Home » » Perundingan dengan Itikad Baik Menurut UU Hubungan Kerja

Perundingan dengan Itikad Baik Menurut UU Hubungan Kerja


Perundingan Itikad Baik
Menurut UU Hubungan Kerja:
(Rangkuman Pengalaman Selandia Baru)

Latar belakang
1.    Fokus Undang-Undang Hubungan Kerja Selandia Baru Tahun 2000 terletak pada upaya membangun hubungan kerja yang produktif dengan meningkatkan rasa saling percaya dan keyakinan akan itikad baik satu sama lain sebagai landasan bagi lingkungan kerja dan hubungan kerja. UU tersebut berupaya mencapai tujuan ini dengan beberapa cara, termasuk dengan mengakui bahwa hubungan kerja yang produktif harus dibangun dengan bertumpu pada perilaku itikad baik dan dengan meningkatkan perundingan bersama.

2.    Makalah ini memberikan garis besar tentang:
a.      Tugas itikad baik secara umum sebagaimana yang ditetapkan oleh UU.
b.     Kewajiban itikad baik yang bersifat spesifik dalam situasi-situasi perundingan bersama.
c.     Amendemen-amendemen terakhir yang dilakukan terhadap tugas itikad baik.
d.     Hukum perkara (case law) yang sudah menginterpretasikan tugas itikad baik.
e.      Peran Kode Itikad Baik, dan
f.       Penelitian tentang pengalaman para pihak yang terlibat dalam perundingan bersama.

Tugas itikad baik secara umum
3.    UU Hubungan Kerja memuat persyaratan penting yang mencakup semua aspek bagi para pihak dalam hubungan kerja untuk beritikad baik dalam berinteraksi satu sama lain. Yang dimaksud dengan “beritikad baik dalam berinteraksi satu sama lain” adalah supaya para pihak bersikap jujur dan terbuka serta tidak saling menyesatkan satu sama lain (tidak menunjukkan perilaku yang menyebabkan pihak lain menarik kesimpulan yang keliru).

4.    Amendemen-amenden terakhir yang dilakukan terhadap UU Hubungan Kerja telah mengklarifikasikan tugas itikad baik sebagaimana ditetapkan UU. Amendemen-amendemen tersebut meliputi:
a.      Penjelasan bahwa tugas tersebut mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada sekedar kewajiban untuk saling percaya dan saling menaruh keyakinan terhadap itikad baik masing-masing sebagaimana yang tersirat dalam hukum Inggris (common law).
b.     Persyaratan bahwa para pihak dalam hubungan kerja bersikap aktif dan konstruktif dalam menjalin dan membina hubungan kerja yang produktif dimana mereka antara lain diharapkan untuk bersikap responsif dan komunikatif terhadap yang lain.
c.     Persyaratan yang menetapkan bahwa apabila pemberi kerja mengusulkan untuk membuat keputusan yang akan atau berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kelangsungan kerja karyawannya, maka pemberi kerja yang bersangkutan berkewajiban memberikan akses untuk mendapatkan informasi tentang keputusan tersebut dan kesempatan untuk menanggapi informasi tersebut.
d.     Ketentuan yang mengatur penalti atas pelanggaran-pelanggaran khusus yang dilakukan terhadap tugas itikad baik.

5.           Tugas itikad baik berlaku dalam semua hubungan kerja, seperti:
a.      Antara seorang pemberi kerja dan seorang pekerja;
b.     Antara suatu serikat pekerja dan seorang pemberi kerja;
c.     Antara serikat-serikat pekerja dan pemberi-pemberi kerja yang terlibat dalam perundingan untuk membuat perjanjian bersama yang sama;
d.     Antara suatu serikat pekerja dan anggota-anggotanya;
e.      Antara suatu serikat pekerja dan anggota-anggota dari serikat pekerja lainnya di tempat kerja;
f.       Antara seorang pemberi kerja dan berbagai kelompok pekerja di
tempat kerja.

