Mendesak Dibentuk Aturan Mengenai Benturan Kepentingan
Otonomi daerah kerap dibajak para politisi lokal bersama keluarga dan para kroni. Tujuannya, mencari keuntungan dengan cara menyandera kebijakan yang menguntungkan mereka sendiri.
Demikian riset Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dipaparkan pada media, di Jakarta, Selasa (29/3). Riset dilakukan selama 2010 menggunakan metode kualitatif di empat daerah dengan sektor unggulan tertentu.
Metode tersebut dilakukan dengan data dari berbagai lembaga, wawancara, serta melakukan FGD ‘focus group discussion’. Keempat daerah tersebut adalah, Semarang (sektor jasa), Samarinda (sektor tambang), Sukabumi (sektor air), dan Muna (sektor anggaran).
Riset ICW di empat daerah, kepala daerah membuat lingkaran birokrasi dari keluarga dan kroni-kroni mereka. Ditemukan di Muna, Sulawesi Tenggara, kekuasaan politik dan ekonomi berada pada satu tangan lalu memanfaatkan infrastruktur di daerah untuk memperbesar kekuasaan di pelbagai sektor.
Salah satu peneliti, Abdullah Dahlan menguraikan jabatan penting di pemerintahan daerah ditempati keluarga. Selain itu cara yang dilakukan, adalah membentuk perusahaan-perusahaan yang dijalankan para kroni dan keluarga. “Juga ada yang dikelola orang partai politik,” imbuhnya.
Sedangkan di Samarinda, ditemukan semua pilar kekuasaan dan sumber ekonomi dibagi rata oleh kepala daerah pada para penyokongnya. Tetapi, kekuasaan tetap ada di satu tangan. “Kekuasaan itu yang menentukan kebijakan bersifat transaksional jangka panjang guna mengunci ketaatan para penyokong,” tutur Affan Banong.
Hasil riset di Semarang, peneliti mendapatkan adanya kelompok penguasa berdasarkan kepentingan balas budi. Tidak ada sekutu utama, namun tetap mendapat keuntungan berdasarkan fungsi saat dibutuhkan.
Hasil riset di Sukabumi, pascapemilihan kepala daerah, terjadi relasi bisnis politik secara transaksional. Kebijakan yang diluncurkan sebagai penguasa eksekutif merupakan manifestasi politik ekonomi dalam jangka pendek.
Ketiga bentuk relasi politik dan bisnis tersebut menurut ICW melahirkan konflik kepentingan yang tidak terelakkan. Hal ini terjadi karena sumber daya, baik politik maupun ekonomi diarahkan untuk menciptakan dan melanggengkan oligarki (kelompok penguasa kecil).
Konflik kepentingan antara bisnis dan politik di Muna terjadi pada proyek-proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah yang menggunakan anggaran daerah. Hal serupa terjadi di Semarang. Sedangkan di Samarinda, konflik kepentingan antara bisnis dan politik terjadi dengan mudahnya penerbitan izin Kuasa Pertambangan batubara.
Karena kondisi tersebut, peneliti menemukan pelayanan publik menjadi mahal. Serta, informasi mengenai pengelolaan anggaran dan sumber daya alam menjadi tertutup. Keadaan tersebut diperparah karena fungsi pengawasan legislatif lemah atau bahkan ikut menjadi bagian oligarki.
Para peneliti merekomendasikan agar ada aturan tegas yang mencegah konflik kepentingan. Semisal, batas tegas bagi para pebisnis yang menjadi pejabat eksekutif dan legislatif untuk memilih apakah menjadi pejabat publik atau pengusaha. “Larang kedua-duanya dilakukan bersamaan,” ungkap Abdulah.
Peneliti juga merekomendasikan, agar konflik kepentingan juga diatur dalam proses perancangan hingga pemanfaatan anggaran. Pejabat publik, ujar Abdullah, dalam aturan benturan kepentingan, dilarang turut campur dalam proses penganggaran karena berpotensi memasukkan usulan yang menguntungkan mereka.
Konflik kepentingan, papar Abdullah, sering terjadi antara para eksekutif, politisi, dan pebisnis. Dalam keadaan tertentu, konflik kepentingan membuat kebijakan satu daerah dimonopoli dan menguntungkan satu kelompok tertentu.*cK
hukumonline.com
Selasa, 29 March 2011
0 comments:
Post a Comment