Pada abad ke-19 berbagai wilayah di Amerika Latin melepaskan diri
dari cengkeraman penjajahan asing (bangsa Eropa). Sejumlah negara baru dan
merdeka pun muncul. Akan tetapi, berakhirnya penjajahan asing tidak serta-merta
menghadirkan kehidupan bermartabat bagi orang Amerika Latin. Kolonialisme tidak
sepenuhnya beranjak pergi karena yang terjadi hanyalah peralihan bentuk dari
kolonialisme politik ke kolonialisme ekonomi.
Neokolonialisme ini mencapai puncaknya ketika negara-negara
Amerika Latin mengadopsi sistem ekonomi Barat, yaitu free market capitalism (kapitalisme pasar bebas). Bertolak
belakang dengan apa yang didengung-dengungkan para pemuja dan pembela
ideologisnya, kapitalisme pasar bebas justru semakin memapankan struktur
sosioekonomis yang eksploitatif di Amerika Latin, kawasan yang sejak abad ke-16
menanggung kemelaratan akibat kemarukan kolonialis.
Pada satu sisi, beroperasinya sistem ekonomi “tarung bebas” ini
memberikan keuntungan berlipat ganda kepada segelintir kalangan yang berkuasa
secara politik dan ekonomis. Pada sisi lain, sistem yang sama semakin
menjerumuskan mayoritas rakyat ke jurang kemiskinan.
Selain itu, hadirnya ekonomi pasar bebas di kawasan ini telah
mendorong munculnya negara-negara berwatak otoritarian. Kenyataan ini erat
kaitannya dengan kebutuhan kapitalisme pasar bebas akan adanya stabilitas
politik yang merupakan prasyarat bagi terjadinya pertumbuhan. Jadi, demi memacu
pertumbuhan ekonomi, sistem ekonomi yang eksploitatif “bersetubuh” dengan
sistem politik yang represif. Lantas, dari persetubuhan itu lahirlah kekerasan
demi kekerasan di bumi Amerika Latin.
Persoalan kawasan Amerika Latin yang secara sangat ringkas
digambarkan di atas merupakan latar belakang historis dari perjuangan Chico Mendes, sebuah kisah heroik yang dapat kita saksikan dalam film berjudul The Burning Season.
Fransisco “Chico” Alves Mendes Filho. Ia lahir 15 Desember 1944 di
perkebunan karet Xapuri, Brasilia Barat Laut. Sejarah hidupnya tidak jauh dari
realitas kemiskinan. Di Xapuri, di tengah Hutan Tropis Amazona ia hidup sebagai
Penyadap Karet. Pergulatannya di tengah Hutan Amazona telah menempa dirinya
menjadi seorang yang bersahaja dan teguh pada pendirian – oleh kawan-kawan
dekatnya Chico digambarkan sebagai sosok yang lembut, namun bertenaga dalam
tutur kata.
Belantara Amazona juga telah menempa Chico menjadi seorang pejuang
buruh perkebunan sekaligus pembela kelestarian hutan. Keterlibatannya dalam
praksis perjuangan kaum buruh telah menghantarnya menjadi Presiden Serikat
Buruh Perkebunan Xapuri, Anggota Dewan Nasional Serikat Buruh Penyadap Karet,
Anggota Dewan Nasional Kongres Serikat Buruh, serta aktivis Partai Pekerja di
Brasil.
Tahun 1985 Chico menyarankan Bank Dunia dan Inter-American Development Bank untuk
menyelenggarakan program pembangunan Amazona. Tahun 1987 ia menerima
penghargaan The Global 500 Price dari PBB serta sebuah medali dari Society
for a Better World, New York. Tahun 1988 ia diangkat menjadi warga
kehormatan kota Rio de Jeneiro.
Kamis 22 Desember 1988 pukul 05.45 Chico Mendes ditembak mati di
belakang rumahnya di daerah perkebunan Xapuri oleh kaki tangan pihak-pihak yang
terancam karena perjuangannya.
Perjuangan Chico Mendes bersama buruh penyadap karet perkebunan
Xapuri, yang diangkat dalam The
Burning Season, adalah sebuah perjuangan demi kehidupan yang
manusiawi di tanah mereka sendiri. Sasaran perjuangan mereka adalah pengelolaan
hutan oleh mereka sendiri untuk memenuhi kebutuhan ekonomis sekaligus menjaga
kelestarian ekologis. Perjuangan ini mereka lakukan bukan hanya untuk kehidupan
mereka, melainkan juga demi kehidupan anak cucu mereka di kemudian hari.
Dikatakan perjuangan karena untuk mewujudkan impian itu, Chico dan
para buruh perkebunan karet Xapuri harus berhadapan dengan para pemilik modal
yang memiliki kepentingan membuka hutan untuk menjalankan usaha perternakan.
Terjadi benturan kepentingan antara kedua belah pihak. Buruh penyadap karet karet
Xapuri menghendaki hutan karet tempat mereka dan anak cucu mereka
menggantungkan hidup tetap menjadi milik mereka dan lestari, sedangkan para
pemilik modal menghendaki penebangan hutan yang hanya menguntungkan diri mereka
sendiri dan niscaya menghancurkan kelestarian hutan.
Perjuangan Chico menghadapi tantangan yang lebih berat karena
pemerintah di wilayahnya memberikan dukungan politis kepada para pemilik modal.
Persekongkolan antara penguasa politik dan pemilik modal itu tidak hanya
memarginalkan posisi buruh penyadap karet, tetapi juga mendorong terjadinya
rentetan kekerasan terhadap masyarakat Xapuri. Teror, penyiksaan, penculikan,
dan pembunuhan yang melibatkan pelaku sipil maupun aparat bersenjata menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari duka dan kecemasan masyarakat Xapuri.
Tampilnya Chico sebagai pemimpin perjuangan membangkitkan semangat
dan harapan dalam diri para penyadap karet Xapuri. Telah digambarkan bahwa
Chico adalah sosok yang sederhana dan teguh pada pendirian. Ia juga tidak
begitu saja menyerah ketika menghadapi berbagai tekanan dan ancaman. Ia
benar-benar tampil sebagai seorang pemimpin berkarakter dan pejuang militan.
Kekuatan personal Chico ini telah mengobarkan semangat masyarakat Xapuri untuk
bangkit dan bersatu memperjuangkan hak mereka. Kekuatan pribadi Chico
menyalakan api keberanian dalam diri para buruh Xapuri yang dipimpinnya.
Chico tentu menyadari arti penting perjuangannya. Karena itu, ia
berjuang sampai titik penghabisan. Sebagai manusia biasa Chico tentu mengalami
rasa takut, lebih-lebih ketika maut mengintai hidupnya sendiri dan anggota
keluarganya. Namun, Chico tidak membiarkan dirinya menjadi budak rasa takut dan
menanggalkan komitmennya untuk terus berjuang bagi masyarakat Xapuri.
Keteguhan dan keberanian itu pulalah yang kemudian membawanya
kepada kematian. Kemartiran memang merupakan resiko yang kerap menunggu mereka
yang gigih melawan ketidakadilan. Akan tetapi, kemartiran juga merupakan
mahkota bagi mereka yang rela mengorbankan hidupnya demi tujuan mulia.
0 comments:
Post a Comment