6.           UU Hubungan Kerja secara spesifik menetapkan bahwa tugas itikad baik berlaku untuk, tetapi tidak terbatas pada, hal-hal berikut:
a.      Perundingan untuk suatu perjanjian bersama atau untuk membicarakan variasi dari suatu perjanjian bersama, termasuk hal-hal yang menyangkut timbulnya inisiatif untuk meminta dilakukannya perundingan;
b.     Setiap hal yang timbul dalam atau yang berkaitan dengan perjanjian
bersama sewaktu perjanjian tersebut masih berlaku;
c.     Konsultasi (baik yang diatur maupun yang tidak diatur dalam perjanjian bersama) antara pemberi kerja dan pekerjanya, termasuk dengan serikat pekerja yang mewakili pekerja, mengenai kepentingan pekerja secara kolektif termasuk efek yang timbul terhadap pekerja sebagai akibat dari terjadinya perubahan usaha pemberi kerja;
d.     Proposal pemberi kerja yang dapat berdampak terhadap pekerjanya, termasuk keinginan pemberi kerja untuk menyerahkan atau memborongkan pekerjaan yang lazimnya dilakukan oleh karyawan kepada pihak luar atau menjual atau mengalihkan seluruh atau sebagian usaha yang dimiliki pemberi kerja;
e.      Pemutusan hubungan kerja;
f.       Akses ke tempat kerja oleh seorang wakil serikat pekerja;
g.     Komunikasi atau kontrak antara serikat pekerja dan pemberi kerja yang menyangkut pemungutan suara secara rahasia yang dilakukan dengan maksud untuk merundingkan perjanjian bersama.

Tugas itikad baik yang spesifik dalam perundingan bersama
7.           UU Hubungan Kerja selanjutnya menjabarkan apa yang dituntut oleh tugas itikad baik dari para pihak yang berunding untuk suatu perjanjian bersama. Itikad baik mewajibkan serikat pekerja dan pemberi kerja:
a.      Untuk tidak saling menyesatkan atau menipu;
b.     Untuk menggunakan upaya-upaya terbaik yang dapat mereka lakukan untuk menyepakati proses perundingan yang efektif dan efisien;
c.     Untuk mengadakan pertemuan, dan mempertimbangkan serta menanggapi proposal yang diberikan;
d.     Untuk mengakui peran dan wewenang wakil-wakil perundingan dari masing-masing pihak;
e.      Untuk tidak berunding, baik secara langsung maupun tidak, dengan pihak-pihak di luar wakil-wakil perundingan;
f.       Untuk tidak melemahkan proses perundingan;
g.     Untuk memberikan, apabila diminta, informasi yang secara wajar diperlukan untuk mendukung atau memberikan substansi pada tuntutan yang diajukan atau tanggapan yang diberikan;
h.     Tugas itikad baik yang bersifat spesifik dalam perundingan bersama menciptakan fokus pada tiga tahap potensial dalam perundingan bersama;
i.        Membangun landasan yang tepat bagi perundingan melalui proses pemrakarsaan dan pengaturan perundingan;
j.       Mengupayakan terwujudnya perundingan yang efektif dan efisien di antara para pihak;
k.      Memberikan bantuan kepada para pihak apabila mereka tidak dapat menyepakati perjanjian bersama.

Membangun landasan yang tepat
8.           UU Hubungan Kerja menetapkan serangkaian proses tentang bagaimana memprakarsai perundingan bersama, tergantung pada bentuk perundingan bersama yang diinginkan. UU tersebut memberikan kepada serikat pekerja prioritas untuk memprakarsai perundingan bersama di sebagian besar keadaan. Semua proses yang diberikan tersebut adalah proses yang sederhana, yang pada umumnya hanya memerlukan spesifikasi dari cakupan perundingan yang diusulkan. Dalam beberapa situasi perundingan yang melibatkan banyak pihak, karyawan yang akan dicakup dalam perundingan tersebut harus dipilih melalui pemungutan suara sebelum proses perundingan bersama tersebut dimulai.
9.           UU Hubungan Kerja mewajibkan para pihak untuk membuat pengaturan perundingan yang menetapkan aturan-aturan yang jelas tentang proses yang akan mereka ikuti selama perundingan. Persyaratan ini mendorong para pihak untuk menjalin hubungan yang baik dengan mewajibkan mereka untuk menetapkan aturan-aturan dasar perilaku yang wajar selama perundingan berlangsung. Alasannya adalah karena kesepakatan mengenai proses perundingan adalah penting sebelum para pihak membicarakan substansi dari apa yang akan dimasukkan dalam perjanjian bersama.

