Minggu-minggu ini kendaraan akan sesak oleh penumpang.
Jalan-jalan, juga terminal, stasiun, dan bandara penuh. Orang-orang sedang
mudik. Pulang ke masa lalu, Pada kenangan. Tempat mereka lahir dan dibesarkan.
Atau pulang kepada hubungan-hubungan yang (telah) mereka bangun. Jika ada yang
retak dalam hubungan itu, tentulah ini waktu yang tepat untuk menambalnya.
Masa lalu memang tak gampang dilepaskan.
Bagi sebagian orang, barangkali, mudik
adalah kembalinya mereka ke tradisi. Ada semacam
semangat beromantisme dengan masa lalu. Ya, setidaknya melepaskan kerinduan
mereka akan apa yang mereka rasakan dulu. Masyarakat tradisional, dengan ikatan
sosial yang lebih kuat dan bukan hanya didasarkan atas rasionalitas
tujuan-tujuan tertentu. Mereka ingin merasakan hubungan antar mereka dan
tetangga, misalnya, dalam hubungan yang dominan dengan rasa daripada akal.
Kehangatan suasana kampung. Di mana masyarakat tidak terkungkung oleh
sekat-sekat yang memisahkan mereka dengan individu yang lain.
Mereka merasakan kembali yang tradisional
sebab yang modern tak cukup memberikan segalanya. Ada yang justru hilang tergerus arus
modernitas, Hubungan sosial yang lebih didasarkan pada rasional instrumental.
Akal yang hanya menurutkan kehendak.
Seorang sosiolog Perancis, Emile
Durkheim, mencirikan pembagian masyarakat ke dalam dua kelompok. Pembagian
masyarakat ini ia dasarkan pada The
Division of Labor in Society, salah satu bukunya yang berbicara tentang
tipe solidaritas dan sumber struktur sosial dalam masyarakat. The Division of Labor in Society ini
sekaligus sebagai dasar pembagian masyarakat modern dan masyarakat tradisional
(Johnson, 1986: 181).
Masyarakat tradisional, dalam pandangan
Durkheim mendasarkan hubungan sosial dan solidaritasnya pada, di antaranya;
kesamaan kepercayaan, mata pencaharian, dan kuatnya kesadaran kolektif. Agama,
adat-istiadat, mitos, dan kepercayaan-kepercayaan tertentu masih memegang
peranan penting dan menentukan. Masyarakat dengan ciri ini tersebar di berbagai
desa/kampung. Pada masyarakat ini terdapat, yang oleh Durkheim kemudian disebut
sebagai, solidaritas mekanis. Kesadaran di dalam masyarakat dengan solidaritas
mekanis bersifat kolektif, sehingga individualitas anggota masyarakat cenderung
kecil. Kesadaran kolektif itu menekan individu di dalamnya, untuk sedapat
mungkin menghindari konflik dan ketegangan antar individu dengan yang lain.
Karenanya mereka hidup dengan guyup dan
rukun.
Sedangkan masyarakat modern kedua
dicirikan melalui pembagian atau spesialisasi kerja anggota masyarakat ke dalam
berbagai profesi yang digeluti. Sifat ketergantungan kerja antar individu
menyatukan mereka dalam menciptakan solidaritas. Solidaritas mereka hanya
sebatas “kepentingan kerja” dan pencapaian tujuan-tujuan kerja. Kesadaran
kolektif, pada tingkat pembagian kerja yang semakin tinggi tentu akan semakin
berkurang. Masyarakat urban/perkotaan lebih kental dengan logika-logika modern
ini.
Masyarakat modern tidak lagi mendasarkan
hubungan mereka berdasarkan kesamaan perasaan, pandangan hidup, bahkan
institusi agama dan adat istiadat. Masyarakat modern lebih condong pada
hubungan kerja yang rasional purposif. Gotong-royong yang menjadi cirri khas
masyarakat tradisional, tentu saja tak kita temukan di sini. Sebab sudah
terganti dengan upah. Hal ini menjadikan hubungan sosial di antara anggota
masyarakat menjadi renggang. Ini menjadikan individulitas berkembang sedemikian
rupa yang pada saat-saat tertentu berimbas pada berkembangnya individualisme.
Tentu saja, apa yang dikatatakan oleh
Durkheim tentang perlunya pembagian kerja di masyarakat dalam The Division of Labor in Society
mewakili semangat zamannya. Zaman industrialisasi awal, ketika banyak orang
optimis dengan berkah yang dibawa zaman modern. Menurut Durkheim, pembagian
kerja membawa perubahan dari masyarakat dengan solidaritas mekanis ke
masyarakat bersolidaritas organis. Dari masyarakat tradisional ke masyarakat
modern.
Modernitas berkembang sejak beberapa abad
lalu dari daratan Eropa dengan semangat modernisme. Diawali dengan Pencerahan (renaisans), revolusi industri, dan
perkembangan ilmu pengetahuan terutama bidang imu-ilmu alam. Modernitas ini
sekaligus menandai peralihan dari Abad Pertengahan ke zaman modern.
Sekularisasi, perkembangan ilmu pegetahuan, berbagai penemuan dalam bidang teknologi,
dan kritik atas otoritas gereja tersebut kemudian disambut gegap gempita
masyarakat, yang juga dilegitimasi lewat para ilmuan. Mereka, saat itu, sangat
optimis bahwa zaman modern akan membawa perbaikan bagi kehidupan manusia.
Memang semangat zaman modern itu telah
banyak membuat perubahan. Penemuan dalam bidang teknologi tentu saja memudahkan
kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Akan tetapi, selain berkah yang
di bawa, kutuk zaman modern juga tak kalah hebat. Sebab, ternyata optimisme zaman
pencerahan itu tidak (lagi) menemukan
muaranya. Modernitas berlari jauh dari yang dibayangkan sebelumnya. Modernisme
telah memperkokoh kapitalisme. Dan kapitalisme, hingga kini, tak bergeser dari
sifatnya yang rakus dan menindas. Rasional manusia berkembang dalam (ke)rangka
maksud-maksud keuntungan material.
Manusia menundukkan alam, tapi juga
kemudian tunduk di bawah teknologi yang mereka temu dan ciptakan. Seiring
perkembangan industri relasi sosial dan ikatan individu yang dulu kental, kini
mencair karena hubungan antar-individu pun menganut mekanisme-mekanisme
layaknya mesin birokasi. Apa yang dikatakan oleh Durkheim terkait solidaritas
yang muncul dari pembagian kerja, akhirnya mesti kalah oleh individulitas dan
heterogenitas anggota masyarakat itu sendiri. Apalagi dampak kapitalisme
meniscayakan persaingan ketat antar individu. Ketegangan-ketegangan itulah yang
terjadi saat ini. Pada masyarakat modern.
Tapi, toh, masa kini bukan sekadar untuk
dirutuki. Sebab zaman, perubahan, dan segala sesuatu yang ada di dalamnya tak
pernah bergeser ke belakang. Dan kini orang-orang ingin sejenak keluar dari
mesin modernitas itu, sejenak jeda dari persoalan yang timbul dengan mudik.
Kembali ke masyarakat tradisional. Sambil berandai-andai bahwa adonara bisa
(kembali) diperbaiki.*
*cK
*cK
0 comments:
Post a Comment