Ata Di'ken Adonara - Hari pertama mimbar bebas prakondisi aksi massa 9-11 Februari digelar Front Rakyat Anti-Imperialis Neoliberal (FRAIN), Sabtu (5/2) kemarin, di sekitar kawasan Terminal Kota Kupang, tepatnya di pelataran taman kota di tepi pantai Kelurahan LLBK. Mimbar bebas yang diisi dengan orasi dan pembacaan puisi itu dimulai sejak pukul 3 sore dan berakhir sekitar pukul 6. Tampak sejumlah tokoh organisasi hadir dan berorasi, seperti Ketua KPW PRD NTT James Faot, Ketua EW LMND NTT Are Peskim, Ketua Sema Unwira Hengky Sesu, Ketua IMM NTT Bakri Abubakar, Ketua PMII Kupang Mashurin, Ketua Permastil Joao Mota dan Sekretaris PMKRI Justin.
Seperti hari-hari sebelumnya, kawasan Terminal Kota sore itu begitu ramai, padat oleh penumpang yang menunggu angkutan kota, warga kota yang berekreasi menikmati pemandangan pantai, dan para pedagang makanan. Mereka tampak antusias menyimak orasi dan pembacaan puisi yang disampaikan para aktivis FRAIN terkait berbagai kebijakan neoliberal Pemerintahan Yudhoyono dan dampaknya bagi kemiskinan rakyat dan kehancuran perekonomian nasional.
Ria Radja, perempuan pedagang Jagung Bakar di kawasan itu, sangat setuju dengan apa yang disampaikan para orator. Kepada kami, migran miskin yang tinggal di Keluruahan Fatu Feto ini setengah berteriak dalam dialeg Kupang, “Untuk apa dia datang? Datang ju sama sa, paling ketemu pejabat- pejabat, bukan dengan kita rakyat. Bahkan kami ada dapat isu, tanggal 8-11 Ferbuari 2011 ibu Lurah ada larang kami berjualan di sini, padahal ini adalah mata pencaharian kami satu-satunya.”
Sementara Markus Radja, pedagang rokok ketengan di daerah tersebut, menyesalkan penggusuran yang dilakukan terhadap pedagang di kawasan El Tari. “Biar hanya rakyat, kamu juga bayar pajak dan retribusi rutin.”
Provokasi Massa Bayaran
Ada hal yang berbeda sore itu di kawasan terminal Kupang. Ketika para aktivis tiba, selain masyarakat biasa yang menunggu angkutan atau menikmati pemandangan pantai, tampak juga segerombolan siswa SMU dan pemuda-pemuda bertato yang duduk menegak sopi, minuman keras khas NTT. Ada juga yang mengenakan kaos hitam dengan lambang organisasi GMKI di punggungnya. Hal ini tidak biasa. Meski banyak pemuda Kupang memiliki kebiasaan minum sopi saat berkumpul, mereka tidak pernah melakukan itu di tempat publik, karena berisiko digelandang polisi. Apalagi, persis di ujung pelataran taman kota, ada pos polisi. Anehnya, sore itu hanya tampak seorang polisi hadir disana. “Kami telah menyampaikan pemberitahuan untuk mendapatkan perlindungan dalam melaksanakan hak sipil politik kami. Biasanya, tanpa pemberitahuan pun, akan banyak polisi yang berjaga. Sore ini benar-benar tidak seperti biasa,” kata Caster Seno, Ketua EK LMND Kota Kupang.
Para pelajar SMU itu senantiasa berteriak menanggapi orasi dengan pernyataan bertentangan. Misalnya ketika orator menerikan, “Hidup Rakyat!” mereka menimpalinya dengan, “Hidup SBY.” Atau ketika Are Peskim, Koordinator Umum FRAIN, dalam orasinya bertanya kepada massa, “Apakah SBY pantas datang ke NTT?” Para siswa SMU itu menimpalinya dengan, “Iyaaa!”
Sementara kumpulan pemuda, yang diketahui berasal dari Kelurahan Namosain dan Kelurahan Oepura, mengancam aktivis FRAIN jika tidak segera menghentikan mimbar bebas. “Kalau sampai kami habis minum, ini aksi tidak bubar, kami akan buat kacau,” kata mereka. Seorang dari antara mereka sempat maju hendak memukul Ketua SEMA Unwira Hengky Sesu yang sedang berorasi. “Heh, jangan omong SBY sa. Kritik juga itu Gubernur,” hardiknya dengan bau alkohol menyengat tercium dari mulutnya. Beruntunglah, Aktivis SRMI Yosep Asafa sempat mencegahnya dan menjelaskan, jika ia mau mendengarkan dengan baik isi orasi, maia dia akan tahu jika para orator mengkritik baik Rejim Yudhono maupun Pemerintahan Leburaya.
Berdiri di antara pelajar SMU itu beberapa orang yang dikenal para aktivis, seperti Gerbeam Nulik, anggota TNI yang bekerja di Intel Korem; seorang tua yang selalu tampak dalam unjukrasa di Kota Kupang, dan di kalangan mahasiswa dikenal sebagai Intel BIN; serta seorang mantan Caleg DPRD Kota Kupang dari Partai Demokrat dan tinggal di Kelurahan Namosain. Orang-orang ini kerap mondar-mandir dan berbicara dengan para siswa SMU dan para pemuda bertato.
Ketika mimbar bebas tengah berlangsung, kami menyaksikan dua orang bertubuh tegap tinggi mengendarai sepeda motor dan berhenti di depan para pemuda bertato dan siswa-siswa berseragam SMU, lalu menyerahkan uang lembaran Rp 50.000 kepada mereka.
Karena hari mulai gelap, dan untuk menghindari bentrokan dengan massa bayaran, FRAIN akhirnya menyudahi aksi mimbar bebas, kemudian berkumpul di sekretariat IMM NTT untuk mengevaluasi kegiatan dan merencanakan mimbar bebas selanjutnya. Hingga berita ini dibuat, sedikitnya 26 organisasi sudah menyatakan bergabung dalam FRAIN.
0 comments:
Post a Comment