10.       Hal-hal yang disarankan dalam Kode untuk dimasukkan dalam pengaturan perundingan mencerminkan pengalaman organisasi serikat pekerja dan pemberi kerja dalam hal-hal yang dapat bermanfaat bagi para pihak untuk disepakati di depan. Hal-hal yang diusulkan tersebut hanyalah bersifat indikatif namun mencerminkan bahwa penting bagi para pihak untuk membuat pengaturan yang sesuai untuk keadaan mereka.

Perundingan yang efisien dan efektif
11.       Perubahan yang paling signifikan dalam amendemen-amendemen akhir-akhir ini adalah adanya persyaratan eksplisit bahwa perundingan bersama harus menghasilkan perjanjian bersama yang disepakati kecuali memang ada alasan yang dapat dibenarkan untuk tidak menyepakatinya, berdasarkan alasan-alasan yang wajar. Ada dua alasan yang dalam UU tersebut dikatakan sebagai alasan yang tidak dapat dibenarkan, yaitu:
a.      Perlawanan atau keberatan yang bersifat prinsipil untuk melakukan perundingan perjanjian bersama atau keberatan untuk menjadi pihak dalam perundingan bersama, dan
b.     Ketidaksepakatan sehubungan dengan adanya upaya untuk memasukkan klausul biaya perundingan ke dalam perjanjian bersama.

12.       Persyaratan ini terutama didukung oleh persyaratan bahwa para pihak harus bertemu, saling mempertimbangkan dan menanggapi usulan masing-masing. Kewajiban ini merupakan inti persyaratan perundingan, meskipun para pihak tidak diwajibkan untuk melanjutkan upaya melakukan pertemuan guna membicarakan usulan yang sudah dipertimbangkan dan ditanggapi. Akan tetapi, amendemen-amenden terakhir menetapkan bahwa sekalipun para pihak menemui jalan buntu atau kemacetan mengenai suatu persoalan, mereka harus tetap bertemu, mempertimbangkan dan menanggapi usulan masing-masing tentang hal-hal yang belum mereka sepakati.

13.       Apabila dikombinasikan, ketentuan-ketentuan tersebut mendorong para pihak untuk memusatkan perhatian mereka pada upaya untuk mencari titik temu dan kemudian berupaya mencapai kesepakatan di bidang-bidang lain melalui suatu proses kerja sama untuk mengidentifikasi hal-hal yang menghambat tercapainya kesepakatan dan mempertimbangkan posisi masing-masing dalam kaitannya dengan pilihan-pilihan alternatif yang diajukan.


14.       Itikad baik bukanlah pengganti kekuatan atau daya tawar yang dimiliki masing-masing pihak dan tidak membatasi para pihak untuk menggunakan aksi industrial (pemogokan atau penutupan perusahaan) guna mendorong pihak lain supaya mau menerima posisi mereka selama perundingan berlangsung. Meskipun demikian, penggunaan aksi industrial di Selandia Baru sangat terbatas.

Bantuan yang tersedia selama perundingan bersama
15.       Ketika para pihak mengalami kesulitan dalam mencapai kesepakatan bersama, mereka dapat sepakat untuk meminta bantuan seorang mediator, baik dari swasta maupun dari dinas mediasi Departemen Tenaga Kerja. Apabila diusulkan aksi industrial di sektor-sektor industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak, ada persyaratan-persyaratan tertentu yang berkaitan dengan penggunaan jasa mediasi.

