“Kalau sudah besar, aku mau nikah
sama kamu,” kata-kata polos itu meluncur begitu saja dari bibir mungil
Kevin. Matanya memandang lekat ke arah gadis kecil di sampingnya.
Nadin
tertegun. Tangannya yang tadi sibuk menyisir rambur barbie menggantung
di udara. “Aku nggak mau nikah!” putus Nadin, lalu melanjutkan
kegiatannya yang sempat terhenti.
Kevin
ngambek mendengar penolakan Nadin. Bibirnya mengerucut. “Kenapa?”
dengan paksa Kevin menarik tangan Nadin, meminta perhatiannya.
Nadin
kesal dipaksa-paksa seperti itu. Dihempaskannya tangannya sampai sisir
di tangn kanannya terlempar. “Aku nggak mau nikah! Aku nggak mau kayak
ayah sama bunda yang selalu bertengkar, lalu akhirnya berpisah. Aku
nggak mau kayak bunda yang setiap malam selalu nangis gara-gara ayah.
Puas!”
Kini giliran Nadin yang
ngambek. Kevin kelimpungan bagaimana caranya membuat Nadin kembali
tersenyum. Matanya mencari-cari sesuatu yang bisa digunakan untuk
membujuk Nadin. Pandangannya tertuju pada segerombolan bunga edelweis.
Dipetiknya satu bunga yang menurutnya paling cantik.
Nadin membuang mika saat Kevin menyodorkan bunga ke hadapannya.
“Kamu tau nggak, ini namanya bunga edelweis...”
“Aku tahu!”jawab Nadin ketus. Dia merasa dianggap bodoh tidak tahu nama bunga yang sudah dikenalnya sejak kecil itu.
Melihat respon Nadin, Kevin jadi salah tingkah. “Maksudku, kamu tahu nggak, kalau edelweis juga disebut bunga keabadian.”
Nadin mulai tertarik. Bunga keabadian? Pelan-pelan dia menghadapkan wajahnya ke arah Kevin.
Kevin
girang dalam hati melihat Nadin tidak secuek tadi kepadanya. “Jadi
gini, orang-orang menyebut bunga edelweis adalah lambang keabadian,
karena b unga ini nggak akan layumeski disimpan berapa lamapun.”
“Meski dipetik?”
“Meski kamu memetiknya dan menyimpannya tanpa akar.”
Nadin mengambil edelweis dari tangan Kevin. Diamatinya bunga mungil itu. “Cantik,” gumamnya.
“Aku
punya yang lebih cantik dari itu,” Kevin meraih sesuatu dari
punggungnya. Mata Nadin berbinar melihat apa yang ada di genggaman
Kevin. Sebuah mahkota mungil yang terbuat dari sulur-sulur tanaman
dengan hiasan bunga-bunga edelweis yang diselipkan di antaranya.
Mulut
Nadin ternganga tapi tak mampu mengeluarkan satu katapun. Kevin
meletakkan mahkota yang telah dibuatnya sepanjang malam itu di atas
kepala Nadin. Senyum puas tersungging di wajahnya.
“Selama kamu masih menyimpan mahkota itu, selama itu pula aku akan terus bersama kamu. Nggak akan pernah ninggalin kamu...”
“Aduh, sampai kapan sih kamu
terus mandangin Kevin sama Putri jalan bareng sementara kamu yang sobat
kentalnya Kevin nggak pernah berani ngomong cinta?” cerocos Ersa saat
istirahat di dalam kelas yang hanya ada mereka berdua.
“Hah? Maksud loe?” Nadin kegap merasa dituduh seperti itu.
“Aduh, Say, kamu pikir selama ini aku nggak tahu kamu diem-diem ada hati sama Kevin?”
“Aku masih nggak ngerti.”
“Nggak
usah pura-pura bego’ deh. Langsung samperin si Kevin, bilang cinta ke
dia. Dan aku yakin, Putri akan langsung ditendangnya jauh-jauh.”
Nadin
menghembuskan napas berat. Menyadari tak mungkin menyembunyikan sesuatu
dari Ersa yang sudah mengenalnya luar dalam itu. “Nggak mungkin lah,
Sa. Kevin itu cinta banget sama Putri. Kalau aku ngomong jujur ke dia,
yang ada malah persahabatanku sama dia terancam bubar.”
“Tahu dari mana kamu kalau Kevin beneran cinta sama Putri?”
“Kevin sendiri yang cerita ke aku. Tiap kami jalan bareng, yang diomongin Putri, Putri, mulu.”
“Ye,
itu elonya aja yang bego’. Kevin kayak gitu kan buat manas-manasin kamu
aja. Kamu juga sih yang terlalu kaku sama Kevin. Sok jual mahal lah,
sok mentingin pelajaran lah.”
“Aku emang menomorsatukan sekolah kok.”
“Iya, tapi bukan berarti nyuekin sobat kamu sendiri kan. Giliran dia pergi aja, kamu kelimpungan mencarinya.”
Siaul. Bener banget sih!
