“Nullum Delictum, Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali.”
Kalimat ini begitu sangat berarti. Kalimat ini, begitu disanjung tinggi. Bagi orang hukum, susunan kalimat ini wajib dihapal mati. Karena memang maknanya sangat penting. Sebuah perbuatan tidak bisa dipidana sebelum ada aturan yang mengaturnya. Begitu artinya. Begitu makna yang tersirat di dalamnya. Cuma, siapa yang mendatangkan kalimat itu di dunia pertama kalinya, entah. Tapi yang jelas, sumbernya adalah Eropa.
Di nusantara, kalimat itu begitu sahih. Dalam KUHP, dia diletakkan pertama. Dia diberi penghargaan yang sangat tinggi. Dia dikeramatkan di Pasal 1 ayat (1) KUHP. Kita menyembahnya sebagai azas legalitas. Azas itu tak boleh disanggah. Padahal, dia entah bagaimana bisa tercipta. Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali) terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.
Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori, “vom psychologishen zwang (paksaan psikologis),” dimana adagium; nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar, yaitu:
• Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang).
• Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana).
• Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada).
Adagium ini menganjurkan supaya:
1. Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan.
2. Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang itu telah mengetahui terlebih dahulu pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti betul-betul melakukan perbuatan.
3. Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak berbuat. Andaikata dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang, maka dipandang dia menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud dalam asas legalitas yaitu:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Nullum Delictum Nula Poena Sine Praevia Lege Poenali, Menurut Wikipedia, kalimat ini disanjungkan pertama kalinya oleh Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach. Orang ini yang menuliskannya dalam The Bavarian Criminal Code di 1813. Paul menelorkan pikiran demikian juga. Paul tak setuju degan teori kekuatan sipil-nya Thomas Hobbes. Dalam kuliahnya soal jurisprudence criminal, dia mengemukakan teorinya yang terkenal. Paul mengumandangkan nullum crimen, nulla poena sine pravia lege poenali. Gara-gara omongannya itu, partai Paul, Rigorits pun bangkit seketika. Suaranya merangkak tanpa lewat survei dan segala tetek bengeknya. Partai itu bermodalnya teori pembaruan yang dilantunkan Paul. Sang profesor di Jena dan Kiel, Jerman, di 1804 lalu.
Buah pikiran Paul ini pun diadopsi dunia. Nullum crimen masuk sebagai hukum dasar alam criminal internasional. Makanya ex post facto laws pun dilarang dilakukan. Inilah yang menimbulkan pertentangan dikalangan pengacara-pengacara dunia.
Namun, muasal teori ini ternyata ada yang menceriterakannya beda pula. Emeritus John Gilsen bilang berbeda. Katanya, kalimat itu aslinya ialah nullum crimen, nulla poena sine pravia lege poenali. Penciptanya Cesare Beccaria (1738-1794). Pria ini orang Italia. Orang ini, disebutkan sangat luar biasa. Di usia muda, 25 tahun, dia mampu menyusun buku pidana lengkap. Judulnya Dei delitti pene (tentang beragam kejahatan dan hukuman). Buku itu, kemudian diterbitkan lagi oleh Voltaire yang menggubahnya dalam berbagai bahasa Eropa. Beccaria terpengaruh Contrat Social-nya JJ Rousseau. Dalam otaknya, setiap orang wajib menyerahkan sebagian kemerdekaannya kepada raja. Tapi bagi sang penguasa, tidak oleh berbuat seenaknya tanpa ada aturan yang disusun oleh undang-undang.
Ternyata, ide Beccaria ini banyak diterima akal orang Barat sana. Perancis yang pertama mengadopsi. Dalam Declaration des Droits de I’Homme (UUD Perancis) tahun 1789, 1795 dan 1810, buah pikiran Beccaria itu disahkan sebagai aturan. Cuma Beccaria ternyata tak orisinil juga. Manusia sebelum dia, sempat berpikiran sama. Paus dari abad III A.D. (Anno Domini –tarikh sebelum Masehi). Dia sempat mengumandangkannya pula. Ada tulisannya yang berbunyi begini: “non ex regulis ius sumatur, sed ex iure quod est regula fiat” (kita menjabarkan hukum tidak dari aturan-aturan hukum, tapi hukum dari apa yang merupakan aturan).
Sialnya, bila dirunut lagi, Paus juga tak berdiri sendiri. Dia terpengaruh oleh Romawi. Dan Romawi pun berkiblat pada Yunani kuno. Barat banyak menjiplak Yunani kuno menjadi bahan untuk menuntun kehidupan. Mereka mengadopsi aturan Yunani untuk menjalankan kenegaraan. Tak heran, Barat pun sempat mengalami kesesatan. Siapapun pencetus kalimat itu, tetap saja Barat yang menjadi sumbernya. Ironisnya, mereka sendiri tak sejati menerapkannya.