16.       Amendeman-amendemen terakhir yang dilakukan terhadap UU Hubungan Kerja telah menciptakan dua bentuk bantuan baru bagi para pihak yang melakukan perundingan bersama:
a.      Apabila menemui kesulitan-kesulitan yang serius dalam menyepakati perjanjian bersama, salah satu pihak dapat, dalam keadaan-keadaan tertentu, meminta Badan Otorita Hubungan Kerja untuk ikut membantu membereskan kesulitan-kesulitan tersebut. Apabila bantuan tersebut tidak berhasil, maka Badan Otorita dapat memberikan rekomendasi kepada para pihak, yang dimaksudkan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut atau membimbing para pihak dalam menempuh proses penyelesaian.
b.     Para pihak juga dapat, meski dengan alasan yang sangat terbatas, meminta bantuan Badan Otorita Hubungan Kerja untuk membenahi ketentuan-ketentuan perjanjian bersama yang berkaitan dengan perundingan.

17.      Departemen Tenaga Kerja Selandia Baru telah memberikan pedoman lebih lanjut tentang berunding dengan itikad baik dalam publikasi praktik terbaiknya yang berjudul “Dengan Itikad Baik: Perundingan Bersama menurut UU Hubungan Kerja Tahun 2000 (“In Good Faith: Collective bargaining under the Employment Relations Act 2000”) yang dapat disimak dalam situs internet berikut ini: (http://www.ers.dol.govt.nz/publications/pdfs/A5_good_faith_bargain.pdf).[1]

Hukum perkara (case law)
18.       Keputusan-keputusan penting tentang perundingan bersama berdasarkan itikad baik menyatakan bahwa:
a.      Itikad baik berarti adanya kejujuran, keterbukaan serta tidak adanya motivasi tersembunyi yang ditutup-tutupi[2].
b.     Para pihak dalam hubungan kerja hendaknya dengan penuh semangat dan antusias menunjukkan perilaku itikad baik secara positif[3].
c.     Penolakan untuk merundingkan pokok persoalan apapun sebelum disepakatinya pokok-pokok persoalan yang akan dicakup[4] dalam perundingan adalah pelanggaran terhadap itikad baik meskipun klausul tentang cakupan perundingan merupakan pokok untuk dirundingkan dan pemberi kerja tidak perlu diwajibkan untuk menyepakati perjanjian bersama dengan banyak pemberi kerja[5].
d.     Penolakan yang tidak dapat dibenarkan terhadap tempat berunding merupakan pelanggaran terhadap itikad baik[6].
e.      Komunikasi yang dilakukan oleh pemberi kerja untuk menggali informasi yang akurat sesuai dengan proses perundingan yang disepakati tidak akan melemahkan otoritas atau wewenang serikat pekerja[7].
f.       Pemberi kerja hendaknya bertindak wajar dengan pertama-tama berusaha berkomunikasi dengan anggota serikat pekerja melalui serikat pekerja – apabila serikat pekerja tidak mau menyampaikan informasi tersebut maka pemberi kerja dapat berkomunikasi secara langsung dengan karyawan-karyawannya[8], dan
g.     Kenyataan bahwa perundingan bersama telah dimulai tidak dengan sendirinya memasukkan semua masalah dalam ruang lingkup perundingan – para pihak harus memberikan batasan terhadap pokok-pokok persoalan yang akan dirundingkan[9].

Kode Itikad Baik
19.       Kode Itikad Baik untuk Merundingkan Perjanjian Bersama (http://www.ers.dol.govt.nz/act/code.html) disusun untuk mendukung ketentuan-ketentuan UU Hubungan Kerja mengenai itikad baik dan perundingan bersama.