Nadin
sendiri tidak tahu siapa duluan yang berubah. Tiba-tiba mereka dewasa
dan sibuk dengan rutinitas masing-masing. Saat mereka SMP, dia merasa
Kevin masih miliknya. Hanya ada mereka berdua dan tidak ada orang lain
dalam obrolan mereka. Tapi Nadin peempuan. Perkembangan hormonnya
tumbuh lebih cepat. Dia ingin lebih diperhatikan. Dan caranya menarik
perhatian Kevin adalah dengan marah. Itu yang biasa dia lakukan sejak
kecil. Saat Nadin marah, entah karena dirinya atau sesuatu yang lain,
Kevin akan mati-matian mencari cara agar Nadin kembali tersenyum.
Tapi
lama-lama jurus itu tak lagi ampuh. Kevin mulai bosan dengan sikap
Nadin yang gampang ngambek. Setiap Nadin menunjukkan gelagat akan
marah, Kevin langsung kabur. Lebih dari itu, Kevin sering membicarakan
teman-teman mereka, khususnya cewek-cewek.
“Tau
nggak, Nad, si Lala itu cantik banget ya. terus si Meggie itu, wuih,
kalau senyum manis banget. Monic juga, udah cantik, pinter lagi, bla...
bla... bla...”
Nadin kesal.
Ternyata bukan hanya dia seorang satu-satunya cewek di mata Kevin. Ada
Lala, Meggie, Monic, dan cewek-cewek nggak jelas lainnya. Setiap kali
Kevin menyebut nama cewek-cewek itu, Nadin akan langsung kesal. Kevin
yang tidak tahu penyebab Nadin marah membiarkan sahabatnya itu pergi
begitu saja.
Tidak ada lagi permintaan maaf. Tidak ada lagi rayuan. Tidak ada lagi bunga edelweis...
Nadin
kesal bukan karena cewek-cewek yang disebutkan Kevin. Tapi dia merasa
Kevin telah melupakan janji masa kecilnya untuk selalu bersama Nadin.
Apakah janji itu tak pernah punya arti? Seperti rengekan bayi yang
langsung lenyap begitu disodori lilypop? Atau, Kevin memang masih
memegang janjinya? Buktinya mereka masih bersama kan? Kevin dan Nadin
masih berangkat dan pulang sekolah bareng. Masih sering menghabiskan
waktu luang bersama. Tapi tak pernah lebih dari itu...
“Ini satu-satunya kesempatan
kamu,” Ersa menyodorkan selembar pamflet di meja yang di duduki Nadin.
Nadin membaca judulnya: PROMNITE PARTY
“Maksudnya?”
“Ya elah nih anak. Ya kamu ajak Kevin lah buat jadi pasangan kamu.”
“Kevin pasti ngajak Putri.”
“Nggak bakal. Di sini persyaratannya cewek yang harus ngajak cowok.”
“Apa
bedanya coba. Toh itu cuma buat seru-seruan aja. Lagian kalau hanya
gara-gara persyaratan konyol itu Kevin nggak bisa ngajak Putri, Putri
yang akan ngajak Kevin.”
“Taruhan, Putri nggak akan ngejatohin harga dirinya untuk ngajak cowok duluan.”
“Jadi maksud kamu, aku tipe cewek yang nggak punya harga diri, gitu?”
“Bukan
gitu, Say. Nih anak sensi banget sih. Maksud aku tuh, kalian kan udah
lama berteman, jadi nggak ada gengsi-gengsian lagi dong. Tinggal
membuat obrolan ringan, lalu ajak deh,” Ersa menaik turunkan alisnya.
Merasa idenya ini brilian sekali. Urgh!
“Nggak!”
tegas Nadin. Gila aja nurutin idenya Ersa. Mending nggak usah dateng
sekalian ke acara dansa-dansi nggak penting kayak gitu.
Tapi
ternyata Nadin salah. Tiga hari menjelang acara promnite itu, seluruh
teman-temannya heboh membicarakannya. Mulai dari curhat belum nemuin
pasangan yang pas, masalah gaun warna apa yang pantesnya dipakek,
sampai janjian ke salon jam satu siang padahal acara baru akan dimulai
pukul delapan malam. Helo... emang mau operasi plastik ya? heboh banget.
Dan
sialnya hanya Nadin seorang yang berpikiran jelek tentang promnite.
Teman-temannya malah berbalik menghina saat dia memaparkan betapa tidak
pentingnya pesta dansa.
“Halah, Nad, jangan mentang-mentang nggak ada yang mau kamu ajak, nggak perlu sewot gitu kan.”
“Nadin, kamu tuh sebenarnya cantik. Tapi kamu terlalu kutu buku.”
Itu masih mending, ada hinaan yang lebih sadis. “Nadin nggak suka cowok ya?” jedieng! Nadin langsung mati gaya.
Tentang
Kevin, dia hanya pernah sekali membahas soal promnite saat mereka
pulang sekolah bareng. “Nad, temen-temen pada heboh ya membahas masalah
promnite. Mungkin karena ini pesta dansa baru pertama ini diadain di
sekolah kita kali ya. kamu kepikiran buat dateng nggak? Udah ngajak
cowok belum?”
