Ada sepasang
sepatu tua yang kemudian jadi termasyhur, di luar perhitungan pembuatnya yang
tak diketahui. Pada 1886, Van Gogh mampir di sebuah pasar loak di Paris. Ia melihat
sepasang sepatu dan membelinya. Di suatu hari yang hujan, perupa Belanda yang
tinggal di ibu kota Prancis itu mengenakannya untuk berjalan, dan ia berjalan
lama sekali. Ia ingin membuat sepatu itu penyok-untuk dilukis. Kabarnya ia
pernah mengatakan, “Sepatu kotor dan bunga mawar bisa sama-sama bagus.”
Ada yang
berteori bahwa Van Gogh melukis itu untuk mengutarakan perjalanan hidupnya yang
sulit. Saya tak begitu yakin. Van Gogh banyak sekali menggambar alam benda, ya,
bahkan beberapa kali melukis sepatu dan sandal petani, tapi ia tak
mengisyratkan apa-apa dengan itu: benda-benda itu mempesonanya, seakan-akan ia
melihat masing-masing buat pertama kalinya dalam hidup. Dengan demikian ia merasa
ada yang bisa disyukurinya dalam 24 jam. Dari itulah kreatifitas memang bermula:
kemampuan untuk tergerak oleh dan menggerakkan sesuatu yang tak berguna. “Apa
yang saya cari dalam lukisan adalah satu cara untuk membuat hidup bisa
tertanggungkan,” demikian tulisnya dalam sepucuk surat kepada adiknya, Theo,
pada Agustus 1888.
Sepatu tua
itu tak berguna: ia terpisah dari kaki pemakainya, terpotong dari niat
pembuatnya. Ia kini hidup menyendiri dalam pigura yang disimpan dan dipasang
dari museum ke museum. Ia tak jadi objek siapa pun. Ia tak mengarahkan, ia tak
diarahkan.
Pada 1930,
Martin Heidegger memandang pigura itu di sebuah pameran di Amsterdam. Agaknya filosof
itu tersentuh, tergerak untuk menulis-dan tentu saja menafsir. Dari bagian
dalam yang sudah lapuk, yang tampak dari ujung laras yang menganga gelap, ia
melihat sebuah riwayat: ini sepasang sepatu petani yang berjerih payah tapi
kukuh. Pada kulitnya ia lihat “kelembapan dan juga kekayaan tanah” tempat alas
kaki itu menapak. Heidegger pun membayangkan kesunyian jalan lading di bawah
sol yang kotor itu ketika senja datang. Di sana “bergetar seruan bumi yang
bisu.” Sepatu ini, tulisnya, “bagian dari tanah, terlindung di dunia perempuan
peladang yang mengenakannya.”
Tapi tentu
saja sepasang sepatu dua dimensi dalam pigura itu-yang seakan-akan mengajak
seorang filosof untuk merenung dan mengaitkannya dengan kehidupan tertentu-pada
mula dan akhirnya Cuma diam. Hanya sang filosof yang menyusun kata-kata; ia
membangun sebuah dunia tentang citra petani di musim dingin, pekerja keras dan
setia kepada bumi tempat hidupnya- dan pesona dari semua itu.
Heidegger tentu
saja tak salah-tapi siapa yang bisa mengatakan tafsirnya tepat? Ada yang
menganggap perspektifnya mencerminkan kecenderungannya di Jerman tahun 1930-an,
ketika kaum Nazi mengumandangkan kesetiaan kepada Blut und Boden, “darah dan tanah,” kiasan asal-usul yang belum
tercemar. Heidegger sendiri menyukai kehidupan yang umumnya dianggap “murni”
itu: di Hutan Hitam, Schwarzwald, di dekat Freiburg, ia punya pondok
seakan-akan bagian dari bukit dan pepohonan. Di sana ia tercatat menuliskan
renungannya. Di sana ia pernah tercatat sebagai seorang Nazi.
Hari-hari ini
Heidegger dan dongeng tentang asal-usul yang belum tercemar mungkin mulai
dilupakan. Sepasang sepatu dalam lukisan Van Gogh itu kini sepasang sepatu
lelaki dan perempuan yang lelah, yang berjalan jauh dari Suriah atau Sudan ke
tepi benua, meninggalkan asal-usul. Zaman telah tak lagi memberikan kemewahan
dan rasa tenang sebuah wilayah. Dan apakah artinya kesetiaan kepada “darah dan
tanah” ketika dari sana yang datang hanya kebencian, ledakan bom bunuh diri,
dan penyembelihan?
Para migran
berjalan, mencari wilayah baru, mencari ruang yang belum tentu tanah yang
dijanjikan Tuhan.
Mereka,
tentu saja, bukan pelaku dan penderita baru dalam sejarah. Berabad-abad lamanya
demografi dibentuk oleh gelombang migrasi, oleh gerak perantau, oleh keuletan
para nomad, mereka yang berangkat. Memang acap kali para pengkhotbah ideology kemurnian
menyerukan “kembalilah kepada huruf yang pertama, asal yang murni, berpeganglah
kepada akarmu.” Tapi manusia bukan pohon yang hanya berakar satu.
Deleuze,
yang berbicara dengan fasih dan memukau tentang “deteritorialisasi,” mungkin
pemikir yang pas dengan suara kegemasan zaman ini, ketika ribuan migran
melintasi perbatasan yang sebenarnya juga berubah-ubah. “Kita mesti berhenti
mempercayai pohon, sulur, dan akar tunjang,” katanya.
Meskipun sebenarnya
ada yang ganjil dalam kata-kata itu: sebab pohon juga sebuah riwayat, hutan
juga sebuah kejadian, selalu “menjadi.” Ada yang tumbuh setelah kembang sari
terbang berpindah dibawa angin, dibawah burung. Tanpa sepatu.
Atau lebih
tepat, tanpa sepatu Martin Heidegger.
Disadur dari tulisan Goenawan
Mohamad, Catatan Pinggir, Tempo, 4 Oktober 2015, Hal. 146.
0 comments:
Post a Comment