20.       Kode tersebut memberikan pedoman praktis untuk membantu para pihak yang berunding memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan undang-undang, dengan mengidentifikasi hal-hal yang harus dipikirkan oleh para pihak ketika berupaya untuk berunding dengan itikad baik, termasuk:
a.      Hal-hal yang mungkin ingin dipertimbangkan oleh para pihak sewaktu menyusun kesepakatan proses perundingan, seperti misalnya, siapa yang akan menjadi wakil dari masing-masing pihak, seberapa sering para pihak akan melakukan pertemuan, dan proses apa yang akan ditempuh apabila timbul ketidaksepakatan;
b.     Kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada para pihak sewaktu menyelenggarakan dan melakukan pertemuan, seperti kewajiban untuk melakukan pertemuan dengan tingkat frekuensi yang wajar dan membicarakan serta menjelaskan usulan-usulan yang berkaitan dengan perundingan tersebut;
c.     Bagaimana para pihak hendaknya berperilaku selama melakukan perundingan, seperti misalnya, mematuhi persyaratan untuk mempertimbangkan dan menanggapi usulan-usulan yang diajukan oleh masing-masing pihak, dan memberikan informasi yang secara wajar diperlukan untuk mendukung atau memberikan substansi terhadap tuntutan hak dari para pihak; dan
d.     Apa yang harus dilakukan apabila salah satu pihak merasa bahwa itikad baik telah dilanggar.

21.       Kode Itikad Baik dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah serikat pekerja dan pemberi kerja telah menunjukkan sikap yang dilandasi oleh itikad baik dalam melakukan perundingan untuk menyepakati perjanjian bersama (misalnya, di depan Badan Otorita Hubungan Kerja atau Pengadilan Perburuhan).

Pengembangan Kode Itikad Baik
22.       Kode Itikad Baik untuk Merundingan Perjanjian Bersama dikembangkan oleh Komite Tripartit Kode Itikad Baik, yang diangkat oleh Menteri Tenaga Kerja. Anggota-anggotanya dinominasikan oleh Dewan Serikat Pekerja Selandia Baru, Federasi Pengusaha Selandia Baru[10] dan Komisi Pelayanan Negara (State Services Commission). Seorang mediator dari Departemen Tenaga Kerja duduk sebagai ketua komite tersebut. Proses konsultasi komite tersebut meliputi:
a.      pertemuan dengan berbagai pihak yang berkepentingan termasuk dengan para tenaga ahli di bidang persyaratan itikad baik yang berlaku di Inggris dan Amerika Utara; dan
b.     dikeluarkannya dokumen konsultasi publik, yang dimaksudkan untuk mendapatkan umpan balik tentang pokok-pokok persoalan spesifik yang relevan dengan perundingan berlandaskan itikad baik dan juga keseluruhan pandangan-pandangan yang ada mengenai rancangan interim kode tersebut.

23.       Komite membuat rekomendasi untuk menyusun suatu Kode Itikad Baik yang bersifat sementara (interim) yang ditetapkan bersamaan dengan disahkannya UU Hubungan Kerja pada tanggal 2 Oktober 2000. Komite juga menyarankan supaya Kode interim tersebut dievaluasi untuk menilai apakah masih diperlukan amendemen sebelum versi terakhir dari Kode tersebut direkomendasikan kepada Menteri Tenaga Kerja pada tanggal 2 April 2001.

Dampak dari Kode tersebut terhadap praktik-praktik perundingan
24.       Hingga saat ini, Departemen Tenaga Kerja telah melakukan dua kajian tentang pengalaman para pihak dalam melakukan perundingan berdasarkan Kode tersebut. Temuan-temuan utama dari kajian pertama terhadap Kode Itikad Baik yang bersifat sementara (interim)[11], yang selesai hanya dalam waktu 6 bulan setelah disahkannya UU Hubungan Kerja (Maret 2001), menunjukkan bahwa:
a.      Kesadaran responden akan keberadaan Kode tersebut, pengunaan Kode oleh responden dan persepsi responden terhadap Kode tersebut sangat bervariasi.
b.     Sebagian besar serikat pekerja dan pemberi kerja yang menjadi responden tidak menggunakan Kode tersebut dalam perundingan bersama yang sesungguhnya karena mereka merasa bahwa mereka sudah bertindak dengan itikad baik dan sudah mempunyai hubungan yang baik dengan pihak pemberi kerja maupun pihak serikat pekerja.
c.     Ada perbedaan pendapat di antara para responden mengenai manfaat Kode tersebut dalam perundingan bersama:
*        Beberapa responden merasa bahwa Kode tersebut tidak bermanfaat karena keberadaan Kode itu justru menyebabkan proses perundingan menjadi semakin rumit. Lagipula Kode tersebut ternyata tidak dapat diterapkan untuk keadaan-keadaan tertentu yang mereka hadapi; namun, di sisi lain
*        Ada yang berpendapat bahwa Kode tersebut bermanfaat karena membantu mereka mengatasi masalah-masalah yang menyangkut prosedur perundingan bersama pada tahap dini. Maksudnya adalah, Kode tersebut membantu mereka memaparkan secara teratur dan sistematis prinsip-prinsip dan pedoman-pedoman yang akan mereka jadikan patokan atau acuan dalam melakukan perundingan; selain itu, Kode tersebut dinilai bermanfaat bagi para pihak yang tidak berpengalaman dalam melakukan perundingan bersama.

