Jumat (2/8) menjelang buka puasa, saya duduk di markas band Slank di Jalan Potlot, Jakarta Selatan. Tiba-tiba ada perasaan aneh. Tempat itu seperti sebuah oase. Selain slankers, banyak tokoh di republik ini yang bertandang kemari. Seperti ada aura Gus Dur yang hidup dan menebar di sini. Dalam hati saya berseloroh, elok juga kalau personel Slank, yaitu Bimbim, Kaka, Abdee, Ivan, dan Ridho, dipanggil ”kiai”. Seperti Gus Dur, dalam batas-batas tertentu, mereka telah menjadi penjuru baru bagi siapa pun untuk bersandar, berkeluh kesah, dan menyusun mimpi besar bersama untuk bangsa.
Oase sosial-politik, dengan seluruh dimensi humanismenya seperti itu, kini sulit dicari di republik. Ini disebabkan kita sudah miskin tokoh pemanggul kebajikan berpolitik dan fundamen berkonstitusi. Para tokoh yang ada, utamanya para politisi, secara umum tidak menjalankan adagium bahwa berpolitik adalah dalam rangka bernegara, dan bernegara adalah berkonstitusi. Mereka cenderung pragmatis, sebatas mengejar hak-hak istimewa ekonomi dan politik.
Sementara itu, rumah civil society yang dulu subur dan menjadi tempat persemaian tumbuhnya para aktivis dan tokoh pergerakan di Tanah Air, kini tak lebih dari tanah gersang dan berpasir. Para aktivis dari rumah itu telah pindah dan merasa lebih nyaman hidup di wilayah bisnis dan politik yang glamor dibandingkan dengan rumah civil society yang suram dan berdebu.
Dengan situasi seperti itu, Indonesia saat ini sejatinya adalah Indonesia yang bergerak, tetapi tanpa arah. Tidak ada bintang yang dijadikan petunjuk ke mana kapal harus berlayar di kaki langit. Dengan bahasa lain, desain besar ekonomi dan politik yang dirumuskan tidak dikawal dengan kedisiplinan dan keteguhan di tingkat implementasi. Akibatnya, ada guncangan sedikit saja, harga daging sapi dan kebutuhan pokok melonjak, pasokan bahan bakar minyak terganggu, dan kontestasi dalam pilkada berubah menjadi konflik horizontal.
Tidak mengherankan jika akhirnya muncul pandangan bahwa tanpa pemerintah pun bangsa ini sebenarnya bisa berjalan terus, bahkan mungkin lebih baik. Ini segaris dengan pandangan bahwa tanpa partai politik pun, rakyat bisa memperjuangkan kepentingannya dan memilih pemimpin yang amanah. Oligarki dan paternalistik di tubuh partai telah membuat besarnya biaya pemilu terasa sia-sia karena politisi yang seharusnya berkewajiban memanggul amanat penderitaan rakyat justru bertulang rapuh, bongkok, dan penyakitan.
Kejumudan politik seperti itu perlu dicairkan dan ranah politik harus disuburkan kembali untuk tumbuhnya benih-benih kesadaran bahwa berpolitik adalah dalam rangka bernegara, dan bernegara berarti menjalankan konstitusi. Absennya kesadaran tersebut membuat praktik politik selama ini berjalan tanpa roh.
Dalam perspektif budaya politik, analogi untuk hal tersebut adalah orang yang merantau. Mereka bekerja dan mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru, tapi sebenarnya alam bawah sadar mereka dipenuhi sosialisasi nilai dan sejarah kampung. Pulang kampung (mudik Lebaran), dengan demikian, merupakan upaya membangkitkan kembali nilai-nilai yang melekat di alam bawah sadar itu, termasuk penguatan identitas kultural dan politik. Mereka rindu berendam kembali di oase itu.
Tidak mengherankan jika preferensi politik mereka cenderung tidak berubah meskipun sudah menjadi warga metropolitan. Orang-orang yang tumbuh di lingkungan pertanian padi, misalnya, meskipun sudah lama meninggalkan kampungnya, sejarah kampung itu sudah melekat pada dirinya. Setiap kali mereka pulang kampung, terjadi kebangkitan alam bawah sadar tersebut. Meskipun mereka sudah hidup di kota, tetap saja preferensi politiknya bertumpu pada mitos dan dongeng. Itulah oase mereka.
Adapun mereka dulunya tumbuh di perkebunan, terutama tebu, preferensi politiknya tetap condong ke daya tarik ideologi. Pertentangan kelas yang menjadi kepingan sosialisasi nilai sejak mereka kecil menjadi warna dominan dalam alam bawah sadar mereka. Demikian juga bagi mereka yang mempunyai sejarah kampung nelayan, sayur-mayur, dan perkotaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, jika ada politisi, terutama calon presiden yang mampu memformulasi ”virus” sebagai tipping point guna menangkap getaran alam bawah sadar mereka, ia akan mendapatkan dukungan dari tiap kelompok masyarakat tersebut. Tingkat pendidikan pemilih yang secara umum masih rendah menjadikan preferensi politik seperti itu berlaku relatif konstan untuk jangka waktu yang lama.
Hal lain yang perlu dicermati dari fenomena mudik Lebaran adalah semangat untuk membunuh proseduralitas. Dalam konteks politik, praktik politik yang jumud dan tidak substansial sekarang ini harus segera dibelah. Gerakan independen yang progresif untuk mendukung figur-figur alternatif sebagai calon presiden tahun 2014, dengan tetap menempatkan politisi senior di tempat terhormat sebagai king maker, perlu dilakukan. Tanpa langkah tersebut, tidak ada optimisme dan mimpi baru Indonesia.