Di Jerman, azas itu sempat dikesampingkan. Tatkala Barat ingin mengadili penjahat perang Nazi, prinsip itu dibuang. Seluruh kawanan anak buah Hitler diadili. Mereka dituduh melakukan perbuatan kriminal. Padahal, tragedi Nazi terjadi jauh sebelum prinsip ini lahir. Jauh sebelum undang-undang Jerman melarangnya. Bahkan, di era Hitler sendiri, tindakan Nazi justru disahkan oleh peraturan. Mereka bukan dianggap melakukan pelanggaran. Tapi, karena Barat yang berkehendak, maka azas itu pun dipinggirkan. Penjahat Nazi diadili. Mereka dihukum mati.
Jerman ternyata tetap dalam kesialan. Setelah era Nazi, kasus Tembok Berlin juga serupa. Begitu tembok pemisah itu rubuh, pelaku-nya diadili. Hukuman diterapkan walau dibuat belakangan. Jerman sial dua kali. Mereka kalah karena kehendak Inggris dan antek-anteknya. Kejadian itu berlaku sejak Nuremberg Trials. Saat itu, seluruh Eropa sepakat mengenyampingkan soal nullum crimen (nullum dilectum) demi bisa menghukum Hitler berikut para pengikutnya.
Era kini, sempat terjadi lagi. Saddam Hussein jadi korban berikutnya. Setelah Slobodan Molisevic, dia diadili oleh Barat juga. Saddam dianggap melakukan kejahatan kemanusiaan. Dia dituntut melakukan kriminal berat. Saddam pun mati ditiang gantungan. Padahal, tindakan Saddam dilandasi oleh aturan. Tindakan Saddam, tak menyalahi kriminal di negaranya. Tapi, dianggap melanggar kriminal di Eropa. Barat tak mau mengikuti nullum crimen. Barat tak mengakui nullum dilectum tadi.
Kita, justru ironis sekali. Azas itu seolah harga mati. Dalam pidana kita, dia diletakkan pertama tanpa boleh diusik sama sekali. Padahal, nullum dilectum hanyalah mulut manis Barat semata. Di negeri sana, nullum dilectum diperkosa dengan sesuka hatinya. Bila Barat ingin, maka dia disanjung paling tinggi. Tapi bila mereka ingin menggantung sang teroris, azas itu dianggap tak pernah lahir.
Tentu sial juga buat bangsa ini. Selalu mengekor Barat yang sesat. Tak heran, hukum di negeri ini jauh dari supremasi yang diharapkan. *cK (Dikutip dari berbagai sumber)
Kalimat ini begitu sangat berarti. Kalimat ini, begitu disanjung tinggi. Bagi orang hukum, susunan kalimat ini wajib dihapal mati. Karena memang maknanya sangat penting. Sebuah perbuatan tidak bisa dipidana sebelum ada aturan yang mengaturnya. Begitu artinya. Begitu makna yang tersirat di dalamnya. Cuma, siapa yang mendatangkan kalimat itu di dunia pertama kalinya, entah. Tapi yang jelas, sumbernya adalah Eropa.
Di nusantara, kalimat itu begitu sahih. Dalam KUHP, dia diletakkan pertama. Dia diberi penghargaan yang sangat tinggi. Dia dikeramatkan di Pasal 1 ayat (1) KUHP. Kita menyembahnya sebagai azas legalitas. Azas itu tak boleh disanggah. Padahal, dia entah bagaimana bisa tercipta. Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali) terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.
Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori, “vom psychologishen zwang (paksaan psikologis),” dimana adagium; nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar, yaitu:
• Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang).
• Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana).
• Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada).
Adagium ini menganjurkan supaya:
1. Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan.
2. Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang itu telah mengetahui terlebih dahulu pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti betul-betul melakukan perbuatan.
3. Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak berbuat. Andaikata dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang, maka dipandang dia menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud dalam asas legalitas yaitu:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Nullum Delictum Nula Poena Sine Praevia Lege Poenali, Menurut Wikipedia, kalimat ini disanjungkan pertama kalinya oleh Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach. Orang ini yang menuliskannya dalam The Bavarian Criminal Code di 1813. Paul menelorkan pikiran demikian juga. Paul tak setuju degan teori kekuatan sipil-nya Thomas Hobbes. Dalam kuliahnya soal jurisprudence criminal, dia mengemukakan teorinya yang terkenal. Paul mengumandangkan nullum crimen, nulla poena sine pravia lege poenali. Gara-gara omongannya itu, partai Paul, Rigorits pun bangkit seketika. Suaranya merangkak tanpa lewat survei dan segala tetek bengeknya. Partai itu bermodalnya teori pembaruan yang dilantunkan Paul. Sang profesor di Jena dan Kiel, Jerman, di 1804 lalu.
Buah pikiran Paul ini pun diadopsi dunia. Nullum crimen masuk sebagai hukum dasar alam criminal internasional. Makanya ex post facto laws pun dilarang dilakukan. Inilah yang menimbulkan pertentangan dikalangan pengacara-pengacara dunia.
