contohnya  dalam hal  ditemukannya seorang pejabat yang diruangan hanya ngobrol, baca koran atau teleponan seolah-olah sibuk atau menyibukkan diri ; sementara ada tamu diluar menunggu lama, padahal tamu tersebut hanya ingin bertemu cukup 5-10 menit saja atau ditemukan seorang pejabat yang melakukan kunjungan kerja kedaerah dengan  mengajak rombongan yang banyak serta mendapat pengawalan secara berlebih & aktratif termasuk perilaku pejabat yang koruptif. Oleh karenanya  aturan protokoler hendaknya dipergunakan secara tepat sasaran agar tidak muncul kesan  sedang berada dimenara gading jauh dari masyarakat biasa.

Secara ringkas Korupsi adalah semua perbuatan buruk tercela, menimbulkan kerugian atau menguntungkan diri/orang lain akibat dicederainya kepercayaan/amanah yang diembannya. Meluasnya cakupan pengertian katagorisasi Korupsi tersebut maka mengharuskan disesuaikannya ancaman pidana selaras dengan kebutuhan rasa keadilan masyarakat. Berapapun banyak macam ancaman secara proporsional harus tetap mengedepankan prinsip keseimbangan dalam arti sesuai dengan peran maupun kontribusi terdakwa kasus Korupsi. Pelaku Korupsi  akan lebih menimbulkan efek jera jika dituntut dengan ancaman maksimal, mengingat niat buruk, pemanfaatan kesempatan serta efek yang ditimbulkannya, bila perlu untuk kasus Korupsi diatas Rp. 1 Milyar misalnya, tampaknya cukup layak dipertimbangkan tuntutan hukuman mati kepada terdakwa karena tergolong serakah dalam bekerja dan mencari penghasilan tambahan tanpa rasa malu. Atau dengan kata lain kepada koruptor, sangat wajar diberi tuntutan berat yakni dalam hukuman pokok serta hukuman tambahan menyertainya. 

Beberapa waktu lalu pengertian korupsi masih sempit, yaitu perbuatan yang menimbulkan kerugian keuangan Negara, sehingga pelaku hanyalah mereka yang berstatus pegawai negeri sipil atau disamakan dengan itu. Kerugian ini terlihat dari sudut pandang investasi sumber daya manusia, sebab Negara membiayai sejak menjadi PNS dan kemudian mendidiknya sehingga mencapai jenjang tertentu. Berada pada suatu jenjang kepangkatan seharusnya yang bersangkutan memberikan kontribusi maksimal dalam tugas jabatannya; namun dikarenakan niat dan kesempatan yang bersangkutan korupsi sehingga masuk penjara dan yang bersangkutan tidak dapat memberikan kontribusi lagi karena berada di penjara dan masih menjadi tanggungan Negara selama menjalani hukuman.  Dalam hal ini Negara telah dirugikan  dua kali yakni rugi menanamkan investasi sumber daya manusia dan rugi karena harus memberi makan di penjara; tanpa yang bersangkutan bisa menyumbangkan kemampuannya kepada Negara. 

Selaras dengan perkembangan kebutuhan, maka pelaku korupsi sekarang tidak hanya dari kalangan PNS dan sejenisnya; tapi  siapa saja termasuk korporasi. Karena sebagaimana diketahui bahwa Locus delicti maupun Modus operandi korupsi sekarang semakin canggih serta kompleks aspek yang melingkupinya. Perbuatan korupsi tidak bisa dilakukan seorang diri tetapi  selalu lebih dari satu orang karena butuh bantuan kerjasamanya, oleh karenanya dituntut kejelian professional jaksa dalam melakukan penyidikan untuk penyusunan dakwaan, kelak agar jangan sampai terpatahkan dipengadilan yang bisa berakibat dibebaskannya terdakwa 

Profesionalisasi Jaksa dalam pengumpulan bukti-bukti terjadinya kasus korupsi, haruslah cermat dan kuat secara yuridis tanpa terkontaminasi aspek lain yang bukan ranah kewenangannya. Untuk mencapai profesionalisme ini tidak ada pilihan lain kecuali berlatih dan terus belajar (menambah wawasan pengetahuan), menyangkut tugas dan wewenangnya selaku pejabat fungsional di bidang penegakan hokum, walaupun tunjangan kesejahteraannya masih belum memadai, seoarang yang berpredikat Jaksa dituntut untuk memberikan yang terbaik kepada bangsa dan Negara sebagai wujud pengabdian. Berbagai cobaan dan godaan yang datang, tidak akan ada artinya jika dihadapi dengan kejujuran dan kepribadian yang tangguh aspek moralnya, ingat prinsip ketika menjadi awal mahasiswa hukum yaitu; Fiat Juticia Ruatcoelum yakni meskipun langit akan runtuh, keadilan harus ditegakkan. 