Kini di tengah kemacetan pantura, tiba-tiba saya membayangkan wajah Megawati Soekarnoputri, Prabowo, Joko Widodo, Mahfud MD, dan Gita Wirjawan. Lho?
Oleh: Sukardi Rinakit, Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
Sumber: Kompas.com
Oase sosial-politik, dengan seluruh dimensi humanismenya seperti itu, kini sulit dicari di republik. Ini disebabkan kita sudah miskin tokoh pemanggul kebajikan berpolitik dan fundamen berkonstitusi. Para tokoh yang ada, utamanya para politisi, secara umum tidak menjalankan adagium bahwa berpolitik adalah dalam rangka bernegara, dan bernegara adalah berkonstitusi. Mereka cenderung pragmatis, sebatas mengejar hak-hak istimewa ekonomi dan politik.
Sementara itu, rumah civil society yang dulu subur dan menjadi tempat persemaian tumbuhnya para aktivis dan tokoh pergerakan di Tanah Air, kini tak lebih dari tanah gersang dan berpasir. Para aktivis dari rumah itu telah pindah dan merasa lebih nyaman hidup di wilayah bisnis dan politik yang glamor dibandingkan dengan rumah civil society yang suram dan berdebu.
Dengan situasi seperti itu, Indonesia saat ini sejatinya adalah Indonesia yang bergerak, tetapi tanpa arah. Tidak ada bintang yang dijadikan petunjuk ke mana kapal harus berlayar di kaki langit. Dengan bahasa lain, desain besar ekonomi dan politik yang dirumuskan tidak dikawal dengan kedisiplinan dan keteguhan di tingkat implementasi. Akibatnya, ada guncangan sedikit saja, harga daging sapi dan kebutuhan pokok melonjak, pasokan bahan bakar minyak terganggu, dan kontestasi dalam pilkada berubah menjadi konflik horizontal.
Tidak mengherankan jika akhirnya muncul pandangan bahwa tanpa pemerintah pun bangsa ini sebenarnya bisa berjalan terus, bahkan mungkin lebih baik. Ini segaris dengan pandangan bahwa tanpa partai politik pun, rakyat bisa memperjuangkan kepentingannya dan memilih pemimpin yang amanah. Oligarki dan paternalistik di tubuh partai telah membuat besarnya biaya pemilu terasa sia-sia karena politisi yang seharusnya berkewajiban memanggul amanat penderitaan rakyat justru bertulang rapuh, bongkok, dan penyakitan.
Kejumudan politik seperti itu perlu dicairkan dan ranah politik harus disuburkan kembali untuk tumbuhnya benih-benih kesadaran bahwa berpolitik adalah dalam rangka bernegara, dan bernegara berarti menjalankan konstitusi. Absennya kesadaran tersebut membuat praktik politik selama ini berjalan tanpa roh.
Dalam perspektif budaya politik, analogi untuk hal tersebut adalah orang yang merantau. Mereka bekerja dan mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru, tapi sebenarnya alam bawah sadar mereka dipenuhi sosialisasi nilai dan sejarah kampung. Pulang kampung (mudik Lebaran), dengan demikian, merupakan upaya membangkitkan kembali nilai-nilai yang melekat di alam bawah sadar itu, termasuk penguatan identitas kultural dan politik. Mereka rindu berendam kembali di oase itu.
Tidak mengherankan jika preferensi politik mereka cenderung tidak berubah meskipun sudah menjadi warga metropolitan. Orang-orang yang tumbuh di lingkungan pertanian padi, misalnya, meskipun sudah lama meninggalkan kampungnya, sejarah kampung itu sudah melekat pada dirinya. Setiap kali mereka pulang kampung, terjadi kebangkitan alam bawah sadar tersebut. Meskipun mereka sudah hidup di kota, tetap saja preferensi politiknya bertumpu pada mitos dan dongeng. Itulah oase mereka.
Adapun mereka dulunya tumbuh di perkebunan, terutama tebu, preferensi politiknya tetap condong ke daya tarik ideologi. Pertentangan kelas yang menjadi kepingan sosialisasi nilai sejak mereka kecil menjadi warna dominan dalam alam bawah sadar mereka. Demikian juga bagi mereka yang mempunyai sejarah kampung nelayan, sayur-mayur, dan perkotaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, jika ada politisi, terutama calon presiden yang mampu memformulasi ”virus” sebagai tipping point guna menangkap getaran alam bawah sadar mereka, ia akan mendapatkan dukungan dari tiap kelompok masyarakat tersebut. Tingkat pendidikan pemilih yang secara umum masih rendah menjadikan preferensi politik seperti itu berlaku relatif konstan untuk jangka waktu yang lama.
Hal lain yang perlu dicermati dari fenomena mudik Lebaran adalah semangat untuk membunuh proseduralitas. Dalam konteks politik, praktik politik yang jumud dan tidak substansial sekarang ini harus segera dibelah. Gerakan independen yang progresif untuk mendukung figur-figur alternatif sebagai calon presiden tahun 2014, dengan tetap menempatkan politisi senior di tempat terhormat sebagai king maker, perlu dilakukan. Tanpa langkah tersebut, tidak ada optimisme dan mimpi baru Indonesia.
Kini di tengah kemacetan pantura, tiba-tiba saya membayangkan wajah Megawati Soekarnoputri, Prabowo, Joko Widodo, Mahfud MD, dan Gita Wirjawan. Lho?
Oleh: Sukardi Rinakit, Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
Sumber: Kompas.com
0 comments:
Post a Comment