Gadis Penjual Korek Api (Sebuah Parodi Marxis)
Pada zaman
dahulu kala, kira-kira akhir abad ke duapuluh, di sebuah negeri di eropa timur
hiduplah seorang gadis penjual korek api. Gadis itu sedang mencari uang untuk
mengobati ibunya yang sakit-sakitan. Berhari-hari dia mengumpulkan uang, tapi
uang tak pernah cukup untuk rumah sakit. Tidak ada yang pernah cukup bagi orang
miskin, bahkan untuk memberi ibunya sekerat roti pun kesusahan.
Terus dan terus,
berbulan-bulan dia bekerja. Dan bekerja. Dan bekerja. Dan bekerja. Dan bekerja.
Dan bekerja. Dan bekerja lebih banyak dari tulisan bekerja yang ada di karangan
ini. Hingga hadir bulan Desember. Salju turun, anak-anak begitu gembira. White Cristmast kata orang-orang.
Tapi begitu
salju turun, itu artinya beban baru bagi gadis si penjual korek api. Ada
untungnya saat natal tiba, artinya dia bisa ikut berjejer di gereja untuk
menengadahkan tangan ke para penderma. Tapi semakin lama semakin banyak
pengemis, dan betapa banyakpun yang diberi orang kaya maka dia masih kekurangan
dan harga roti semakin mahal.
Lagipula ibunya
selalu menasihatinya untuk jangan jadi pengemis. Jadi dia lebih suka bekerja
keras, menjual korek api untuk menghangatkan tungku perapian.
Dia heran kenapa
di rumah orang kaya selalu ada banyak kayu bakar, kenapa selalu dia baui roti
yang hangat. Apa yang orang kaya kerjakan? Apakah mereka kadang mengumpulkan
kayu bakar di hutan seperti dirinya. Apakah mereka menjual korek api juga.
Pernah sekali
ketika sang gadis penjual korek api mengintip ke sebuah toko roti yang mewah,
dia ingin membelikan kue tar itu untuk ibunya, untuk malam Natal. Tapi
pemiliknya yang punya kumis besar memarahinya. Dia mengatakan “Pergi kamu
Yahudi Babi.” Sang gadis penjual korek api tak pernah mengerti, apa salah
dirinya sehingga marah-marah seperti itu. Sang gadis memutuskan dia tak akan
pernah membeli roti dari sana.
Hari semakin
gelap, dia belum mendapatkan uang malam itu. Salju turun, dinginnya bukan main.
Jalanan sedang sepi dan dia belum mendapatkan cukup uang untuk membelikan
makanan untuk ibunya dan juga dirinya. Rasanya sangat lapar, jika lapar itu
serigala maka dia pasti sudah dimakan habis. Itu pun lebih baik, karena lapar
itu seperti rayap yang menggerogoti perutnya dari dalam.
Juga dingin,
natal putih adalah kutukan bagi orang miskin. Putih rasanya seperti menghantui
mereka. Salju adalah penjahat putih yang bersiap membunuh kapan saja. Santa
Claus akan datang dari perapian yang mati, dan masuk memberi hadiah, tapi si
tuan rumah sudah terlelap dalam tidurnya. Salju telah datang lebih dulu dengan
pisau es-nya yang dingin dan tajam. Ngomong-ngomong soal santa Claus, sang
gadis penjual korek api heran, kenapa dia masuk dalam daftar nama anak nakal.
Claus tidak pernah mendatanginya. Mungkin salah dalam pendataan, yah, selalu
saja ada yang salah dalam pendataan.
Sang gadis
mengantuk dan hendak tidur. Tidak! Tidak boleh! Katanya orang akan meninggal
kalau terlelap dalam keadaan seperti ini.
Jadi si gadis
penjual korek api menyalakan korek api di tangannya, mencoba melawan dingin
yang menyerang. Tiba-tiba muncul sesuatu. Dia tidak percaya. Itu seorang pria
dengan janggut panjang, dia bukan santa Claus, janggutnya jelek dan
awut-awutan. Pria itu kemudian berkata.
“Namaku Karl
Marx”
Orang itu aneh,
namanya Karl Marx.