Namun, muasal teori ini ternyata ada yang menceriterakannya beda pula. Emeritus John Gilsen bilang berbeda. Katanya, kalimat itu aslinya ialah nullum crimen, nulla poena sine pravia lege poenali. Penciptanya Cesare Beccaria (1738-1794). Pria ini orang Italia. Orang ini, disebutkan sangat luar biasa. Di usia muda, 25 tahun, dia mampu menyusun buku pidana lengkap. Judulnya Dei delitti pene (tentang beragam kejahatan dan hukuman). Buku itu, kemudian diterbitkan lagi oleh Voltaire yang menggubahnya dalam berbagai bahasa Eropa. Beccaria terpengaruh Contrat Social-nya JJ Rousseau. Dalam otaknya, setiap orang wajib menyerahkan sebagian kemerdekaannya kepada raja. Tapi bagi sang penguasa, tidak oleh berbuat seenaknya tanpa ada aturan yang disusun oleh undang-undang.
Ternyata, ide Beccaria ini banyak diterima akal orang Barat sana. Perancis yang pertama mengadopsi. Dalam Declaration des Droits de I’Homme (UUD Perancis) tahun 1789, 1795 dan 1810, buah pikiran Beccaria itu disahkan sebagai aturan. Cuma Beccaria ternyata tak orisinil juga. Manusia sebelum dia, sempat berpikiran sama. Paus dari abad III A.D. (Anno Domini –tarikh sebelum Masehi). Dia sempat mengumandangkannya pula. Ada tulisannya yang berbunyi begini: “non ex regulis ius sumatur, sed ex iure quod est regula fiat” (kita menjabarkan hukum tidak dari aturan-aturan hukum, tapi hukum dari apa yang merupakan aturan).
Sialnya, bila dirunut lagi, Paus juga tak berdiri sendiri. Dia terpengaruh oleh Romawi. Dan Romawi pun berkiblat pada Yunani kuno. Barat banyak menjiplak Yunani kuno menjadi bahan untuk menuntun kehidupan. Mereka mengadopsi aturan Yunani untuk menjalankan kenegaraan. Tak heran, Barat pun sempat mengalami kesesatan. Siapapun pencetus kalimat itu, tetap saja Barat yang menjadi sumbernya. Ironisnya, mereka sendiri tak sejati menerapkannya.
Di Jerman, azas itu sempat dikesampingkan. Tatkala Barat ingin mengadili penjahat perang Nazi, prinsip itu dibuang. Seluruh kawanan anak buah Hitler diadili. Mereka dituduh melakukan perbuatan kriminal. Padahal, tragedi Nazi terjadi jauh sebelum prinsip ini lahir. Jauh sebelum undang-undang Jerman melarangnya. Bahkan, di era Hitler sendiri, tindakan Nazi justru disahkan oleh peraturan. Mereka bukan dianggap melakukan pelanggaran. Tapi, karena Barat yang berkehendak, maka azas itu pun dipinggirkan. Penjahat Nazi diadili. Mereka dihukum mati.
Jerman ternyata tetap dalam kesialan. Setelah era Nazi, kasus Tembok Berlin juga serupa. Begitu tembok pemisah itu rubuh, pelaku-nya diadili. Hukuman diterapkan walau dibuat belakangan. Jerman sial dua kali. Mereka kalah karena kehendak Inggris dan antek-anteknya. Kejadian itu berlaku sejak Nuremberg Trials. Saat itu, seluruh Eropa sepakat mengenyampingkan soal nullum crimen (nullum dilectum) demi bisa menghukum Hitler berikut para pengikutnya.
Era kini, sempat terjadi lagi. Saddam Hussein jadi korban berikutnya. Setelah Slobodan Molisevic, dia diadili oleh Barat juga. Saddam dianggap melakukan kejahatan kemanusiaan. Dia dituntut melakukan kriminal berat. Saddam pun mati ditiang gantungan. Padahal, tindakan Saddam dilandasi oleh aturan. Tindakan Saddam, tak menyalahi kriminal di negaranya. Tapi, dianggap melanggar kriminal di Eropa. Barat tak mau mengikuti nullum crimen. Barat tak mengakui nullum dilectum tadi.
Kita, justru ironis sekali. Azas itu seolah harga mati. Dalam pidana kita, dia diletakkan pertama tanpa boleh diusik sama sekali. Padahal, nullum dilectum hanyalah mulut manis Barat semata. Di negeri sana, nullum dilectum diperkosa dengan sesuka hatinya. Bila Barat ingin, maka dia disanjung paling tinggi. Tapi bila mereka ingin menggantung sang teroris, azas itu dianggap tak pernah lahir.
Tentu sial juga buat bangsa ini. Selalu mengekor Barat yang sesat. Tak heran, hukum di negeri ini jauh dari supremasi yang diharapkan. *cK (Dikutip dari berbagai sumber)
0 comments:
Post a Comment