Mengapa saya berebeda sikap dan pandang dengan Indonesian Corruption Watch (ICW), pengamat politik Ikrar Nusa Bakti, dan budayawan Mohammad Sobari - Kang Somad, perihal reaksi politisi Gayus Lumbuun Cs terhadap KPK, khususnya Bibit-Chandra. ICW, Ikrar, Kang Somad dan sejumlah rekan lainnya, menganggap Gayus Lumbuun Cs telah menistakan dan menghinakan lembaga KPK, ketika mereka menolak kehadiran Bibit-Chandra di ruang DPR RI.
Masyarakat kebanyakan bisa dapat dengan cepat menghukum Gayus Lumbuun Cs, dan memihak sikap ICW dan rekan-rekan itu. Tetapi, persoalannya, sebenarnya bukan terletak pada pro-kontra "Boleh tidaknya Bibit-Chandra masuk ruang DPR RI". Profesor Gayus Lumbuun CS tentu tidak hanya karena alasan karena rekan politisi mereka ditahan lalu melakukan langkah "revenge".
Alasan Gayus Lumbuun CS sejauh ini yang muncul adalah deponeering Bibit-Chandra sebelum dan pasca turunnya deponeering penuh masalah. Tarik-ulur deponeering sebelum turun memiliki catatan buruk. Beegitu juga, menurut Gayus Lumbuun, bila Jaksa Agung memberi deponeering kepada Bibit-Chandra dengan terus mempertahankan di KPK, akan "menggantungkan Bibit-Chandra" karena akan sulit bekerja dengan menghindari semangat "balas-jasa". Karena itu, pasca deponeering, menurut Gayus, sebaiknya Bibir-Chandra dibebas-tugaskan dari tugas KPK untuk menghindari ketergantungan.
Dalam hal itu, saya kira akal-sehat harus memihak alasan Gayus Lumbuun. Berlebihan menganggap Sikap Prof. Gayus Lumbuun dan rekan-rekan sedang melakukan Kriminalisasi terhadap institusi KPK. Prof. Gayus Lumbuun, impliisit mau mengatakan, KPK telah bekerja di bawah idealnya untuk independen, fair, transparan dan obyektif.
Pada hemat saya, jika semua konsisten dan menempatkan labirin penegakkan hukum dan UU di tengah legislatif, eksekutif dan yudikatif, adanya dugaan pemandulan dan kriminalisasi KPK sejak awal harus didahulukan sebagai "firt thing first", yakni klarifikasi terhadap dugaan itu. Upaya Komnas HAM untuk eksaminasi Kasus Antasari Azhar tidak harus menunggu proses yang lain, atau menanti desakan masyarakat.
Catatan di bawah hanya sekedar menarik kita keluar dari sebuah "ciclus vicious" - lingkaran setan yang telah diduga akan terjadi. Pengkodisian "bellum omnia contra omnes" di bidang hukum. Sayang, kalau ingatan dan konteks praksis dan aksi kita pendek dan sebentaran. Catatan itu mungkin masih relevan, dengan tetap menghormati pimpinan baru Busyro Muqodas.
Catatan 19-9-2009
Setelah beberapa waktu kita mengamati perkembangan pergesekkan di tubuh penegak hukum, antara pihak POLRI dan KPK, sinyaliran pimpinan KPK bahwa ada PIHAK KETIGA yang sengaja mengadu Kepolisian dan KPK. Sinyaliran yang telah menjadi keprihatinan, sejak hari pertama Antasari Azhar ditetapkan sebagai tersangka.
Tampaknya, sekaranglah saatnya (ketika itu - hingga kini?) dipandang perlu untuk mengingatkan Partai Demokrat, ya partai dominan Biru, dan pemimpinnya, Presiden (Terpilih) SBY, bahwa persengketaan metaforis "cecak dan buaya", KPK (milik rakyat) dan Polisi (kadung menjadi alat Pemerintah) menjadi tragedi dan sinisme terhadap "perang melawan korupsi" yang senantiasa diklaim menjadi prestasi Presiden SBY. Spekulasi "Pihak Ketiga" yang ingin menghancurkan KPK, telah menjadi fakta terbuka, ketika Presiden SBY dari posisinya, baik sebagai Presiden maupun Presiden Terpilih, meminta beleid untuk memasuki pembentukan KPK baru.
Berita media sore harinya seputar upaya Presiden SBY untuk melakukan konsultasi untuk mencari konstruksi hukum dan administrasi di tubuh kepemimpinan KPK, adalah konfirmasi spekulasi yang beredar selama ini. Secara normatif, Presiden amat PANTAS dan PATUT mempunyai Cetak-Biru untuk seluruh fungsi legislatif, yudikatif, hingga yudikatif.
Tetapi, sayangnya Cetak Biru Presiden terjadi di tengah-tengah kecurigaan masyarakat atas rendahnya kredibilitas penegak hukum di satu pihak, dan kepercayaan terhadap lembaga (idaman rakyat) KPK di pihak lain. Spekulai dan pertanyaan akan terus mengerubuti seluruh langkah Presiden SBY dalam upayanya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum, khususnya perlawanan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan yang koruptif.
Intervensi yang dilakukan Presiden SBY tidak hanya mengecewakan rakyat yang berharap pada KPK, lembaga yang selama ini bekerja dengan integritas dan kepercayaan yang diterima masyarakat sebagai lembaga yang tak boleh dilemahkan dan direposisi sebagai "alat baru" Pemerintahan Biru. Kebijakan menghancurkan KPK dari dalam secara kasat-mata di hadapan masyarakat adalah catatan hitam dalam lembaran reformasi yang ikut dikumandangkan Partai Biru Demokrat dan Presiden (Terpilih) SBY.
Rakyat sangat berharap, bahwa konsultasi Presiden SBY dengan dengan Ketua MA, Ketua MK dan Ketua DPR, akan melalui check and balance, legislatif, yudikatif, dan eksekutif di satu pihak. Tetapi, Presiden sebagai Pembuat Cetak Biru kebijakan pemerintahan, kiranya tidak akan menempatkan KPK sebagai lembaga tambahan.
Jika demikian, kredibiltas Pemerintahan SBY akan melorot. Masyarakat sinis terhadap isu melawan teroris yang senantiasa tampak ada di antara isu-isu penting terkait kepentingan masyarakat, yang menyangkut PEMILU (Presiden), ya kepentingan rakyat dengan KPK. Kalau perjuangan melawan terorisme itu isu kepentingan Presiden dengan Amerika, silahkan jalan. Tetapi, Masyarakat khawatir, kalau-kalau Cetak-Biru (blue-print) Partai Biru yang berkuasa, hanya akan menghasilkan "KPK Biru". "I am feeling BLUE, Mr. President."
0 comments:
Post a Comment