Ata Di'ken Adonara - Tampaknya tak ada sejengkal pun tempat di wilayah Republik ini yang bisa dikunjungi Presiden Yudhoyono tanpa kecaman pengunjukrasa. Demikian pula di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, tempat SBY akan menghadiri perayaan Hari Pers Nasional dan sejumlah agenda lainnya pada 8-10 Februari nanti. Konferensi pers yang digelar Front Rakyat Anti Imperialisme Neoliberalisme (FRAIN) NTT, pagi (08.00-10.00) tadi, memastikan akan ada unjukrasa besar selama tiga hari (9-11 Februari) untuk menolak kehadiran Yudhoyono dan mendesaknya meninggalkan haluan ekonomi neoliberal yang hanya menguntungkan negara-negara imperialis dan menyebabkan kondisi bangsa ini semakin terpuruk.
Konferensi pers yang digelar di Marga PMKRI St. Fransiskus Xaverius Kupang itu dihadiri oleh 10 dari belasan organisasi anggota FRAIN, yaitu: Partai Rakyat Demokratik (PRD), Ikatan Mahasiswa Muhammadyah (IMM), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), BEM Universitas Widya Mandira (Unwira), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Persatuan Mahasiswa Lembata (Permata), Ikatan Mahasiswa Amanatun (IMAN), dan Komunitas Mahasiswa Cinta Amfoang (KMCA).
Dalam pernyataan sikapnya yang berjudul “SBY Antek Neoliberal, Rejim Korup, Rejim Pembohong,” FRAIN NTT menuntut Pemerintah Yudhoyono untuk: 1) mencabut semua undang-undang berbau neoliberal, yang pembuatannya disponsori modal asing dan untuk kepentingan asing; 2) menghentikan deindustrialisasi, dan segera melakukan industrialisasi nasional; 3) memberantas korupsi dan ekonomi biaya tinggi hingga ke akar-akarnya, terutama kasus Century; 4) mengimplementasi sistem jaminan sosial nasional kepada seluruh rakyat, terutama buruh, petani, dan pengangguran; 5) menaikkan anggaran pendidikan minimal 20% di luar gaji guru dan dosen
Undang-undang neoliberal yang dituntut pencabutannya antara lain: UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Kesehatan (No. 23/2002), UU Kelistrikan (No. 20/2002), UU Sumber Daya Air (No. 7/2004), UU BUMN (No. 19/2003), dan UU Migas (No. 22/2001).
Menurut FRAIN, pembangunan kembali industri nasional dari kehancurannya dapat dilakukan dengan jalan antara lain: 1) menjamin pasokan bahan baku dan energi murah bagi industri nasional melalui nasionalisasi industri migas dan logam dasar, atau minimal renegosiasi kontrak pertambangan; 2) menjamin pasar bagi produk dalam negeri dengan cara membatalkan perjanjian kawasan perdagangan bebas; 3) memfasilitasi kaum buruh mengambil-alih pabrik-pabrik yang ditinggalkan pengusaha karena bangkrut; 4) menjamin tanah, modal, teknologi, pasar, dan perlindungan harga dasar layak bagi kaum tani; dan 5) mendirikan pabrik-pabrik di daerah dan membantu industri rumah tangga di pedesaan dan perkotaan.
Para perwakilan organisasi mahasiswa ini menyatakan kebulatan sikap mereka dalam menolak kehadiran Yudhoyono di Kupang, dan berusaha memobilisasi sebanyak-banyaknya anggota organisasi masing-masing. Bakri Abubakar dan Supratman, dua aktivis dari IMM, menyatakan bahwa selain karena kebijakan-kebijakannya yang neoliberal telah menyebabkan kesenggaraan rakyat, mereka juga menolak kedatangan SBY karena mencurigai kehadirannya di seminar pertambangan yang digelar Perhimpunan Wartawan Indonesia (PWI) pada Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari nanti membawa misi memuluskan eksploitasi tambang di NTT oleh pemodal asing. Saat ini beredar kabar, selain memboroskan 2 milyar APBD, seminar itu juga dibiayai sejumlah pengusaha tambang.
Sementara menurut Enos Tanu (Imatu), Hengky Sesu (Sema Unwira), Pius Apenobe (MPM Unwira) dan Odorikus G. Owa (PMKRI), selama ini tidak satupun persoalan bangsa yang bisa diselesaikan oleh pemerintahan SBY. Menurut mereka, SBY hanya bisa memberikan janji, dan melakukan kebohongan publik ketika janji-janji itu tidak mampu ditepati. Itu sebabnya, tidak hanya di Kota Kupang, tetapi di setiap tempat, kaum muda dan rakyat akan bangkit melawan pemerintahan neoliberal dan pembohong ini.