“Hantu menghantui
Eropa-Hantu Komunisme!!!”
Sang gadis
penjual korek api tidak mengerti.
“Agama adalah
candu.”
Apa maksudnya?
Apa yang dikatakannya itu sangat aneh. Tapi rasanya sang gadis penjual korek
api sedikit mengerti. Tiap kali lapar, ibunya menyuruh berdoa. Tidak ada
makanan, tapi setidaknya dia tidak merasa terlalu lapar. Sang gadis penjual
korek api mendengarkan Karl Marx. Walaupun dia tidak sepenuhnya mengerti tapi
dia setuju dengannya bahwa asal muasal masalah adalah kaum Kapitalis. Dia telah
kena tipu! Dipikir lagi dia harus setor sejumlah uang kepada tukang di toko
korek api, dia tak pernah memikirkan bagian-bagian yang pantas, padahal dialah
yang pergi menjelajahi salju kedinginan sedangkan pemilik toko, santai di
tokonya.
“Kelas pekerja
di seluruh dunia Bersatulah!!!”
Apa maksudnya.
Tapi korek api sudah padam. Karl Marx menghilang dari pandangan. Sang gadis
penjual korek api menghidupkan lagi. Muncul seorang pria berkumis yang agak
botak. Dia bernama Vladimir Ilyich Lenin.
“Kadang-kadang
sejarah butuh dorongan.”
Setelah
mendengar wejangan-wejangannya, walau dia tidak sepenuhnya merngerti, dia memahami
sedikit masalah dunia, dunia butuh dorongan. Lenin-pun pergi bersama angin. Lalu
berturut-turut datanglah Trotsky dan Engels, yang terakhir adalah Mao Zedong,
katanya.
Akhirnya hanya
tinggal satu korek api yang ada di sana. Sang gadis korek api menghadap
bintang. Tinggal satu korek api lagi. Sang gadis korek api berjalan gontai. Dia
masih kedinginan setengah mati, dia nyaris membeku. Perlahan dia melihat sebuah
rumah megah, di dalamnya keluarga-keluarga berpesta. Ada pohon natal , wine,
hadiah-hadiah.
Sang gadis
penjual korek api kemudian mendekati tong sampah terdekat. Dibakarnya tong
sampah itu. Perlahan api kecil, semakin lama semakin besar dan besar. Kemudian
api yang besar itu yang tidak disadari semua orang yang mabuk menjalar, pertama
membakar kayu kereta yang ada di sekitarnya, kemudian atap rumah, dari rumah
menjalar ke rumah, ke atap gereja, ke istana, ke pabrik-pabrik.
Para pekerja
kemudian keluar sambil marah marah, menghancurkan tiap toko yang dilihatnya,
menjarah tiap rumah-rumah mewah yang terbakar. Semakin lama keadaan semakin
kacau. Seluruh kota terbakar tapi gadis penjual korek api tidak peduli, dia
hanya melihat api semakin berkobar. Dia tersenyum, dia tidak lagi kedinginan.
Malam itu sang gadis merasa dirinya dan ibunya tidak akan pernah kedinginan
lagi selamanya.
Dan kemudian
revolusi pun terjadi..
Sang gadis korek
api dan ibunya hidup di dunia komunis dan mereka bahagia selama-lamanya...
Setidaknya
sampai beberapa saat kemudian...
THE END...
Note:
Tulisan ini sebenarnya
terinspirasi dari kisah klasik penjual korek api. Gadis miskin, menghayalkan
berbagai benda lewat imajinasi dan kayaknya endingnya masuk surga. Jelas
bertentangan dengan filosofi Marxis seratus delapan puluh derajat. Pada saat
itu kaum miskin dianggap tidak berdaya, Karl Marx membuka mata mereka.
Mengajarkan DIalektika materialis dan materialisme. Jadi ada pilihan lain bagi
gadis penjual korek api, selain mati dan masuk surga (yang bagi Marxisme
meninabobokan kaum miskin) tapi melakukan reformasi sosial. Jadi sebenarnya,
yang keluar dari korek api tidak lagi imajinasi kosong, malah filsuf Marxis.
Tapi ini parodi.
Source; www.kemudian.com
0 comments:
Post a Comment