Lebih lanjut kaitannya dengan aspek internal yaitu komitmen kerjasama institusi terkait serta dukungan berbagai elemen masyarakat atau dikenal dengan nama Integreted Criminal Justice System (ICJS), yakni proses terkaitnya institusi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan/Rutan. Penjelasan singkatnya ialah:  Kepolisian melaksanakan tugas membuat berkas perkara serta mengumpulkan barang bukti, setelah lengkap selanjutnya  berkas perkara dan barang bukti diserahkan ke Kejaksaan, kemudian kejaksaan menyusun surat dakwaan serta melimpahkan ke pengadilan, dan Pengadilan  menyidangkan dan menjatuhkan putusan pidana. Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka jaksa selaku eksekutor akan menyerahkan kewenangan pelaksanaan pemidanaan kepada lembaga pemasyarakatan/Rutan.

Dengan kata lain untuk penegakan hukum secara utuh setidaknya terkait 4 (empat) institusi  dengan tugas dan fungsi masing-masing agar terselenggara keselarasan dalam pelaksanaan system itu maka ke empat institusi tersebut haruslah fungsional serta independent, yakni; memiliki keterkaitan sekaligus ketergantungan satu dengan lainnya, sehingga ketidaklancaran pada satu institusi akan berdampak pada kinerja fungsi institusi lainnya. Komitmen dan kerjasama dipertaruhkan dalam penegakan hukum, tanpa adanya unsur intervensi dari manapun juga sehingga kepastian hukum akan tercipta yang berakibat semua rencana dan tujuan pembangunan terjamin kesinambungannya. 

Terkait penanganan  tindak pidana korupsi, terdapat berbagai peraturan perundangan yang memberikan pengaturan secara lex specialist. Mengingat hal ini maka aparat penegak hukum harus sangat memahami keberadaan pengaturannya, sehingga dalam pelaksanaan fungsi masing-masing tidak saling bertabrakan merasa paling berkompeten. Misalnya satu institusi telah mulai melakukan penyelidikan terhadap kasus dugaan korupsi, maka hendaknya institusi lainnya secara etis menghormati hal itu; karena tentu masih punya fungsi tugas lain yang juga harus dilaksanakan.  Demikian pula halnya jika telah di SP 3 kan ataupun tidak ditemukan bukti baru secara akurat, maka pada kasus yang sama tidak perlu pengulangan pengusutannya oleh institusi lainnya. Kondisi yang demikian  dimaksudkan untuk mengkonsistenkan fungsi masing-masing institusi agar makin tampak independesinya, professional serta proporsional menuju pencapaian tujuan penegakan hukum.

Berdasarkan uraian yang serba ringkas serta terbuka rekomendasi untuk pembahasan lebih lanjut pada kesempatan mendatang, maka diajukan kesimpulan sebagai berikut:

1.  Upaya meningkatkan peran jaksa dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi adalah:
a.  Mulai dari diri sendiri terus mengembangkan sikap kejujuran, untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap berbagai peraturan. 

b.  Sadar melaksanakan tugas dan fungsinya secara professional dengan berlatih dan terus belajar menambah wawasan diiringi semangat juang tinggi serta tangguh dalam memberikan yang terbaik kepada Negara. 

c.  Meningkatkan anggaran operasi yustisi guna/dalam kegiatan penanganan kasus korupsi. 
2.  Menyadari banyak serta bertubi-tubinya godaan, maka aspek kesejahteraan perlu serius disesuaikan dengan kebutuhan hidup. 

3.  Integreted Criminal Justice System (ICJS) menjadi bukti keharusan komitmen serta kerjasama institusional secara harmonis tanpa superioritas, karenanya pelaksanaan fungsi masing-masing justru semakin menunjukkan independensinya.

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Powered by Blogger.