Home » , » Larangan Penggunaan Asas Retroaktif Secara Mutlak dan Objektivitas Seorang Ahli Saat Tampil di Persidangan

Larangan Penggunaan Asas Retroaktif Secara Mutlak dan Objektivitas Seorang Ahli Saat Tampil di Persidangan


"Indriyanto Seno Adji: Kalau Tidak Diminta,
Saya Tidak akan Mau Jadi Pengacara Puteh"


Keterangan Prof. Indriyanto Seno Adji di depan sidang Mahkamah Konstitusi pada pertengahan Januari lalu mendapat kecaman. Memunculkan pro dan kontra tentang objektivitas seorang ahli dalam suatu persidangan.1 Selaku advokat, ia dinilai tak layak tampil sebagai ahli. Keterangannya sebagai ahli dianggap bisa diarahkan sesuai pesanan pihak yang membayar. KPK pun melayangkan kritik pedas, menuding Indriyanto punya konflik kepentingan.
Kecaman itu tak membuat Indriyanto surut. Guru Besar Universitas Krisnadwipayana Jakarta ini tetap kukuh pada pendapat dan pandangan-pandangannya tentang berbagai hal, termasuk larangan penggunaan asas retroaktif secara mutlak dan objektivitas seorang ahli saat tampil di persidangan. Penilaian miring juga dialamatkan kepada putra ketujuh mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. Oemar Seno Adji itu ketika tampil menjadi salah seorang tim pengacara terdakwa kasus korupsi Abdullah Puteh. Lantas, mengapa penulis buku Korupsi dan Hukum Pidana itu bersedia membela Puteh?
Indriyanto membeberkan alasannya dalam perbincangan dengan hukumonline pekan lalu. Berikut petikannya:

Kedudukan Anda sebagai ahli dalam perkara judicial review UU KPK dipersoalkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Bagaimana tanggapan Anda?

Pertama, baik posisi Bram Manopo maupun Abdulah Puteh sama-sama sebagai tersangka. Kecuali antara Puteh dan Bram memiliki posisi yang berseberangan. Kedua, permintaan Bram Manopo agar saya menjadi ahli juga diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Ketiga, saya dipanggil ke sidang tersebut bukan sebagai saksi ad charge, tapi ahli yang telah disumpah objektivitasnya. Jadi tidak masalah. Saya juga sering menjadi ahli dari kejaksaan dan kepolisian. Kalau ada tudingan bahwa keterangan saya subjektif atau ada keberpihakan, terlalu naif  kalau ada pendapat seperti itu. Sama saja seperti Prof. Romli Atmasasmita yang dihadirkan oleh KPK. Beliau ini kan dalam Forum Pemantau Korupsi 2000 memiliki kerjasama yang erat, bahkan memberikan masukan-masukan kepada KPK. Saya menganggap kesaksiannya bukan konflik, walaupun sehari-hari Prof Romli berada di sana (KPK-red).

Selama ini ada pendapat miring dari masyarakat bahwa keterangan ahli bisa direkayasa sesuai dengan pesanan pihak yang menghadirkan ahli tersebut. Bagaimana penilaian Anda?

