Ata Di'ken Adonara - Aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Kupang berang. Mereka merasa tanda-tangan ketua dan stempel organisasi mereka dimanipulasi Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. PMKRI, yang menjadi salah satu motor penggerak Front Rakyat Anti-Imperialisme Neoliberal (FRAIN) NTT, merasa dirugikan oleh pemuatan seruan bersama Pemprop NTT dan 8 organisasi masyarakat di Nusa Tenggara Timur di Pos Kupang edisi 5 Februari 2011. Pengumuman itu berisi seruan bersama Pemerintah Provinsi NTT dan 8 Organisasi kepada segenap masyarakat NTT untuk “bersama-sama menyambut gembira kunjungan Presiden SBY dengan tetap memelihara, menjaga situasi dan kondisi damai, dan menjadi tuan rumah yang baik selama kedatangan Presiden SBY.”
Menurut Bedi Roma, Koordinator Gerakan Masyarakat (Germas) PMKRI Kupang, kemarahan PMKRI disebabkan oleh dua hal. Rumusan kalimat di dalam seruan bersama tersebut memberi kesan PMKRI turut menghimbau agar tidak melakukan unjukrasa saat kedatangan SBY. Hal ini jelas merugikan PMKRI karena dapat berdampak anggota-anggota PMKRI berpikir himbauan tersebut benar-benar datang dari pemimpin PMKRI Kupang. Kedua, PMKRI tidak pernah menandatangani, memberikan cap stempel apapun dalam pertemuan bersama Gubernur Leburaya, Jumat (4/2) kemarin. (Lihat Laporan BO, Jumat, 4 Februari 2010).
Pernyataan Bedi Roma dibenarkan Alex Tamonob, aktivis PMKRI yang selama ini menyimpan stempel organisasi PMKRI. Menurut Tamonob, satu-satunya kesempatan stempel PMKRI digunakan dalam beberapa minggu terakhir adalah saat konferensi pers Front Rakyat Anti-Imperialisme Neoliberal, Jumat (4/11) kemarin. Tamonob yang juga mendampingi Ketua PMKRI Kupang, Hendrikus G. Owa, saat pertemuan dengan Gubernur Leburaya siang kemarin dan menceritakan bahwa dalam pertemuan tersebut tidak ada kesepakatan apapun, apalagi menandatangani seruan bersama seperti yang muncul di Pos Kupang itu.
Roma dan Tamonob menduga tandatangan ketua dan stempel PMKRI di-scan aparat pemprop dari Pernyataan Sikap FRONT RAKYAT ANTI IMPERIALISME NEOLIBERAL (FRAIN), yang mereka peroleh dari wartawan. Sebelumnya, mereka menduga pernyataan sikap itu diberikan wartawan Pos Kupang, tetapi setelah kami mengkonfirmasi ke Humas FRAIN James Faot, wartawan Pos Kupang ternyata tidak hadir di dalam konferensi pers kemarin.
Kecewa Terhadap Media Borjuis
PMKRI juga menyesalkan sikap Pos Kupang. Menurut mereka, kalau Pos Kupang mau hadir dalam konferensi pres yang digelar FRAIN di Marga PMKRI kemarin, mereka akan tahu sikap PMKRI yang sesungguhnya. Atau, jika pun tidak hadir, Pos Kupang harusnya bertanya atau mengklarifikasi dahulu ke PMKRI.
Menurut Roma, sebagaimana kebanyakan pers borjuis, Pos Kupang memang tampak tidak adil dalam memberitakan perlawanan kaum mahasiswa dan rakyat terhadap kebijakan neoliberal Yudhoyono. Wartawan Pos Kupang, koran terbesar di Nusa Tenggara Timur ini, jarang sekali menghadiri konferensi pers ataukah meliputi berita unjukrasa yang dilakukan gerakan demokratik. Jika pun hadir, berita yang dimuat di koran group Kompas-Gramedia ini seringkali tidak menguntungkan gerakan. Contohnya, ketika Aksi Peringatan 100 Hari Masa Pemerintahan Kedua SBY, Pos Kupang lebih memilih memberitakan unjukrasa bermasa 20-an orang yang dilakukan kelompok lain, daripada seribuan massa Front Rakyat Anti Korupsi (Fraksi) saat itu. “Jika massa demonstran besar, mereka tidak akan memberitakan jumlahnya. Mereka hanya akan menuliskan jumlah massa jika tidak lebih dari 20an orang,” Kata Bedi Roma.
Aktivis lainnya, Gregorius Dala, yang dihubungi kami secara terpisah, membenarkan penilaian Roma terhadap Pos Kupang. Goris menceritakan hal yang lebih buruk, pengalamannya ketika masih menjadi aktivis di Forum Mahasiswa Peduli Masa Depan (FMPMD) STIE Oemathonis Kupang. Menurut Dala, mereka pernah berkonflik dengan pihak pemilik kampus ketika menuntut peningkatan fasilitas dan jumlah tenaga dosen. Unjukrasa mereka dibalas dengan ‘blackpropaganda” oleh pihak pemilik Kampus, bahwa mereka adalah kumpulan mahasiswa yang ber-IP rendah, tidak pernah masuk kuliah, dan tidak membayar SPP selama beberapa periode. Pos kupang memberitakan blackpropaganda itu, tetapi tiga kali surat tanggapan yang dikirimkan FMPMD kepada Pos Kupang sebagai bentuk penggunaan hak jawab, tidak pernah dipublikasikan.
Pihak PMKRI, menurut Roma, akan membicarakan kemungkinan mengajukan somasi kepada pihak Pemerintah Provinsi NTT dan meminta Pos Kupang mengklarifikasi Seruan Bersama tersebut. “Kami akan membahas bersama apa tuntutan dalam somasi itu. Mungkin berupa kejujuran dan permintaan maaf Pemprop NTT di sejumlah media nasional dan lokal. Jika tuntutan itu tidak dijawab, kami berpikir untuk melakukan langkah hukum. PMKRI berharap, akan ada sejumlah pengacara progresif yang akan mendampingi mereka dalam proses hukum nanti.
0 comments:
Post a Comment