25.       Studi kedua yang dilakukan oleh Departemen Tenaga Kerja pada awal tahun 2003 mengungkapkan kesamaan pendapat yang lebih besar dalam pandangan pemberi kerja dan serikat pekerja tentang penggunaan dan keefektifan Kode tersebut dibandingkan dengan pendapat yang bervariasi dan bertolak belakang yang diberikan oleh responden pada tahun 2001.

26.       Hasil-hasil yang diperoleh dari kajian tahun 2003[12] pada intinya mendukung dan menegaskan dengan lebih jelas hasil-hasil dari kajian tahun 2001. Temuan-temuan utama dari penelitian terakhir tersebut adalah bahwa Kode Itikad Baik:
a.      Telah membantu beberapa pihak dalam menyusun perjanjian tentang proses perundingan yang lebih formal dan terstruktur, konsisten atau sejalan dengan kewajiban untuk berunding berlandaskan itikad baik, dan telah membantu meningkatkan kesadaran dan pengertian para pihak akan kewajiban untuk berunding dengan itikad baik tersebut; akan tetapi,
b.     Pada umumnya Kode Itikad Baik hanya digunakan sekali atau dua kali saja oleh para pihak – untuk membuat perjanjian mengenai proses perundingan, dan setelah itu jarang digunakan – sebagai pedoman umum yang dapat dijadikan rujukan tentang itikad baik, atau untuk mengingatkan pihak lain akan kewajiban mereka untuk bertindak berdasarkan itikad baik,
c.     Jarang digunakan oleh para pihak dalam proses perundingan itu sendiri.

27.       Temuan-temuan tersebut mencerminkan pandangan bahwa:
a.      Para pihak pada umumnya berpendapat bahwa mereka sudah berunding dengan itikad baik dan bahwa unsur-unsur perundingan lainnya, seperti keterampilan dan pengalaman para pihak, atau kualitas dari hubungan kerja mereka sendiri akan memberikan dampak yang jauh lebih penting terhadap keberhasilan perundingan yang mereka lakukan daripada Kode tersebut.
b.     Kode tersebut membatasi wewenang, atau kekuatan hukum, yang memungkinkan para pihak untuk memaksa pihak lainnya untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Kode tersebut, dan
c.      Kode tersebut dapat menyebabkan proses perundingan menjadi lebih rumit, dan upaya untuk menerapkannya akan memakan lebih banyak waktu dan membutuhkan sumber daya dan upaya yang lebih besar.


Tinjauan ulang terhadap Kode Itikad Baik
28.       Kode Itikad Baik saat ini sedang ditinjau ulang oleh suatu komite tripartite yang diangkat oleh Menteri Tenaga Kerja.[13] Komite Peninjau Ulang tersebut terdiri dari anggota-anggota yang dinominasikan oleh Dewan Serikat Pekerja Selandia Baru (New Zealand Council of Trade Unions), Asosiasi Usaha Selandia Baru (Business New Zealand), Komisi Pelayanan Negara (State Services Commission) dan Lembaga Sumber Daya Manusia Selandia Baru (The Human Resources Institute of New Zealand), dan diketuai oleh seorang mediator dari Departemen Tenaga Kerja Selandia Baru.