Nggak boleh itu. Seorang ahli itu kan disumpah dan diminta memberi keterangan objektif. Bahwa ada objektum litis (perbedaan pendapat, red) antar guru besar, saya kira adalah hal yang wajar. Yang diutamakan adalah bahwa mereka yang ditunjuk sebagai ahli wajib memberikan keterangan secara objektif. Soal pro kontra perbedaan pendapat antar guru besar itu adalah hal wajar dan sudah wacana yang berkembang sejak dahulu. Sama saja seperti jaksa dan penasehat hukum. Di alam Orde Baru saja itu adalah wacana wajar, apalagi sekarang. Prof. Himahanto Juwana (Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia--red) mengecam para saksi ahli dengan mengatakan bahwa pendapatnya sesuai pendapatan. Bukankah Prof. Hikmahanto sendiri menjadi saksi ahli dari pihak TNI yang diajukan untuk kasus pelanggaran HAM berat. Masak dia dibayar TNI? Saya juga tidak dibayar sebagai ahli di sidang Mahkamah Konstitusi. Saya diminta menjadi penasehat hukum Puteh karena mertua beliau adalah Guru Besar Hukum Pidana UGM, Prof. Bambang Poernomo. Beliau yang meminta saya untuk membantu. Saya sudah siap dengan segala konsekwensinya. Kalau tidak diminta oleh beliau, saya tidak akan mau menjadi penasehat hukum Puteh. Ada kekeliruan konsep pemikiran dari pengamat, bahwa kalau kita diajukan menjadi saksi ahli dari salah satu pihak, maka kita dianggap memiliki keberpihakan kepada yang bersangkutan. Itu keliru sekali. Terlalu progresif dan ekstrem, sehingga menimbulkan kekeliruan. Jadi pandangan ahli yang diminta di persidangan, sepanjang disetujui oleh badan peradilan, kepakarannya tetap pada pendekatan yang objektif.

Keterangan Anda dalam sidang Mahkamah Konstitusi justru dianggap melemahkan UU KPK, padahal Anda termasuk anggota tim penyusunannya?

Sejak awal, saat perumusan, saya sudah mengatakan jangan diterapkan aturan retroaktif. Saat itu selaku anggota tim pakar dari Menkeh saya harus objektif memberikan keterangan. Saya sudah memiliki prinsip itu sejak dulu. Sejak saya dikukuhkan sebagai Guru Besar saya sudah menentang pemberlakuan asas retroaktif. Sama seperti UU Terorisme, saya juga ada di Tim Perumus, dan menyusunnya. Yang akhirnya dinyatakan tidak berlaku. Itu adalah pengalaman sejarah, penerapan retroaktif itu merupakan konsep pengakuan terhadap political revenge. Kalau dalam hukum disebut lex talionis. Rusia saja pada saat masih menjadi hyper communism sama sekali tidak menerapkan retroaktif untuk hukum pidananya baik formil maupun materiil. Karena dari pengalaman sejarah, penerapan asas retroaktif akan menimbulkan kesewenang-wenangan dan pembalasan dendam. Logikanya kewenangan KPK mengenai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan baru timbul sejak diberlakukan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK pada 27 Desember 2002. Sekarang boleh tidak dia memeriksa perbuatan yang diduga dilanggar sebelum itu. Misalnya untuk perkara tahun 2001, bagaimana KPK mau memeriksa kalau kewenangannya belum ada. Timbul pertanyaan berikutnya, kalau KPK tidak berwenang lalu siapa yang berwenang, tentu polisi dan kejaksaan. Undang-undang itu kan bersifat prospektif, jadi berlaku ke depan, bukan mundur. Jadi kalau ada penerapan retroaktif karena sangat dipaksakan dan juga nuansa politisnya tinggi. Kemudian akan menimbulkan political revenge. Bahkan di ICC (International Criminal Court, red) saja, berdasarkan statuta Roma, secara tegas mengatakan menolak penerapan asas retroaktif.

Apakah perlu ada pembatasan secara mutlak terhadap asas retroaktif?
Pada pasal 70 UU No. 30 Tahun 2002. Untuk menghindari kekeliruan dalam penerapan ketentuan retroaktif itu, KPK hanya boleh melakukan pemeriksanaan untuk rentang waktu satu tahun mundur, 27 Desember 2002. Mulai dari situ bisa diperiksa oleh KPK. Pasal 70 inilah yang menjadi pasal komprominya. Konsekuensi apabila tidak ada pembatasan maka retroaktif akan menjadi pasal mumi, dalam arti perkara yang sudah mati akan dibangunkan kembali oleh KPK. DPR sendiri pada waktu hearing tidak menyetujui ketentuan ini.