Perwakilan PMII, Mashurin, menyoroti ketidakseriusan SBY menjamin penghormatan terhadap pluralisme dan hak beribadah bagi rakyat Indonesia. Ia mencontohkan tindak kekerasan yang terus dialami jamaah Ahmadiyah, pelarangan pembangunan gereja, dan yang baru saja terjadi: pelarangan merayakan tahun baru China di sejumlah tempat di Indonesia. Menurut Mashurin, hal ini telah berlangsung selama bertahun-tahun tetapi belum ada sikap tegas SBY. Pemerintah bahkan tampak menyetujui tindakan ormas-ormas reaksioner.
Are D. Peskim, koordinator Umum FRAIN—yang kini juga menjabat Koordinator Departemen Hubungan Internasional pada Eksekutif Nasional LMND di Jakarta—menyatakan bahwa unjukrasa menolak kedatangan SBY nanti juga merupakan bentuk keprihatinan mahasiswa Kota Kupang terhadap nasib Tenaga kerja Indonesia (TKI) yang terus-menerus mengalami ketidakadilan di negeri tempatnya bekerja tanpa perlindungan memadai dari pemerintah. Menurut Peskim, sikap tidak serius rejim SBY dalam melindungi para TKI yang telah menyelamatkan dirinya dari ancaman ledakan pengangguran dan krisis devisa, ibarat tindakan air susu dibalas air tuba.
Tak Peduli Upaya Kaum Penjilat Menghalangi
Mengetahui rencana unjukrasa ini, para pendukung pemerintahan Yudhoyono dan pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur mencoba menghalang-halangi. Menurut Bedi Roma, ketua PMKRI telah ditelepon salah seorang alumni dan menekan mereka untuk tidak melakukan unjukrasa. Terhadap upaya ini, Roma, Owa, dan sejumlah pengurus PMKRI Kupang menjawab, sikap penolakan terhadap SBY dan kebijakan neoliberalnya merupakan sikap banyak organisasi mahasiswa secara nasional.
Selain para alumni organisasi, kesan mencegah unjukrasa juga tampak dilakukan Pemprop NTT. Gubernur NTT Frans Leburaya telah mengundang sejumlah organisasi mahasiswa dari kelompok Cipayung untuk bertemu membicarakan rencana kedatangan SBY. Dalam pertemuan yang berlangsung tidak lama seusai konferensi pers FRAIN, Leburaya meminta agar pernyataan sikap mahasiswa cukup diberikan kepada dirinya, untuk disampaikan kepada SBY.
Menurut sumber kami yang engan disebutkan namanya, dalam pertemuan yang juga dihadiri politisi yang dekat dengan Demokrat ini, perwakilan segelintir organisasi yang tidak terlibat di dalam FRAIN terkesan mencoba mengusulkan kegiatan lain agar unjukrasa jangan sampai terjadi. Perwakilan GMNI, misalnya, mengusulkan agar sebaiknya mahasiswa mengadakan kuliah umum yang menghadirkan SBY sebagai pembicara. Terhadap usulan itu, Ketua PMKRI Kupang Rikus Owa menyatakan bahwa PMKRI telah bersepakat dengan organisasi lainya untuk mengadakan unjukrasa dan tidak akan mengubah agenda tersebut.
Mengomentari upaya menghalangi-halangi itu, Ketua KPW PRD NTT James Faot mengatakan, hanya beberapa organisasi mahasiswa yang memang dekat dengan kekuasaan dan yang memiliki sejarah plin-plan saja yang mematuhi tekanan dan bujukan kaum penjilat di pemerintahan, sementara mayoritas organisasi rakyat dan mahasiswa di Kupang akan tetap turun ke jalan. Hal ini, menurut Faot, menunjukkan perkembangan positif gerakan mahasiswa di Kota Kupang. “Mereka telah menjadi gerakan yang merdeka, yang lepas dari perbudakan patronase alumni dan birokrat.” Faot yakin, segelintir organisasi yang masih memiliki semangat menjilat kekuasaan akan segera mengalami perubahan dalam tubuh organisasi itu sendiri. “Para pemimpin organisasi mahasiswa yang seperti itu harus segera mengubah karakter mereka, jika tidak, hanya terdapat dua pilihan: kekuasaan mereka ditumbangkan anggota organisasi, ataukah anggota mereka yang hijrah ke organisasi-organisasi yang lebih progresif,” katanya.
Hingga saat ini, telah lebih dari 600 orang mahasiswa dan rakyat yang menyatakan akan terlibat di dalam unjukrasa. Faot, Humas Aksi FRAIN, berharap jumlah ini akan meningkat dengan adanya aksi prakondisi berupa mimbar bebas di sejumlah tempat pada 5-7 Februari ini.
0 comments:
Post a Comment