29.       Komite Peninjau Ulang telah menyiapkan Amendemen Kode Itikad Baik yang mencerminkan amendemen-amendemen yang baru-baru ini dilakukan terhadap UU Hubungan Kerja, dan juga praktik, perkembangan serta pengalaman dalam menerapkan Kode Itikad Baik yang ada saat ini sejak tahun 2000. Komite tersebut saat ini sedang melakukan konsultasi tentang amendemen-amendemen yang diusulkannya[14] (referensi dari situs Internet) dan akan memberikan laporan akhir mengenai perubahanperubahan yang diusulkannya kepada Menteri Tenaga Kerja di bulan April 2005.

Departemen Tenaga Kerja Selandia Baru, 17 Maret 2005



[1] Baru-baru ini publikasi ini sudah diperbaharui untuk mencerminkan amendemenamendemen yang dilakukan terhadap UU tersebut. Jika terdapat perubahan terhadap alamat situs internet pada saat publikasi yang telah direvisi tersebut tersedia, akan disediakan alamat situs internet yang baru. Buku yang telah direvisi juga dapat dilihat pada halaman berikut ini: http://www.ers.dol.govt.nz/publications/index.html.

[2] Perselisihan antara Carter Holt Harvey Ltd lawan Serikat Pekerja Sektor Distribusi Nasional/ National Distribution Union (CA 22/02, ditangani oleh Pengadilan Banding)

[3] Perselisihan antara Asosiasi Pekerja Sektor Pelayanan Umum/ Public Service Association lawan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Auckland/ Auckland City Council (AC 22/03, ditangani oleh Pengadilan Perburuhan)

[4] Perselisihan antara NZ Amalgamated Engineering Printing and Manufacturing Union (Gabungan Serikat Pekerja Sektor Rancang Bangun dan Permesinan, Percetakan dan Manufaktur Selandia Baru) lawan Independent Newspapers Ltd (WA 51/01, ditangani oleh Badan Otorita Hubungan Kerja)

[5] Perselisihan antara National Distribution Union (Serikat Pekerja Nasional Sektor Distribusi) lawan Sawmill Services Limited (AA 134/01, ditangani oleh Badan Otorita Hubungan Kerja)

[6] Perselisihan antara NZ Amalgamated Engineering Printing and Manufacturing Unio (Gabungan Serikat Pekerja Sektor Rancang Bangun dan Permesinan, Percetakan dan Manufaktur) lawan Independent Newspapers Ltd (WA 51/01, ditangani oleh Badan Otorita Hubungan Kerja)

[7] Perselisihan antara Christchurch City Council/ Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Chirstchurch lawan Serikat Pekerja Pegawai Pemerintah Setempat Daerah Selatan/Southern Local Government Officers Union (CA 100/04, ditangani oleh Badan Otorita Hubungan Kerja)

[8] Perselisihan antara Service and Food Workers Union/ Serikat Pekerja Sektor Jasa dan Makanan lawan Sealord Group Ltd (CA 82/02, ditangani oleh Badan Otorita Hubungan Kerja)

[9] Perselisihan antara NZ Amalgamated Engineering Printing and Manufacturing Union (Gabungan Serikat Pekerja Sektor Rancang Bangun dan Permesinan, Percetakan dan Manufaktur Selandia Baru) lawan Carter Holt Harvey (AC 53/02, perkara ini ditangani oleh Pengadilan Perburuhan)

[10] Sekarang sudah menjadi bagian dari Business New Zealand.

[11] Dapat dilihat di http://www.ers.dol.govt.nz/goodfaith/pdf/report_survey.pdf

[12] Finalisasi laporan hasil penelitian tahun 2003 dilakukan di bulan November 2004 dan dapat dilihat di http://www.ers.dol.govt.nz/goodfaith/committee.html.

[13]Informasi tentang tinjauan ulang ini dapat disimak dalam http://www.ers.dol.govt.nz/goodfaith/committee.html.

[14]Dokumen-dokumen konsultasi Komite dapat dilihat di http://www.ers.dol.govt.nz/goodfaith/consultation.html

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Powered by Blogger.