Nadin diam, tak
menanggapi omongan Kevin. Kevin lalu menyingkap rambut yang menutupi
telinganya. “Ya, pakek headset, pantesan aku dicuekin,” Kevin lalu
mempercepat langkahnya.
Sebenarnya
Nadin mendengar jelas setiap kata yang diucapkan Kevin, karena tidak
ada satu lagupun yang dia putar. Itu hanya kamuflase karena Nadin
sebenarnya tidak ingin mendengar cerita Kevin kalau Putri trlah
mengajaknya ke pesta dansa itu.
Kevin meraih hpnya yang berdering, “Yap?”
“Kevin,
nanti malam kamu mau pakek baju warna apa?” terdengar suara nyaring
Putri di ujung telepon. “biar aku bisa samain warnanya sama gaun aku.”
“Baju? Buat apaan?”
“Aduh, Sayang, kamu lupa ya? pesta dansanya kan ntar malam. Jangan-jangan kamu juga lupa buat nyiapin kostum ya?”
“Lho, emang kamu ngajak aku ya? Kapan ngomongnya?”
“Kamu
gimana sih? Tentu aja aku akan pergi ke acara promnite sama kamu, kamu
kan cowok aku. Nggak usah aku ajak pun udah pasti kan.”
“Tunggu, tunggu. Cowok? Kapan jadiannya?”
“Kamu
nyebelin banget sih. Emang pacaran harus nunggu tembak-tembakan dulu
ya? kita kan udah sering jalan bareng. Aku pikir selama ini kita...”
“maaf, Putri. Kayaknya kamu salah ngerti deh. Aku aja baru mau PDKT. Jadi kita belum pacaran.”
“Kamu
jahat ya, Kev. Tau gini kemaren aku trima ajakannya Dion,” Putri
menghentikan ucapannya sebentar. “Udah deh, batalin aja niat PDKT kamu
itu, toh aku nggak bakalan nrima kamu!” tut... tut... tut...
Kevin
tertegun, kaget juag denget Putri bisa ngomong kasar kayak gitu. Dia
memandang ke jam dinding di kamarnya. Beberapa jam lagi pesta dansa di
sekolahnya akan dimulai. Dan Kevin sama sekali tak mempunyai rencana.
Sebenarnya ada satu cewek yang dia harap akan mengajaknya. Tapi
seeprtinya cewek itu tak tertarik.
“Tapi aku hanya punya kesempatan malam ini saja,” putus Kevin akhirnya. Diraihnya kunci motor lalu melesat ke luar rumah.
Nadin kaget saat membuka pintu dan menemukan wajah Kevin di sana.
“Kamu mau kan jadi pasanganku di promnite?” todong Kevin seketika.
Nadin hampir kesedak, tapi dia berusaha memasang wajah tetap cool, “Bukannya diperaturannya cewek yang harus ngajak cowok ya?”
“Hah, persetan dengan peraturan. Kamu mau kan?”
Ingin sekali Nadin bersorak ‘aku mau’, tapi ego membuatnya menelan kata-kata itu. “Aku nggak punya gaun,” katanya datar.
“Sudah kuduga,” Kevin lalu memberikan bungkusan ke tangan Nadin.
“Ini...”
“Aku kasih waktu setengah jam, buruan dandan,” Kevin mendorong punggung Nadin agar masuk ke rumah.
Nadin sendiri baru menyadari kalau pakaian Kevin sudah sangat rapi, “Lima belas menit,” teriaknya.
Kevin tertegun. Dia seperti
melihat kembali gadis kecil teman mainnya dulu. Dia berdiri di hadapan
Kevin, mengenakan gaun ungu muda selutut dan di kepalanya terdapat
mahkota dengan hiasan bunga-bunga edelweis. Hanya saja sekarang gadis
itu lebih besar dan... semakin cantik. “Kamu masih menyimpannya?” Kevin
menatap mahkota di kepala Nadin.
Nadin hanya menjawabnya dengan senyum manisnya.
Kevin
lalu meraih tangan Nadin dan menuntunnya. “Lho, ini kan bukan jalan ke
sekolah?” tanya Nadin saat mereka berjalan ke arah sebaliknya.
“Memang tadi aku bilang mau ngajak kamu ke sekolah ya?” Kevin tersenyum misterius.
Kebingungan
Nadin terjawab saat mereka tiba di bukit kecil tempat dulu dia dan
Kevin biasa bermain. Selama ini mereka tidak pernah ke sini lagi sejak
usia mereka menginjak belassan tahun. Dan kini Kevin membangkitkan
kenangan masa lalu itu.
“Tempat ini masih cantik ya,” gumam Nadin takjub.
“Nggak,” jawab Kevin. “ada yang lebih cantik dari ini,” Kevin memandang lekat ke mata Nadin yang memantulkan cahaya bulan.
“Will you dancing with me, Princess?”
so sweet :)
ReplyDelete