Para
Peneliti Selidiki Jejak
Amelia
Earhart
Oleh: Reuters, Malia Mattoch
McManus
Para peneliti sedang
menyelidiki kelanjutan nasib Amelia Earhart setelah dia menghilang di Samudera
Pasifik 75 tahun yang lalu. Mereka terbang menuju Hawaii dalam sebuah ekspedisi
bernilai $ 2 juta (Rp 19 miliar) pada Selasa untuk mencari puing pesawat
Earhart di sebuah pulau terpencil. Mereka yakin, Amelia Earhart meninggal
setelah terdampar di sana.
Para peneliti akan
menempuh perjalanan 2.900 kilometer dengan kapal dari Honolulu hingga
Nikumaroro di Republik Kiribati, yang mereka yakini sebagai tempat pesawat
Lockheed Electra milik Earhart tenggelam. Para peneliti juga menduga, Earhart
(pilot perempuan pertama yang menyeberangi Samudera Atlantik) berhasil bertahan
beberapa pekan atau bulan pada 1937 setelah kecelakaan tersebut.
Richard Gillespie,
direktur eksekutif The International Group for Historic Aircraft Recovery
(TIGHAR), menduga pesawat Earhart tersapu arus beberapa hari setelah Earhart
dan navigatornya, Fred Noonan, mendarat di Nikumaroro, sekitar 644 km sebelah
tenggara tujuan awal mereka, Howland Island.
Keduanya meninggalkan
Papua Nugini pada 2 Juli dalam misi Earhart mengelilingi dunia lewat jalur
khatulistiwa. Gillespie mengatakan, bukti nyata yang dikumpulkan pada
perjalanan sebelumnya ke Nikumaroro menjadi bukti kuat untuk teorinya yang
menyatakan bahwa Earhart meninggal setelah terdampar. Terutama mengingat
kondisi keras yang ada di pulau tersebut.
Barang-barang yang
ditemukan antara lain sebuah kemasan krim anti-bintik-bintik kulit yang pernah
populer pada 1930-an, resleting pakaian dari dekade yang sama, pisau lipat yang
sama seperti yang selalu dibawa Earhart, dan tumpukan tulang ikan dan burung
yang menjadi bukti kedua penerbang tersebut mencoba untuk bertahan hidup.
“Kami memiliki petunjuk
seberapa lama dia bertahan,” ujar Gillespie. “Berdasarkan jumlah tulang-tulang
tersebut, dia mungkin bertahan hidup beberapa pekan atau berbulan-bulan. Ini
merupakan kisah hidup Amelia Earhart yang tidak diketahui oleh siapa pun. Ini
merupakan hal yang heroik.”
Ditemukannya
tulang-belulang ikan di tempat yang diduga merupakan kemah Earhart membuat
Gillespie yakin, hewan-hewan tersebut dikonsumsi oleh Earhart dan rekannya yang
merupakan orang Barat. “Penduduk asli Pasifik biasanya memakan kepala ikan. Itu
merupakan bagian terenak menurut mereka. Namun orang tersebut tidak memakan
kepala ikan,” ujarnya.
“Kami menemukan kulit
kerang besar... Penduduk asli Pasifik akan menangkapnya saat terbuka dan
memotongnya. Ada beberapa kulit kerang di perkemahan tersebut yang
dihancurkan,” imbuhnya, seraya menambahkan bahwa kulit kerang lainnya dipakai
sebagai penadah air hujan.
“Kami menemukan botol
terdapat di dekat api unggun, dengan bagian bawah meleleh namun bagian atasnya
tidak rusak, dan kawat yang dibuat menjadi kumparan. Tampaknya seseorang
memasak air tersebut agar aman untuk diminum.
Sisa
Tengkorak
Para peneliti juga
menemukan serpihan tulang yang menurut Gillespie sudah terlalu rusak untuk
diambil sampel DNA-nya. Gillespie meyakini, bagian kerangka tersebut, yang
ditemukan oleh seorang petugas dari Inggris pada 1940, merupakan kerangka
Earhart. Kerangka tersebut sudah dibawa ke Fiji.
Seorang dokter di sana
menyimpulkan bahwa kerangka tersebut milik seorang pria, namun Gillespoe
mengatakan bahwa pemeriksaan ulang dari dimensi tulang mengindikasikan bahwa
serpihan tersebut merupakan kerangka seorang wanita Kaukasian. Selain kerangka,
juga ditemukan sepatu pria dan wanita dan sebuah kotak sekstan (alat navigasi
darat).
Apa yang terjadi pada
serpihan tulang masih menjadi misteri. Gillespie bertolak ke Fiji bersama
rombongannya musim panas lalu untuk mencoba menemukannya dengan berbekal
rekaman tulang yang lama. Dia mengatakan bahwa mereka memang menemukan sekotak
tulang-tulang, namun pengujian menunjukkan bahwa tulang tersebut adalah milik
seorang wanita Polynesia.
Kekecewaan serupa juga
pernah terjadi sebelumnya dalam penelitian yang dilakukan Gillespie selama 24
tahun untuk memecahkan misteri kematian Earhart. Pada suatu ketika TIGHAR
meyakini bahwa mereka telah menemukan tempat buku navigator dari pesawatnya.
Pernah juga mereka menganggap akan menemukan pesawat Earhart di danau pinggir
laut. Namun keduanya terbukti salah.
Gillespie mengatakan
bahwa tidak ada bukti mengenai nasib navigator Earhart, Fred Noonan. “Kami
tidak tahu banyak tentang Fred. Serpihan kerangka yang ditemukan pada 1940
merupakan milik seorang wanita yang meninggal di dekat perkemahan.” Dia membuat
teori bahwa pun jika Earhart menangkap ikan dan burung, dia masih bisa mati
karena kelaparan, atau menghadapi bahaya lainnya.
“Anda bisa mendapatkan
makanan, namun Anda tidak mempunyai cukup kalori untuk menggantikan kalori yang
Anda habiskan untuk menangkapnya. Karangnya licin dan jika Anda terluka
karenanya akan mengakibatkan infeksi dan dapat berujung pada keracunan darah.
Atau mungkin ada cedera akibat pendaratan atau jatuhnya pesawat tersebut.”
Dalam sembilan
perjalanan sebelumnya, Gillespie sudah merasakan sendiri betapa kerasnya
bertahan hidup di tempat tersebut. “Pulau tersebut terletak empat derajat
sebelah selatan khatulistiwa. Mataharinya sangat terik. Tidak ada air bersih.
Ketika Anda ingin ke darat Anda harus memotong jalan melalui hutan hingga
pinggiran danau dekat laut. Hiu sirip hitam juga memenuhi tempat tersebut.”
Dalam ekspedisi selama
bertahun-tahun, Gillespie selalu menerka-nerka bagaimana Earhart mengumpulkan
air, karena wadah yang mereka temukan hanya merupakan botol kosmetik berukuran
kecil. “Kemudian dalam ekspedisi terakhir turun hujan lebat dan badai saat kami
sedang menyusuri hutan. Pohon Boca memiliki daun yang besar,” ujarnya, seraya
menambahkan bahwa air hujan dapat tertampung di dedaunan di tanah. “Dengan satu
botol kecil Anda dapat mengumpulkan air dari pohon dan akar.”
0 comments:
Post a Comment