Anda dinilai memiliki peran ganda dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, Di satu sisi sebagai penyusun undang-undang, di sisi lain anda menjadi advokat yang membela terdakwa korupsi?
Kalau saya dipanggil, dalam konsepsi akademis, jadi tidak masalah pendekatan akademis dalam asas-asas hukum pidana. Yang harus dipahami bahwa keterangan itu tidak berpihak, tetap objektif. Kalau saya menjadi penasehat hukum terdakwa korupsi atau saksi ahli, kadang-kadang keterangan saya tidak seperti yang diharapkan oleh mereka. Subjektivitas kadang akan menimbulkan objektifitas, begitu pula sebaliknya. Jadi ada pemikiran-pemikiran yang progresif dan ekstrem bahwa untuk penanganan-penanganan perkara korupsi itu sudah mengesampingkan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Begitu seseorang dinyatakan statusnya sebagai tersangka, maka image yang melekat pada masyarakat adalah presumption of guilty, dan proses peradilan hanya dianggap formalitas saja. Ini kan juga tidak benar. Perbedaan pendapat antara guru besar harus diterima sebagai wacana terbuka dari konsep demokrasi. 

Menurut Anda apakah perlu langkah extraordinary untuk menangani perkara korupsi?
Kalau saya menilai korupsi di Indonesia belum bisa disebut extraordinary crime, tetapi serious crime. Karena kita lihat seperti di Sulawesi, pemalsuan surat perintah jalan, nilainya hanya Rp3 juta. Apa kemudian dianggap extra ordinary yang seperti itu. Kriteria tentang extra ordinary sendiri belum ada di undang-undang Korupsi. Di Undang-Undang KPK katanya korupsi sebagai extra ordinary, makanya perlu tindakan extraordinary, dan KPK diberi kewenangan yang extra ordinary. Tapi apa parameternya, belum ada di undang-undang kita. Kalau menurut saya apa yang disebut extraordinary itu sifatnya sistemik secara keseluruhan, merusak sistem ketatanegaraan dan sistem perpolitikan. Akibatnya pun meluas. Tapi yang terjadi di Indonesia korupsinya belum melumpuhkan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Artinya masih normal, pusat-pusat kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif tidak lumpuh. Sehingga belum bisa dikatakan sebagai suatu kejahatan extraordinary. Saya melihat dalam batas-batas tertentu kondisi yang sangat urgentif sekali perlu pemahaman yang sangat terbatas pada extra ordinary crimes terhadap korupsi. Walaupun tidak meluas tapi ada pemahaman yang terbatas. Kalau akan dikeluarkan oleh pemerintah, maka perlu ada dukungan secara meluas dari masyarakat apabila menganggap korupsi sebagai extra ordinary crimes. Kalau melihat urgensi percepatan pemberantasan tindak pidana korupsi, saya rasa pengertian terbatas itu dimasukan dalam Perpu Percepatan Pemberantasan Korupsi. Mengapa dikatakan terbatas? Karena ada norma-norma legislasi yang bersifat umum, yang masih berlaku selain Perpu itu nanti, yaitu UU No. 31 Tahun 1999.

Sejauh ini bagaimana penilaian Anda terhadap KPK dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya? 
Sekarang ini kan masih dalam proses secara kelembagaan. Apabila ada kekurangan maka wajar saja, dan lembaga ini harus didukung oleh semua pihak.

Apakah kelahiran KPK disebabkan penanganan korupsi oleh kepolisian dan kejaksaan yang tidak optimal?
Dalam konsideran UU KPK, lembaga ini adalah pemicu karena aparat penegak hukum yang sudah ada belum memuaskan masyarakat secara meluas. Maka diperlukan lembaga pemicu baru yang bersifat independent yang punya kewenangan extraordinary, untuk setidak-tidaknya meminimalisir korupsi. *cK

hukumonline.com Senin, 24 January 2005

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Powered by Blogger.