Home » » Pancasila (Seharusnya) Masih Ada

Pancasila (Seharusnya) Masih Ada

(Suatu Pengantar Diskusi Publik; Membumikan Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa)
Ideologi Bangsa
Soekarno adalah sosok pemimpin yang tidak pernah memiliki kepura-puraan. Ketika ia menggali nilai-nilai Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia, ia benar-benar mendalami dan turun ke bawah untuk mengetahui denyut kehidupan dari bangsa ini. Sebagai tokoh perjuangan sejak muda belia, Soekarno paham betul seperti apa bangsa Indonesia itu.
Ketika tanggal 1 Juni 1945 Soekarno melontarkan pikiran tentang Pancasila sebagai falsafah negara, ia tahu inilah dasar yang dibutuhkan bangsa sebagai bangsa yang merdeka. Sebagai bangsa yang beragam etnisnya, bahasanya, agamanya, maka kita membutuhkan sebuah pegangan yang bisa menyatukan kita sebagai sebuah bangsa.
Oleh Soekarno dirumuskan bahwa bangsa Indonesia haruslah menjadi sebuah bangsa yang percaya kepada Tuhan, menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan menjungjung tinggi rasa persatuan. Sistem politik yang dijalankan bukan didasarkan kepada suara terbanyak, tetapi kesepakatan bersama untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ideal sekali pikiran yang disampaikan oleh Soekarno. Ia percaya bahwa falsafah itu akan terus hidup pada diri bangsa Indonesia, karena sejatinya begitu kehidupan rakyat Indonesia. Ketika tahun 1928 ia ikut dalam pertemuan para pemuda, ia melihat bagaimana para pemuda bisa bersepakat untuk menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, padahal orang jawalah yang jumlahnya paling besar.
Hanya saja Soekarno pun menyadari bahwa dirinya tidak bisa taken of granted seluruh rakyat Indonesia memahami Pancasila dan tahu bagaimana mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Harus ada upaya yang bersungguh-sungguh dan terus menerus untuk membuat karakter Pancasila itu melekat pada diri sanubari setiap bangsa Indonesia.
Untuk itulah sejak kemerdekaan Indonesia, Soekarno tidak pernah berhenti melakukan nation and character building. Sebagai Presiden pertama Indonesia, ia memiliki kewajiban untuk membuat segala kehidupan bangsa mulai dari urusan sosial, ekonomi, politik, dan internasional dilakukan sesuai dengan semangat Pancasila.
Sayang Soekarno tidak selesai menjalankan tugas untuk menanamkan semangat Pancasila pada diri setiap bangsa Indonesia. Para pemimpin Indonesia selanjutnya tidak meneruskan upaya Soekarno untuk membuat bangsa Indonesia memahami siapa mereka dan bagaimana seharusnya mereka berbuat.
Tidak usah heran apabila kemudian kita ikut larut dalam arus besar dunia, tanpa kita memahami siapa jati diri kita sebenarnya. Dalam kehidupan beragama kita ikut saja dalam arus internasionalisasi agama, tanpa pernah melepaskan agama dalam kultur dan budaya bangsa Indonesia. Maka tidak heran apabila sekarang ini sering muncul benturan atas nama agama.
Hal yang sama berlaku dalam kehidupan ekonomi. Kita membiarkan liberalisasi hidup dalam perekonomian bangsa ini. Pada sejak awal digariskan bahwa perekonomian pasar yang kita bangun adalah ekonomi pasar sosial yang menuju kepada penciptaan kesejahteraan umum. Bukan sekadar angka-angka pertumbuhan atau pendapatan per kapita, tetapi bagaimana yang namaunya tercipta pemerataan.
Dalam kehidupan politik, sistem politik yang kita sekarang bangun telah melupakan prinsip musyawarah untuk mufakat. Segala sesuatu tidak lagi dibicarakan atas dasar kepentingan bersama kita sebagai bangsa, tetapi lebih didasarkan kepada suara terbanyak.
Padahal kita tahu bahwa suara terbanyak belum tentu mencerminkan keinginan dari seluruh bangsa Indonesia. Apalagi dalam sistem perwakilan politik yang semuanya ditarik kepada sistem pemilihan umum yang lagi-lagi didasarkan pada suara terbanyak, sehingga menutup peluang suku-suku minoritas terwakili di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Kita sudah meninggalkan sistem perwakilan atas nama suku maupun golongan. Dewan Perwakilan Daerah pun ikut ditarik ke dalam sistem pemilihan berdasarkan suara terbanyak. Padahal tidaklah mungkin orang-orang dari suku Anak Dalam, Badui, Dayak, Asmat bisa menang dalam suatu pemilihan umum seperti itu.
Kita memang tidak boleh berkecil hati. Banyak hal yang telah kita capai untuk bisa mengukuhkan kita sebagai sebuah bangsa. Di tengah banyak negara yang terpecah-pecah, kita masih utuh sebagai sebuah bangsa. Berbagai ujian yang kita hadapi, tidak menggoyahkan kesadaran kita untuk terus bersatu sebagai bangsa.
Dengan modal itulah maka kita tidak boleh patah semangat untuk menghidupkan semangat Pancasila. Terutama para pemimpin harus kembali meluruskan segala penyimpangan yang terjadi dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Pancasila harus dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan yang kini semakin terbuka.
Momentum kelahiran Pancasila harus dijadikan pegangan untuk membuat kita kembali kepada jati diri kita sebagai bangsa. Tanpa ada kesadaran itu, kita akan semakin jauh tersesat, apalagi di tengah tarik menarik ideologi baru di era globalisasi seperti sekarang ini.*cK



0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Powered by Blogger.